
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru-baru ini mengadakan rapat pleno RDPU dengan organisasi masyarakat Islam, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang terlibat dalam pengelolaan tambang. Dalam pertemuan itu, K.H. Ulil Abshar Abdalla, atau Gus Ulil, hadir mewakili Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dalam diskusi, Gus Ulil melontarkan kelakar tentang “sogokan yang dibenarkan,” yang ia sebut sebagai “Sogokan Hasanah.”
Istilah ini muncul sebagai tanggapan atas pernyataan anggota DPR yang menyebut bahwa pemberian pengelolaan tambang kepada ormas Islam seperti NU adalah bentuk “sogokan” pemerintah agar mereka tidak lagi kritis terhadap kebijakan pemerintah. Gus Ulil menjelaskan bahwa pemberian izin tambang kepada ormas Islam tidak bisa dianggap sebagai sogokan. Namun, ia menambahkan, jika pun hal itu tetap dianggap sogokan, maka itu adalah “sogokan yang baik.”
Dari sinilah istilah “Sogokan Hasanah” muncul, menyiratkan bahwa pemberian tersebut, meskipun disebut sogokan, dinilai membawa manfaat atau kebaikan (hasanah).”
Tulisan ini bertujuan untuk mengulas makna dari istilah “Sogokan Hasanah” yang digunakan oleh Gus Ulil. Secara spesifik, tulisan ini mengambil posisi untuk menyampaikan bahwa konsep sogokan atau risywah (suap, dalam studi fikih) yang dijadikan paradigma oleh Gus Ulil kurang tepat. Jika Gus Ulil menggunakan konsep fikih dalam setiap argumennya—termasuk dalam pembahasan terkait pengelolaan tambang yang baru saja terjadi—maka konsep fikih yang diterapkan seharusnya merupakan konsep fikih yang utuh dan komprehensif.
Penjelasan lebih rinci mengenai hal ini akan dibahas nanti.
Tulisan ini saya bagi menjadi dua bagian. Pertama, komentar atas landasan teoritis fikih yang selama ini digunakan oleh Gus Ulil. Kedua, komentar atas konsep ‘Sogokan Hasanah’ yang menurut saya kurang tepat.
Pengamatan atas Landasan Teoritis Fikih yang Digunakan Gus Ulil
Sebagai langkah awal, saya ingin membagikan pengamatan saya terhadap landasan teoritis fikih yang digunakan oleh Gus Ulil. Hemat saya, paradigma fikih yang diterapkan oleh Gus Ulil cenderung bersifat pragmatis dan, dalam beberapa hal, problematis.
Memang benar bahwa salah satu ciri khas fikih adalah sifatnya yang fleksibel. Hal ini sering kali disampaikan oleh Gus Ulil untuk memperkuat argumennya. Namun, fleksibilitas atau kelenturan ini tidaklah tanpa batas.
Dalam teori maqashid syariah, sebagaimana dikembangkan oleh para ulama seperti Al-Ghazali dan Ash-Syatibi, fleksibilitas fikih harus selalu berada dalam kerangka mendatangkan maslahat (jalb al-maslahah) dan menolak kerusakan (dar’ al-mafsadah). Ash-Syatibi juga menegaskan dalam Al-Muwafaqat bahwa fleksibilitas syariat berfungsi sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia dan tujuan syariat
Dari perspektif modern, Khaled Abou El Fadl, seorang sarjana hukum Islam terkemuka, juga menyoroti pentingnya integritas moral dalam penafsiran hukum Islam.
Baca juga Tanggapi Pernyataan Sogokan Hasanah, Gus Ulil, Savic Ali: Kurang Tepat
Dalam bukunya The Search for Beauty in Islam, El Fadl mengkritik pendekatan pragmatis dalam fikih yang cenderung mengorbankan nilai-nilai universal Islam demi kepentingan praktis atau politik.
Menurutnya, hukum Islam harus mencerminkan keadilan, transparansi, dan kemaslahatan publik, bukan menjadi alat pembenaran untuk tujuan-tujuan yang subjektif atau pragmatis.
Pada titik ini, paradigma fikih yang digunakan oleh Gus Ulil, termasuk dalam istilah ‘Sogokan Hasanah,’ tampaknya menunjukkan bagaimana fleksibilitas fikih disalahgunakan untuk melegitimasi praktik yang, secara substansi, bertentangan dengan nilai-nilai maqashid syariah tadi.
