Sutradara Indonesia, Gina S. Noer, mengkritik tren film horor Indonesia yang sedang booming belakangan ini. Menurutnya, banyak sineas lebih memilih jalan pintas dengan menggunakan ritual ibadah untuk menciptakan efek seram, alih-alih memperkaya cerita dengan variasi dan kedalaman. Beberapa pihak juga mengomentari bagaimana agama direduksi menjadi alat untuk menciptakan adegan seram.
Salah satu film yang sempat jadi sorotan publik adalah Kiblat 2024. Mulai dari poster yang dinilai menistakan agama karena menampilkan sosok seperti iblis sedang salat, hingga judul ‘kiblat’ yang dianggap menjelekkan ka’bah sebagai tempat suci. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahkan meminta Agung Saputra, sutradara Kiblat, dan timnya untuk meminta maaf kepada publik.
Bukan hal Baru
‘Eksploitasi’ agama di film horor Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Sejak era Orde Baru, ketatnya sensor pemerintah membuat para pembuat film memilih bersiasat dengan membuat film horor yang mengandung adegan ranjang dan kesadisan, sambil diam-diam mempromosikan moralitas bahwa kebaikan selalu mengalahkan kejahatan dan bertakwa kepada Tuhan adalah solusi keselamatan.
Setelah reformasi 1998, tren film horor di Indonesia perlahan mulai menghilangkan kesakralan agama sebagaimana konstruksi masyarakat tradisional di kehidupan sehari-hari.
Sosok kiai atau ustaz kini seolah tidak lagi menjadi solusi mutlak dari serangan roh jahat atau hantu. Namun begitu, agama tetap menjadi elemen wajib dalam film horor belakangan ini.
Hal itu pada gilirannya menunjukkan kurangnya eksplorasi sineas terhadap isu religiusitas di masyarakat. Isi film horor sering kali hanya mengulang adegan horor dalam praktik ibadah, seperti orang salat yang diganggu hantu, atau hantu yang mengganggu ritual doa seseorang. Seolah-olah, tidak ada formula atau ide cerita lain untuk film horor di Indonesia.
Padahal, film horor Indonesia memiliki potensi besar sebagai medium untuk membahas isu-isu penting, termasuk isu lingkungan. Terlebih, masyarakat kita tidak kekurangan cerita tentang alam yang bisa mendatangkan celaka bagi siapa saja yang mengusiknya.
Kenalan dengan Genre ‘Ecohorror’
Di industri film internasional, isu lingkungan dan horor sering dipadukan dalam genre ecohorror. Genre ini mengangkat cerita tentang alam yang dianggap memiliki kemampuan balas dendam karena (di)eksploitasi manusia.
Contohnya adalah Godzilla (1954)—film tentang monster raksasa yang muncul akibat ledakan bom nuklir. Dalam film ini, alam digambarkan sebagai subjek dengan kekuatan luar biasa yang bisa mengancam keberlangsungan hidup manusia jika terus di-salah-gauli.
Seterusnya, genre ecohorror di dunia perfilman rupanya terus berkembang dengan banyak varian cerita. Salah satu yang juga menarik di sini adalah Deep Blue Sea (1999).
Flm ini menceritakan perjalanan ilmuwan yang melakukan eksperimen untuk meningkatkan kapasitas otak hiu demi menemukan obat Alzheimer. Namun, situasi berubah menjadi mencekam ketika hiu yang semakin pintar justru mulai memburu para ilmuwan dan staf di fasilitas penelitian.
‘Ecohorror’ dan Upaya Memahami Alam di Indonesia
Di Indonesia, film bergenre ecohorror terhitung masih sangat jarang. Genre ini tidak banyak dibahas, baik di kalangan umum maupun akademisi.
Sejauh ini, baru ada penelitian tahun 2023 yang secara spesifik membahas ecohorror dalam konteks film di era Orde Baru.
Menurut penelitian tersebut, film Ratu Buaya Putih (1988) dan Titisan Dewi Ular (1990) memiliki formula yang mirip, yaitu kemarahan alam atas perbuatan manusia.
Dalam Ratu Buaya Putih, perilaku eksploitatif manusia digambarkan melalui pembantaian buaya oleh tokoh Sumarna dan Jefri demi bisnis.
Sedangkan, dalam Titisan Dewi Ular masalahnya adalah spesies ular yang terancam punah oleh tokoh Dayan demi memperoleh kesaktian. Kedua film ini menampilkan pembalasan alam melalui roh-roh berwujud siluman buaya dan ular.
Di film Indonesia kontemporer, genre ecohorror juga mulai muncul, kendatipun isinya masih didominasi narasi yang menempatkan alam sebagai entitas berbahaya.
