Resensi Buku “Memaksa Ibu Jadi Hantu”: Mengapa Film Horor Menempatkan Perempuan Sebagai Sosok yang Menakutkan?

Resensi Buku “Memaksa Ibu Jadi Hantu”: Mengapa Film Horor Menempatkan Perempuan Sebagai Sosok yang Menakutkan?

Dalam buku Memaksa Ibu Jadi Hantu, pembaca akan menemukan fakta bahwa dari tahun ke tahun, jumlah hantu perempuan selalu lebih banyak daripada hantu laki-laki. Mengapa demikian?

Resensi Buku “Memaksa Ibu Jadi Hantu”: Mengapa Film Horor Menempatkan Perempuan Sebagai Sosok yang Menakutkan?

Bagi penikmat genre horor, film Pengabdi Setan (2017) dan Perempuan Tanah Jahanam (2019) tentu sudah tidak asing lagi. Dua film yang disutradarai Joko Anwar ini meraih kesuksesan hingga tingkat mancanegara. Pengabdi Setan (2017) merupakan remake dari film berjudul sama yang rilis pada tahun 1980. Film ini dibuka dengan adegan Rini tengah mengambil royalti ibunya yang berprofesi sebagai seorang penyanyi. Melalui dialog dalam film, penonton mengetahui bahwa sang Ibu sudah sakit lebih dari 3 tahun. 

Dalam adegan-adegan berikutnya, penonton diperlihatkan bagaimana Ibu hanya tergeletak di atas ranjang dan berkomunikasi menggunakan lonceng. Pada paruh awal film, Ibu meninggal. Kepergian Ibu ini menjadi awal mula teror yang mendatangi keluarga. Adegan demi adegan bergulir, memperlihatkan kepada penonton bagaimana sosok Ibu menjadi ancaman bagi anak-anaknya. 

Ibu dalam Pengabdi Setan (2017) menjelma sebagai sumber kengerian karena bergabung dalam sekte pemuja setan supaya bisa memiliki anak. Sebagai konsekuensi dari hal itu, anak terakhir harus dipersembahkan sebagai tumbal ketika telah berusia 7 tahun. Sepanjang film, penonton menyaksikan bagaimana sosok Ibu menghantui keluarganya dan berusaha mengambil Ian, anak terakhirnya. 

Dua tahun kemudian, Joko Anwar merilis Perempuan Tanah Jahanam (2019) yang mengisahkan teror dari Nyi Misni, ibu dari Ki Saptadi yang merupakan Kepala Desa Harjosari. Pada masa lampau, Nyi Misni merupakan seorang pembantu. Ia dihamili tuannya hingga melahirkan Ki Saptadi. Bertahun kemudian, Ki Saptadi berselingkuh dengan Nyai Sinta, menantu dari tuan Nyi Misni. 

Mengetahui hubungan gelap tersebut, Nyi Misni lantas mempraktikkan ilmu hitam untuk menghilangkan ingatan anaknya sekaligus menggugurkan bayi dalam kandungan Nyai Sinta. Namun di luar dugaan, bayi tersebut selamat. Nahasnya, ia lahir tanpa kulit. Tidak hanya bayi Nyai Sinta, bayi-bayi lain di Desa Harjosari semua lahir tanpa kulit. 

Buku Memaksa Ibu Jadi Hantu membahas bagaimana wacana maternal horror bekerja dalam dua film Joko Anwar di atas. Berasal dari tesis Annisa Winda Larasati di Program Studi Kajian Budaya dan Media, Sekolah Pascasarjana, UGM, buku ini mendedah bagaimana sosok ibu dan keibuan menjadi sumber teror bagi keluarganya, bahkan desanya. Baik dalam Pengabdi Setan (2017) maupun Perempuan Tanah Jahanam (2019), Joko Anwar menampilkan sosok ibu yang menyimpang dari pakem masyarakat. 

Sosok Ibu dalam Pengabdi Setan (2017), misalnya, merupakan tulang punggung keluarga. Dia digambarkan sebagai orang yang  tidak mampu berketurunan. Selain itu, pekerjaan Ibu adalah menjadi penyanyi, profesi yang  di masa tersebut dianggap kurang bermartabat. Agar bisa fit in dalam masyarakat, ia menggadaikan jiwanya kepada iblis supaya dapat memiliki keturunan. Hal senada juga tertuang dalam  Perempuan Tanah Jahanam (2019). Nyi Misni merupakan ibu tunggal yang membesarkan Ki Saptadi seorang diri. Nyi Misni pun digambarkan sangat mengontrol kehidupan Ki Saptadi dan memiliki kuasa di atas anaknya yang merupakan kepala desa. 

