Sebuah kapal, akan lebih baik tanpa seorang yang kehilangan penghormatan pada kapten-nya ~ Roronoa Zoro
Pemilu 2019 tinggal menunggu bulan. Masing-masing Pasangan Calon (Paslon) Presiden dan Wakil Presiden gegap gempita menyiapkan amunisi. Sebagai masyarakat sipil, kita tentu mengharapkan narasi kampanye sehat. Sekurang-kurangnya, antara satu dengan yang lain tidak saling mencaci-maki.
Bagi Paslon nomor urut satu Jokowi-Ma’ruf, barangkali boleh menganggap enteng masa kampanye dengan promosi prestasi-prestasi selama masa kepemimpinannya. Tapi, hal itu juga sekaligus menandai adanya segenap kekurangan yang, kita tahu juga tidak sedikit rapor merahnya. Apalagi dalam aspek isu-isu krusial setamsil HAM dan beberapa lainnya.
Jelas, itu menjadi daging segar bagi pihak oposisi. Lebih-lebih bagi sang rival, Prabowo Subianto berikut simpatisan-simpatisan dan pendukung-pendukungnya.
Sialnya, pada saat yang sama Prabowo juga punya masa lalu kurang baik berkenaan dengan isu krusial itu. Dengan kata lain, tim pemenangan dan/atau partai koalisi pengusung Paslon Nomor urut 2 ini akan berpikir dua kali jika hendak menggunakan isu HAM sebagai gaman untuk menghantam Petahana.
Sejauh ini, pembicaraan tentang Jokowi yang dihembuskan oleh para pengritiknya, masih belum menyentuh jantung pertahanan, alias masih bisa ditangkis dengan argumen-argumen yang tak kalah ciamik. Apalagi mengenai isu-isu keagamaan.
Maka, dengan bertenggernya nama Rocky Gerung di kubu, atau sekurang-kurangnya pro-oposisi, saya kira merupakan fenomena yang musti kita rayakan dengan suka cita. Seperti sering disabda Bang Karni Ilyas, bahwa no Rocky no Party.
Ya, seperkawanan Rocky bersama oposisi tentunya adalah kabar yang sangat menggembirakan, baik bagi pengritik maupun pendukung Jokowi. Mengapa?
Jelas, dengan bekal kekayaan wacana-wacana yang dimiliki Rocky, oposisi punya penyerang handal untuk setidaknya menggempur gawang lawan. Apakah akan berujung goal, itu sama sekali soal lain yang tentu saja akan dihadang jangkar pertahanan Jokowi.
Sementara, dengan licahnya tiki-taka Rocky dalam beretorika, pendukung Jokowi sudah semestinya juga ikut bangga. Sebab, dengan nalar kritisnya, otomatis Rocky akan memegang peran vital sebagai penjaga keseimbangan intelektual yang ada, meskipun sebatangkara di tengah rimba elit oposisi lainnya. Bil khusus kepada mereka yang selama ini masih terjebak dalam lorong gelap narasi agama sebagai jubah menang-menangan serta mengintimidasi mereka yang lemah.
Tentu tidak mudah menjadi Rocky. Apalagi mengingat ia harus menceburkan diri sampai titik sekanan itu. Yang jenis itu pula. Tapi ya begitulah, kemungkinan-kemungkinan di balik kasunyatan seorang Rocky.
Lebih jauh, toh sangat wajar jika Rocky berada di jalur pro-oposisi. Sebab, berulangkali dia sendiri bilang kalau kita memang seharusnya kritis, bila perlu sinis pada kekuasaan agar nalar sehat publik tetap terjaga.
Kendati pada praktiknya ia sering mendungu-ndungukan, senyatanya yang dimaksud adalah pikiran bukan pribadi yang bersangkutan yang hendak ia “telanjangi”. Soal kenapa dia tidak pernah mengkritik pengusa lain setamsil Anis Baswedan, misalnya, jelas Gubernur itu bukan levelnya Rocky lah.
Masak ngurusin gubernur aja, Rocky harus turun gunung. Lagian, ngritik Gubernur itu receh lah buat dia. Sebab, Rocky itu ya maqam intelektualitasnya hanya buat ngritik Presiden.
Namun di atas itu semua, sependek pengamatan saya, belum pernah saya mendapati ia menghina pemimpin tertinggi negara ini. Entah sadar atau tidak, ketika hendak menyebut Jokowi, misalnya, nyaris selalu ia sertakan keterangan: kalau tidak Presiden Jokowi, ya Pak Jokowi, atau dua-duanya: Pak Presiden.
Dengan kata lain, secara simbolik, senyolot-nyolotnya Rocky kepada pemerintah, ia bahkan masih tetap menaruh hormat pada pemimpin yang sah. Nah, pada titik intelektualitas itulah Rocky jelas berbeda dan jauh lebih unggul ketimbang pengritik Jokowi lainnya yang, sekali lagi, masih berada di lorong gelap.
Betapa tidak, umpatan-umpatan setamsil pelindung penista agama, antek asing, PKI—bahkan saking ngeresnya—banci, itu semua nyaris dialamatkan kepada Jokowi oleh para pengritiknya, tanpa peduli bahwa yang sedang dikata-katai adalah Presiden RI ke-7.
Padahal, dalam berbagai literatur keagamaan sendiri, Islam mengajarkan untuk tetap menghormati para pemimpin. Tidak peduli apakah dia non-Muslim, dan lebih-lebih kalau seorang penganut Islam yang saleh. Karenanya, seperti kutipan di awal tadi, demikian halnya suatu negara, ia akan lebih baik tanpa seorang rakyat yang kehilangan penghormatan pada Presidennya.
Lagi pula, oposisi jangan senang dulu kalau saat ini Rocky Gerung seolah-olah satu bangku. Karena, Rocky pun akan berlaku sama pedasnya ketika, umpamanya, Prabowo benar akan jadi Presiden di 2019. Alpatekah. Eh, takbir!!! maksud saya.