
Rencana Presiden terpilih Prabowo Subianto mengevakuasi warga Gaza ke Indonesia, meski belum pasti dilakukan memantik perdebatan tajam di ruang publik. Sekilas, gagasan ini tampak seperti langkah humanis: menolong warga sipil dari neraka perang. Namun, tiga organisasi Islam terbesar di Indonesia; Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kompak menolak. Bukan karena mereka anti-kemanusiaan, tapi karena mereka membaca langkah ini sebagai bagian dari skenario besar yang justru mengancam masa depan kemerdekaan Palestina.
Penolakan ini penting dibedah secara kritis. Dalam geopolitik, niat baik bisa jadi kuda Troya. Maka, pertanyaannya: apakah evakuasi warga Gaza merupakan solusi jangka pendek penuh niat baik, atau justru langkah jangka panjang yang keliru secara strategis?
Dilema Etika dan Politik Evakuasi
Evakuasi sipil dalam situasi perang sering dipandang sebagai respons kemanusiaan. Dalam Just and Unjust Wars (1977), Michael Walzer menekankan, menyelamatkan non-kombatan adalah kewajiban moral. Namun, Walzer memperingatkan tentang dilema etis ketika tindakan penyelamatan justru memperkuat logika penyerang atau penjajah. Inilah kritik utama yang dilontarkan oleh NU, Muhammadiyah, dan MUI: evakuasi bukan netral. Ia bisa bisa bermakna sebagai bentuk kolaborasi tidak langsung dengan agenda pengosongan Gaza oleh Israel dan Amerika Serikat.
Ulil Abshar Abdalla dari PBNU menyebut rencana Prabowo sebagai “blunder politik.” Karena jika relokasi dilakukan, maka tujuan Israel menjadikan Gaza kosong dari penduduk Palestina justru terbantu. Padahal, dalam logika perjuangan kemerdekaan, eksistensi fisik warga Palestina di tanahnya adalah bentuk perlawanan itu sendiri.
Dalam kacamata keamanan, membawa ribuan pengungsi dari zona konflik Timur Tengah ke Indonesia bukan tanpa risiko. Indonesia tidak memiliki pengalaman pengelolaan pengungsi dalam skala sebesar itu dengan latar belakang kompleks: trauma perang, jaringan perlawanan, hingga potensi infiltrasi intelijen asing.
Menurut Barry Buzan dalam People, States and Fear (1983), keamanan bukan hanya urusan militer, tapi juga menyangkut stabilitas sosial, ekonomi, dan identitas nasional. Langkah ini bisa menciptakan ketegangan horizontal di dalam negeri dan meningkatkan kerentanan terhadap intervensi asing, terutama dalam konteks pengawasan terhadap komunitas-komunitas diaspora konflik yang seringkali menjadi sasaran rekrutmen atau pengawasan intelijen. Pengalaman resistensi dan ketegangan sosial bisa kita temukan dalam kasus pengungsi Rohingya di Aceh.
Pengosongan Gaza, Siapa Diuntungkan?
Dalam The Political Economy of Peacebuilding in Post-Conflict States (2011), Michael Pugh dan Neil Cooper menunjukkan, pengosongan wilayah konflik kerap disusul proyek-proyek rekonstruksi yang menguntungkan korporasi multinasional dan kekuatan besar. Gaza, yang berada di jalur pantai Laut Tengah, sangat potensial jadi kawasan wisata elit atau pelabuhan strategis dalam skema “New Middle East” versi Jared Kushner dan Donald Trump.
Ketika Ulil menyebut ambisi Netanyahu dan Trump menjadikan Gaza sebagai “resort pinggir pantai”, itu bukan fiksi atau isapan jempol. Dalam dokumen-dokumen Abraham Accords, ada pembahasan rencana pembangunan infrastruktur ekonomi baru di wilayah Palestina jika “keamanan sudah stabil”, frasa yang sering jadi pembuka kolonisasi ekonomi.
Dengan demikian, setiap relokasi warga Gaza akan membuka kesempatan jalannya eksekusi rencana ekonomi-politik tersebut. Mereka yang diuntungkan bukanlah rakyat Palestina, tapi jaringan kapital global yang bersinergi dengan kekuatan militer Israel dengan restu Netanyahu.
Apa alternatifnya? John Paul Lederach dalam The Moral Imagination: The Art and Soul of Building Peace (2005) menekankan pentingnya conflict transformation, bukan sekadar conflict management. Indonesia seharusnya menggunakan pengaruh moral dan diplomatik mendorong gencatan senjata, membuka koridor kemanusiaan di Gaza, mendukung infrastruktur kesehatan dan pendidikan langsung di sana, bukan dengan menarik rakyatnya ke luar.
Seperti disampaikan PP Muhammadiyah, bantuan kesehatan dan trauma healing harus disediakan di Gaza dengan dukungan negara-negara sahabat, bukan justru mengeluarkan warga Palestina dari tanah kelahiran mereka. Namun untuk warga yang menjadi korban dengan tingkat kesehatan sangat buruk sebaiknya mendapat perhatian serius di negara yang tidak jauh dari Palestina.
