Dewan Direksi Women Living Under Muslim Law (WLUML) dari Canada Prof. Homa Hoodfar menyampaikan bahwa kesadaran gerakan perempuan hari ini telah semakin progresif.
“Pada mulanya gerakan perempuan tidak begitu terdengar, namun lambat laun gerakan ini semakin masif. Melalui proses advokasi dan langkah strategis lainnya dengan sounding women’s rights are human rights hak perempuan kemudian diakui,” kata Prof. Homa Hoodfar dalam Seminar Internasional yang digelar PW Fatayat NU DIY di Gedung Convention Hall, lantai 1, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (21/03/2022).
Acara ini merupakan upaya peningkatan gerakan perempuan muslim dari berbagai negara untuk perlindungan dan keadilan.
“Saya berharap seminar ini dapat bermanfaat bukan hanya bagi Fatayat NU, tetapi juga untuk seluruh masyarakat, bukan hanya untuk Indonesia tetapi juga untuk dunia,” tutur Ahmad Rafiq, Perwakilan dari PWNU DIY.
Menurut Prof. Homa Hoodfar, berbagai penelitian akademis terkait perempuan, terutama dari Indonesia, Malaysia, Sudan dan beberapa negara lainnya, kemudian diakomodasi oleh banyak negara di dunia, pada akhirnya bisa memberikan pandangan kepada muslimah di dunia.
“Perempuan mulai sadar akan situasi mereka sekaligus tentang bagaimana menyikapi teks hukum Islam yang direinterpretasi sesuai dengan perkembangan zaman namun tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri,” katanya.
Sementara itu, Peneliti International Institute for Asian Studies (IIAS) dari Prancis, Samia Kotele menyebut, jika kita menggunakan perspektif post kolonial, maka hukum-hukum yang dipakai saat ini (hukum nikah dan hukum keluarga misalnya) masih dominan terhadap maskulinitas serta produk dari post kolonial.
“Jika dilihat dari pergerakan perempuan di Prancis yang notabene adalah negara sekuler, permasalahan di sana lebih berkaitan tentang persoalan identitas muslimah sendiri. mereka berjuang untuk mendapatkan kebebasan di ruang public,” ujarnya.
“Sejak dulu di negara-negara di dunia terutama Prancis, mereka beranggapan bahwa tubuh perempuan sangat rentan di politisasi. Hal ini berpengaruh terhadap respon negara terhadap perempuan zaman sekarang. Saat ini, perjuangan terhadap penggunaan jilbab secara bebas dan isu mengenai Islamphobia menjadi permasalahn utama karena wanita muslim jelas terlihat ketika memakai jilbab.” Samia menambahkan.
Di forum yang sama, Direktur Eksekutif Sister In Islam (SIS) dari Malaysia, Rozana Isa menyampaikan tentang dinamika pergerakan kaum perempuan dari Sisters in Islam hingga Musawah.
“Melalui forum ini gerakan perempuan di Malaysia melakukan pembahasan rutin setiap pekannya, membahas isu dan pemikiran Prof. Ameena Wadud, maupun permasalahan kaum perempuan di Malaysia,” terang Rozana Isa.
Menurutnya, tujuan utama dari aktivisme itu adalah agar kaum perempuan tidak terbebani dengan permasalahan domestik. “Jika di Malaysia ada Musawa, di Indonesia ada Alimat, Kupi, Mubadalah, dan yang lainnya, sama-sama bergerak dalam rangka pergerakan kaum perempuan muslim.”
Aktivis Fatayat NU DIY, Mustaghfiroh Rahayu menyatakan bahwa posisi Fatayat dalam pergerakan perempuan muslim di dunia ialah berada di tengah, dengan gerak dalam ruang praksis dan ruang diskusi dengan critical thinking yang tinggi. Ini dipertegas oleh Dosen Fakultas Ilmu Politik dan Sosial Universitas Gajah Mada, Dr. Abdul Gaffar Karim.
Menurut Gaffar, ada sejumlah peran Fatayat yang perlu dilakukan. “Dengan menyebarkan gagasan bil hal dan bil lisan, terutama yang terkait core problem pada konsep kesetaraan gender. Selanjutnya Fatayat perlu memperluas ruang demokrasi di negara kita. Kemudian, langkah selanjutnya adalah mengadvokasi pemerintahan yang support terhadap norma kita.”
“Gagasan yang perlu dikembangkan lagi adalah peran perempuan dalam ruang politik. Selanjutnya perjuangan yang bisa diteruskan adalah memetakan stake holder dalam kerja-kerja praksis. Fatayat perlu bekerja sedekat mungkin dengan pembuat kebijakan agar Fatayat dapat menjadi kontrol yang baik terhadap kebijakan yang sesuai dengan norma, mengidentifikasikan potensi masalah dan cara-cara melakukan mitigasi,” tambahnya.