Contohnya, Seri Kisah Tanah Jawa: Merapi (2019). Film ini menceritakan tentang demit Gunung Merapi yang bisa menculik manusia untuk dijadikan pengantin. Cerita ini mengadopsi kisah dari masyarakat setempat tentang gunung sebagai tempat angker, kerajaan makhluk halus, dan pendaki yang hilang diculik jin untuk dijadikan pengantin.
Namun, karena terlalu fokus pada penciptaan teror, seri ini hanya menggambarkan gunung yang misterius dan berbahaya. Dengan kata lain, manusia diposisikan sebagai korban dari kekuatan jahat di sana. Narasi ini bisa menyebabkan ketakutan irasional terhadap alam (ecophobia) bukannya memahami dan peduli terhadap alam.
Memang, risiko membuat penonton menjadi ecophobic selalu ada di setiap film ecohorror. Pasalnya? Genre ini sering menghadirkan kengerian, entah melalui monster atau bencana akibat perubahan iklim.
Namun begitu, kita tetap butuh film ecohorror yang memberi penekanan kuat pada kerusakan alam akibat ulah manusia, agar muncul rasa bersalah atau setidaknya kegelisahan di antara penonton, sehingga bisa memantik diskusi soal isu-isu lingkungan.
‘Ecohorror’, Sebuah Peluang?
Kendati film dengan genre ecohorror di Indonesia masih terbilang sedikit, kita punya banyak cerita yang bisa dieksplorasi lebih jauh.
Di YouTube, misalnya, banyak talkshow paranormal yang menceritakan bagaimana para pendaki gunung diganggu jin karena mengotori lingkungan. Praktik membuang sampah sembarangan atau mengganggu tempat sakral digambarkan sebagai perilaku buruk yang bukan saja merusak alam, tetapi juga memicu emosi bangsa jin. Biasanya, mereka baru bebas dari gangguan jin setelah meminta maaf kepada jin penjaga gunung.
Juga, liputan Project Multatuli menunjukkan bahwa alam itu punya cara sendiri untuk melawan pembangunan yang tidak ramah lingkungan. Pohon yang seolah menolak ditebang, batu yang tidak bisa dihancurkan, dan kisah-kisah ajaib lainnya, semuanya menunjukkan kalau alam bisa balas dendam.
Beberapa hal di atas menunjukkan potensi besar ecohorror di Indonesia sebagai alternatif dari sinia horor yang masih terjebak dalam narasi agama.
Riset tahun 2022 sudah membuktikan bahwa film horor adalah salah satu genre terfavorit di masyarakat kita. Jadi, ecohorror sebagai sub-genre horor punya peluang besar untuk diminati seperti film-film hantu lainnya.
Kontekstualisasi ‘Ecohorror’
Industri film luar negeri rasanya sudah banyak mengeksplorasi berbagai tema dalam genre ecohorror. Godzilla adalah salah satu monster yang filmnya paling sering direproduksi dan sering jadi bahan obrolan soal isu-isu lingkungan.
Kalau film Godzilla pertama (1954) membawa pesan tentang bom nuklir yang membawa petaka, Godzilla versi baru mengangkat tema perubahan iklim dan kepunahan massal.
Tapi, kita nggak bisa serta merta pakai formula film ecohorror dari luar negeri. Bukan karena sok nasionalis. Ada alasan yang agak realistis.
Ya, sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin nggak nyambung sama kisah monster yang bangkit gara-gara ledakan nuklir atau monster yang tercipta karena eksperimen sains tertentu.
Sebaliknya, warga negara +62 jelas punya kedekatan emosional dengan, misalnya, kisah para pendaki gunung yang tersesat ke desa gaib karena buang pembalut sembarangan. Jutaan views di kanal YouTube RJL 5 saat mengundang narasumber yang punya pengalaman soal penunggu gunung nunjukin hal ini.
Dengan minat yang tinggi terhadap isu-isu pengalaman gaib, film-film ecohorror bisa jadi medium pengarusutamaan isu lingkungan di masyarakat.
Dan, meski film horor sendiri bersifat dinamis, fleksibel, dan terbuka untuk berbagai interpretasi, eksplorasi terhadap ecohorror bisa jadi langkah awal buat memantik dialog soal isu lingkungan, di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur yang sering abai sama kelestarian alam.
Minimal, film ecohorror bisa ngajak kita berpikir ulang: masihkah kita berusaha memahami alam dan bahasa-bahasanya dengan benar?
*)Artikel ini sebelumnya telah terbit di The Convertation dan mengalami beberapa penyesuaian