Kedua penulis, Annisa dan Justito, menjabarkan bagaimana perempuan yang bekerja, tidak dapat memiliki keturunan, dan ibu tunggal dianggap sebagai ketidaknormalan sehingga mengalami monsterisasi. Film horor Indonesia seolah ingin mengatakan, “Jika sosok ibu keluar dari konsep ideal masyarakat, ia akan menjadi monster!”

Narasi film horor yang demikian itu tidak muncul dari ruang hampa. Ia merupakan cerminan realitas masyarakat, hasil reproduksi wacana film horor era sebelumnya dan pengaruh dari peristiwa sejarah, folklor, hingga peraturan negara. Keyakinan masyarakat mengenai ibu yang “normal” dan “ideal” turut dimapankan oleh negara melalui Undang-Undang Perkawinan dan Panca Dharma Wanita. UU Perkawinan Tahun 1974 Pasal 34 Nomor 2 menyebutkan bahwa istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya. Sementara Panca Dharma Wanita menempatkan wanita sebagai pendamping suami, ibu rumah tangga, penerus keturunan dan pendidik anak, pencari nafkah tambahan, serta warga negara dan anggota masyarakat. 

Dalam film horor, ketika seorang istri sekaligus ibu tidak mampu menjalankan perannya dengan baik, ia akan diposisikan sebagai “bad mother” sehingga mengalami monsterisasi. Banyaknya tuntutan terhadap ibu ini pun meningkatkan probabilitas dan cara menjadikan ibu sebagai sumber teror. Hal ini tidak berlaku untuk sosok bapak, di mana seringkali ia dihilangkan atau tidak ada sama sekali sejak awal cerita. Bapak dalam Pengabdi Setan (2017) dikisahkan pergi bekerja di luar rumah sementara Perempuan Tanah Jahanam (2019) sama sekali tidak menampilkan figur parental. 

Tidak hanya sosok ibu, dalam buku Memaksa Ibu Jadi Hantu, pembaca akan menemukan fakta bahwa dari tahun ke tahun, jumlah hantu perempuan selalu lebih banyak daripada hantu laki-laki. Pembaca juga akan mengetahui penyebab perempuan menjadi sumber teror banyak dikaitkan dengan alat reproduksinya. Rahim nyaris selalu menjadi pangkal permasalahan, mulai dari haid yang dianggap kotor, kehamilan yang tidak diinginkan, sampai kematian akibat kehamilan itu sendiri. Hantu perempuan seringkali muncul dengan motif balas dendam, bahkan sampai membentuk genre “rape and revenge” tersendiri. Genre ini merujuk pada plot film horor  mengenai perempuan yang diperkosa lantas menuntut balas dendam. 

Selain film horor era sebelumnya yang menjadikan kebanyakan hantu adalah perempuan, Tragedi 1965 juga turut menyumbang narasi monsterisasi perempuan. Pembantaian terhadap mereka yang dituduh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk di antaranya terhadap Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), disertai dengan reproduksi mitos atas perilaku menjijikan, sadis, dan kejam dari kaum perempuan. Tentara pada masa Orde Baru melakukan propaganda anti-Gerwani yang sangat masif, yang pada akhirnya turut mempengaruhi pembentukan narasi dalam film horor Indonesia.

Pada zaman Orde Baru pula, pemerintah mencanangkan program Keluarga Berencana (KB). Melalui film, pemerintah mengkampanyekan program ini dengan menampilkan keluarga yang memiliki dua anak; laki-laki dan perempuan. Film pada masa ini juga mengikuti Kode Etik Produksi Film di Indonesia, di mana “dialog, adegan, visualisasi dan konflik-konflik antara protagonis dan antagonis dalam alur cerita seharusnya menuju ke arah ketakwaan dan pengagungan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.” Hal ini menyebabkan film memiliki alur cerita hampir seragam: kebaikan akan menang di atas kejahatan. Dalam hal ini, kebaikan seringkali direpresentasikan dengan tokoh agama, yang didominasi oleh laki-laki.

Sebagai penulis naskah, Joko Anwar berupaya untuk keluar dari konsep ideal ala Orde Baru ini. Keluarga dalam Pengabdi Setan (2017) memiliki anak berjumlah empat, dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan yang tidak proporsional. Tokoh agama dalam film ini pun meninggal, tidak menjadi deus ex machina seperti narasi film horor era sebelumnya. Sementara dalam Perempuan Tanah Jahanam (2019), Joko Anwar tidak menghadirkan wacana agama apapun. 

Film horor Indonesia kontemporer tidak benar-benar keluar dari narasi film horor yang telah lalu dan tetap menggunakan maternal horror. Salah satu penyebabnya, disebutkan dalam buku ini, adalah dominasi sutradara laki-laki dalam dunia perfilman Indonesia. Hal ini berimbas kepada ketidaktepatan representasi perempuan, termasuk di dalamnya adalah ibu. Pada gilirannya, film horor Indonesia pun memaksa ibu jadi hantu!