Melihat Aksi Terorisme di Sistem Pendidikan di Indonesia

Melihat Aksi Terorisme di Sistem Pendidikan di Indonesia

Sebuah refleksi tentang pendidikan kita dan aksi terorisme yang sedang hangat lagi belakangan ini

Melihat Aksi Terorisme di Sistem Pendidikan di Indonesia
Kita harus juga ikut waspada terhadap intoleransi di sekolah yang mulai membiak

Dua aksi ekstremisme yang terjadi terakhir ini, menjadi sebuah refleksi bersama. Apakah apakah Pengarusutamaan Gender sudah dilaksanakan dengan baik dalam penangggulangan ekstremisme. Baik untuk pencegahan atau penanganan ekstremisme. Asumsi perempuan sebagai kelompok tidak berdisa menjadi peluang perempuan untuk terlibat jauh dalam agenda ekstremisme. Apalagi ada banyak aksi bom bunuh diri yang mengikutsertakan perempuan.

Pada 2018 lalu,  terdapat dua orang perempuan muda yang berencana masuk ke dalam Mako Brimob membawakan makanan dan dukungan kepada napi terorisme. Dari tangan Siska polisi menyita sebuah gunting yang akan digunakan untuk menyerang polisi. Keduanya memiliki latarbelakang pendidika yang cukup baik. Dita Siska Ia bekerja sebagai Guru Tajwid di Pondok Dauhrul Ulum, Cilacap. Siska Nurazizah merupakan mahasiswa semester 6 di UPI.

Pada 2021 saat ini, perempuan menjadi aktor dari ekstremisme. Dua kejadian ini, menjadi gambaran adanya pergerakan dan perkembangan perempuan yang mulai berani untuk menjadi barisan paling depan dalam aksi ekstremisme. Ke depan, dalam dipastikan akan semakin banyak para perempuan yang terlibat dalam aksi ekstremisme.

Bercermin pada pengalaman pribadi saya, radikalisme sudah masuk sejak lama ke dalam institusi pendidikan. Praktek radikalisme masuk ke dalam lembaga pendidikan, bukan hanya menginternalisasi para siswa, tetapi para guru dan lainnya di lembaga pendidikan. Adapun gejala awal anak-anak di dunia pendidikan yang mulai terindikasi radikalisme seperti menolak mengikuti upacara, mengikuti pelajaran PKN dan agama, mulai memusuhi kelompok yang berbeda.

Gejala awal ini, cenderung diabaikan dan dianggap sebagai hal yang tidak serius. Di sisi lain, dalam dunia pendidikan selama ini ada banyak sekolah yang berbasis identitas agama, menutup pegalaman langsung berinteraksi dengan kelompok yang berbeda. Sehingga, secara tidak langsung membentuk dan menciptakan segregasi sosial. Lebih jauh, praktek homeschooling belakang menjadi media radikalisasi pada anak-anak bagi orangtua yang memiliki pikiran radikalis kekerasan.

Dalam dunia pendidikan sendiri, diakui atau tidak, sekolah yang menanamkan nilai kritis mulai redup. Apalagi saat ini, mulai merebaknya budaya instan dalam beragama. Hal ini menandakan jika tingkat literasi di masyarakat hingga pemahaman agama yang tekstual menjadi penyebab suburnya paham radikalisme di Indonesia.

Kelemahan system pendidikan agama menjadi salah satu faktor tumbuhnya radikalisme di Indonesia. Pendidikan agama di Indonesia terutama, kurangnya menekan pada nilai moral. Mulai dari kasih sayang, cinta, toleransi, tenggang rasa hingga saling menghormati perbedaan pendapat dan kepercayaan agama. Tanpa mengabaikan nilai-nilai teologis, nilai-nilai moral dapat menciptakan nilai harmonis. Hal ini perlu didorong melalui pendidikan agama. Bagaimana caranya menanamkannya kepada anak didik?

Sebenarnya sangat mudah ditanamkan kepada anak didik. Seandaikan para peserta didik saling mengenal satu sama lain. Mulai dari agama, etnik dan budaya yang berbeda. Saya sempat membaca sebuah buku tentang bagaimana orang-orang Austaralia saling mengenal budaya masing-masing. Di sekolah dalam beberapa kali waktu, harus membawa benda atau yang mencerminkan asal mereka. Bahkan, para guru mengajarkan saling berbagi makanan ketika makan siang.

Sikap menghargai agama-agama lain atau para penganut agama lain, dapat ditumbuhkan bisa dengan mengadakan pelajaran perbandingan agama atau dengan kata lain sejarah agama-agama. Sebenarnya, usulan ini sempat terjadi pada 1980-an yang dimasukan ke dalam kurikulum sekolah. Sayangnya, usulan ini ditentang oleh kelompok muslim dengan alasan merusak dan melemahkan iman para peserta didik.

Seandainya hal ini akan dilakukan, pendekatan apoligetis dan polemis hatus dihindari karena pendekatan semacam ini tidak mendatangkan pemahaman yang benar tentang agama-agama lain. Pendekatan tersebut hanya menimbulkan kesalahpahaman tentang agama-agama yang dipelajari. Pemahaman yang benar tentang agama-agama lain dapat menumbuhkan sikap saling menghargai. Seandainya melakukan pendekatan yang salah, sikap yang akan muncul sikap saling membendi dan memusuhi agama lain.

Media sosial menjadi ruang yang memperparah penyebaran tafsir agama yang malah cendrung mengarah kepada konservatif. Wajah media sosial telah berganti menjadi konsep berpikir otoritas pada sebuah keilmuan yang tidak lagi bersandarkan pada kedalaman keilmuan seseorang. Melainkan pada jumlah follower.