Langkah Ormas Islam
Rencana evakuasi warga Gaza, jika tidak dikaji secara komprehensif, bukan hanya menjerumuskan Indonesia dalam perangkap geopolitik, tapi juga bisa mencederai prinsip moral dalam mendukung perjuangan rakyat tertindas. Dalam dunia pasca-kolonial, niat baik tanpa pembacaan konteks historis bisa berujung pada pengkhianatan terhadap sejarah kedaulatan negara Palestina.
Indonesia harus belajar dari sejarahnya sendiri sebagai bangsa yang dijajah. Sebagaimana Buya Anwar Abbas mengatakan, “penjajah punya seribu satu cara dan tipu daya.” Maka langkah terbaik bukan mengosongkan Gaza, melainkan bantu rakyat Gaza bertahan dan bangkit di tanahnya sendiri dengan martabat dan hak yang utuh sebagai manusia merdeka.
Sikap penolakan ormas-ormas Islam besar seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak bisa hanya dilihat sebagai suara moral bangsa, tetapi juga sebagai kekuatan strategis membentuk arah diplomasi global Indonesia. Penolakan terhadap relokasi warga Gaza bukan semata sikap reaktif, melainkan bagian dari keprihatinan mendalam atas potensi legitimasi terhadap proyek etnik cleansing oleh Israel. Oleh karena itu, peran masyarakat melalui ormas Islam sangat diperlukan dalam mengawal arah kebijakan luar negeri Indonesia agar tetap berada dalam jalur konstitusional, moral, dan geopolitik yang berpihak pada keadilan global.
Ormas Islam bisa melakukan beragam upaya, di antaranya menyatukan pandangan keagamaan dalam bentuk fatwa dan pernyataan sikap bersama yang menolak segala bentuk relokasi paksa warga Palestina. Fatwa ini bukan hanya bersifat normatif, melainkan memiliki kekuatan simbolik yang mampu mengarahkan kebijakan negara agar tidak jadi bagian dari proyek pengosongan Gaza. Sikap kolektif ini juga dapat menjadi dasar moral dan keagamaan yang memperkuat posisi diplomasi Indonesia di forum-forum internasional seperti PBB, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), dan Gerakan Non-Blok.
Selain itu, ormas Islam Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi pelopor pembentukan aliansi umat Islam dunia dalam membela Palestina. NU dan Muhammadiyah, dengan jangkauan jaringan global yang luas, dapat memainkan peran sebagai inisiator konsolidasi kekuatan sipil dunia Islam menekan negara-negara yang cenderung kompromistis terhadap agenda koalisi Israel-AS. Pendekatan lintas negara yang dilakukan kekuatan masyarakat sipil dapat memperkuat diplomasi negara secara simultan dan menciptakan tekanan politik dari bawah ke atas (bottom-up).
Memperluas jangkauan advokasi hukum internasional melalui jalur masyarakat sipil. NU, Muhammadiyah, dan MUI dapat membentuk tim advokasi hukum internasional menggandeng organisasi hak asasi manusia global seperti Al-Haq, Amnesty International, atau South Africa Legal Network untuk mengajukan gugatan atas dugaan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel ke Mahkamah Internasional (ICJ) dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Upaya ini menunjukkan komitmen Indonesia tidak hanya dalam aspek politik, tetapi juga dalam pembelaan atas hukum internasional dan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Tidak kalah penting, ormas Islam perlu menanamkan kesadaran diplomasi kemanusiaan kepada generasi muda. Melalui pendidikan diplomasi yang fokus pada isu Palestina, generasi baru Indonesia akan tumbuh sebagai aktor-aktor perubahan di level global, yang mampu membawa narasi perjuangan Palestina ke forum-forum internasional seperti Dewan HAM PBB di Jenewa, Uni Eropa, atau forum antaragama lintas negara. Pendidikan diplomasi ini menjadi investasi strategis keberlanjutan memastikan posisi Indonesia sebagai kekuatan non blok pembela Palestina.
Sementara itu, empati dan solidaritas terhadap rakyat Palestina harus diwujudkan dengan cara yang tidak melemahkan posisi geopolitik mereka. Bantuan kemanusiaan tetap harus dilakukan sebagaimana sejumlah ormas Islam sudah lakukan sejak lama yang lebih fokus ke wilayah Gaza. Melalui kerja sama langsung dengan LSM setempat, ormas Islam dapat membangun rumah sakit lapangan, pusat pemulihan trauma, dan program pemulihan ekonomi warga Gaza secara partisipatif. Inisiatif ini akan menunjukkan bahwa Indonesia hadir dengan semangat solidaritas, bukan sebagai perpanjangan tangan kekuatan global yang ingin mengosongkan Gaza.
Akhirnya, ormas Islam memiliki tanggung jawab besar untuk terus mengingatkan pemerintah agar tetap konsisten dan berdaulat dalam kebijakan luar negeri. Dialog konstruktif dan berkala antara pimpinan ormas dan pemangku kebijakan negara diperlukan memastikan bahwa setiap langkah diplomasi Indonesia tidak keluar dari komitmen historis, konstitusi, dan nurani bangsa. Dengan demikian, diplomasi tidak hanya bersuara keras, tetapi juga berpijak pada dasar kepentingan kemanusiaan, keadilan, semangat kemerdekaan Asia Afrika dan solidaritas global.