Jika kita membuka berita, hampir setiap hari terjadi kasus teror, baik di Indonesia maupun dunia. Khususnya di Indonesia, sejak 2000 hingga 2021, keterlibatan perempuan dalam kasus terorisme cukup tinggi. Berdasarkan catatan BNPT ada sekitar 50 orang perempuan yang terlibat terorisme. Jumlah tersebut, ada kemungkinan besar bertambah di kemudian hari. Tren kasus mulai bergeser setiap tahunnya, mulai melibatkan keluarga hingga masuk ke kalangan remaja.
Dari bertambahnya jumlah kasus tersebut, kita perlu berpikir sejenak perubahan tersebut. Apa yang melatarbelakangi keterlibatan perempuan dalam kasus terorisme? Apa yang perlu dilakukan oleh masyarakat sipil maupun pemerintah guna menekan jumlah perempuan terlibat dalam kasus terorisme?
Mengapa keterlibatan perempuan dalam terorisme terus meningkat? Ada persepsi yang salah seandainya keterlibatan perempuan dalam terorisme disamakan dengan gerakan feminisme. Ada yang mengatakan jika aksi bom yang melibatkan perempuan ini merupakan perlawanan dari feminism, padahal feminism tidak mengajarkan ekstrimisme dan terorisme.
Ada jumlah di atas, ada tiga tren perubahan ketika perempuan terlibat dalam terorisme. Hal yang pertama adalah adanya perubahan peran perempuan yang semula menjadi pendukung menjadi aktor utama. Diakui atau tidak, sejumlah istri teroris seperti istri Nurdin M. Top, Istri Umat Patek dan lainnya dalam catatannya mengambil peran di belakang layar. Namun, dalam kurun waktu lima tahun terakhir, perempuan mengambi peran eksekutor. Bahkan, tidak sedikit perempuan menjadi otak rencana sejumlah aksi di Indonesia.
Hal kedua adalah proses radikalisasi di lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga, perlu disadari jika lingkungan tersebut menjadi lebih efektif ketika intensitas operasi keamanan tinggi mempersempit ruang gerak aktor. Teakhir adalah koneksivitas bukan kolektifitas. Menurut Noor Huda, Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian mengatakan jika kebutuhan konektivitas dengan ideology jihad sebagai amalan tertinggi. Jauh lebih penting dari menjadi bagian secara fisik kelompok teroris. Hal ini dibuktikan dengan kasus Zakiah Aini, pelaku penembakan Mabes Polri.
Berdasarkan laporan IPAC, organisasi terroris mulai muncul pada 1980 dengan wajah Darul Islam mulai merekrut perempuan dengan menggunakan isu perempuan solehah. Kemudian, muncul Jamaah Islamiyah dengan isu seputar pernikahan hingga melarang perempuan berjihad namun jika ada emergency, perempuan bisa melakukan jihad. Hal tersebut terus dipupuk, hingga akhirnya saat ini dianggap sebuah emergency di mana perempuan bisa melakukan jihad.
Selama ini, pemerintah dalam penanganan kasus terorisme masih menggunakan pendekatan keamanan dan counter terrism. Perlu diketahui, tidak sedikit para petugas yang dikelabui oleh para perempuan esksektor terorisme, baik di daerah maupun nasional. Melihat kasus terus tersebut, menandakan jika prinsip Pengarusutamaan Gender (PUG) belum diterapkan secara optimal dalam terorisme, baik dalam penanganan maupun pencegahan.
Dalam perkembangannya, Indonesia sudah mengeluarkan Intruksi Presiden terkait PUG sebagai strategi untk mencapai tujuan kesetaraan gender. Hal tersebut dikeluarkan oleh Presiden Abdurahman Wahid tentang Instruksi Presiden No 9 tahun 2000. Dalam aturan tersebut, PUG wajib dijalankan oleh lembaga negara baik ditingkat nasional maupun daerah.
Fakta lainnya ditemukan jika kata PUG tidak ditemukan dalam sejumlah regulasi terorisme. Baru pada 2021, secara eksplisit PUG ditemukan dalam Peraturan Pemerinta No. 7 tahun 2021 tentang RAN PE. Apakah dampak absennya PUG dalam penganan terorisme?
Dalam policy brief yang dibuat oleh AMAN Indonesia, absennya PUG dalam penanganan terorisme membawa sejumlah dampak. Hal pertama, kegagalan mengungkap perbedaan motivasi perempuan dan laki-laki ketertarikan pada terorisme. Hal kedua, pintu masuk radikalisme perempuan disamakan dengan laki-laki. Hal ketiga, pengalaman latarbelakang ketidakadilan gender pada perempuan tidak menjadi unit analisa penting.
Hal keempat, pendekatan deradikalisasi, rehabilitas dan reintegrasi pada laki-laki dan perempuan dilakukan secara umum. Kelima, sedikitnya perwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan di pemerintahan. Dalam konteks analisa gender, sangat penting diperhatikan pemgalaman kasus ketidakadilan gender, akan memperjelas push and pull factor yang mempengaruhi perempuan terlibat.