Di mana letak pertentangan itu? Jika kita tinjau lebih jauh, pengelolaan tambang sering kali menghadirkan kerusakan besar terhadap lingkungan, kesejahteraan manusia, dan ekosistem alam, sehingga maslahat yang dihasilkan dari mengelolanya masih bersifat khilafiyah (diperselisihkan), sedangkan mafsadat yang timbul dari pengelolaan tambang sudah bersifat ittifaqiyyah/ijma’ (disepakati).”
Pengelolaan tambang, khususnya yang dilakukan dengan pendekatan eksploitasi besar-besaran, sering kali menghasilkan dampak buruk yang nyata dan signifikan terhadap ekosistem, kesehatan manusia, dan keberlanjutan lingkungan.
Beberapa poin berikut menguatkan bahwa mafsadat dari tambang ini bersifat muttafaq alaih (disepakati).
Pengelolaan tambang sering kali menyebabkan degradasi lingkungan yang masif, seperti deforestasi, kerusakan ekosistem, dan pencemaran air, tanah, serta udara. Hal ini ditegaskan oleh United Nations Environment Programme (UNEP) dalam laporannya, yang menyebut bahwa sektor tambang adalah salah satu kontributor utama deforestasi global, hilangnya keanekaragaman hayati, dan emisi karbon.
Kerusakan lingkungan yang masif akibat tambang juga lebih besar daripada manfaat ekonomis yang dihasilkan, apalagi jika manfaat tersebut hanya dirasakan oleh segelintir pihak. Dengan demikian, praktik tambang yang merusak lingkungan bertentangan dengan maqashid syariah, khususnya dalam menjaga kelestarian alam (hifzh al-bi’ah, pemeliharaan lingkungan).
Selain itu, tambang, terutama yang melibatkan eksploitasi mineral dan batubara, sering kali mencemari sumber air minum masyarakat.
Menurut penelitian dari Global Mining Institute, limbah tambang yang mengandung logam berat seperti merkuri dan arsenik dapat meracuni sungai dan air tanah, menyebabkan masalah kesehatan kronis seperti kanker, kerusakan saraf, hingga kelainan bawaan pada anak-anak. Pandangan ini selaras dengan maqashid syariah, hifzh an-nafs (perlindungan jiwa). Jika pengelolaan tambang mengancam kehidupan dan kesehatan manusia, maka praktik tersebut tidak dapat dianggap maslahat dalam perspektif syariah.
Pendukung pengelolaan tambang sering kali berargumen bahwa tambang membawa manfaat ekonomi besar, seperti penciptaan lapangan kerja dan pendapatan yang besar untuk kesejahteraan manusia. Namun, maslahat ini bersifat khilafiyah (diperdebatkan) karena manfaatnya tidak merata dan sering kali dinikmati oleh korporasi besar atau atau kelompok tertentu saja, sementara masyarakat sekitar tambang justru menderita akibat dampaknya.
Dalam fikih, ada kaidah dikatakan,
المصالح المرسلة لا يحتج بها في مفسدة متفق عليها.”
Manfaat atau maslahat yang bersifat dugaan tidak dapat dijadikan alasan untuk mengabaikan kerusakan yang telah disepakati.
Sebaliknya, dampak negatif atau mafsadat dari tambang sudah bersifat ittifaqiyah (disepakati) oleh para ahli lingkungan.
Kerusakan ekologis, ancaman kesehatan, serta hal-hal merugikan lainnya adalah perkara yang tidak dapat disangkal, baik dalam konteks syariah maupun realitas empiris. Oleh karena itu, justifikasi fikih untuk mendukung pengelolaan tambang yang bermasalah lagi-lagi bertentangan dengan kaidah fikih lainnya:
المفسدة إذا غلبت المصلحة بطلت المصلحة.
Jika kerusakan lebih dominan daripada manfaat, maka manfaat tersebut menjadi batal.
Pada titik ini, jelas bahwa paradigma fikih yang digunakan oleh Gus Ulil untuk melegitimasi “Sogokan Hasanah” tidak hanya bertentangan dengan maqashid syariah, tetapi juga mengabaikan realitas kerusakan yang ditimbulkan oleh pengelolaan tambang.
Maslahat yang dihasilkan dari tambang masih bersifat khilafiyah dan terbatas pada segelintir pihak, sementara mafsadat yang ditimbulkan sudah bersifat ittifaqiyah, baik dari perspektif fikih maupun data empiris.
Sehingga, penggunaan fleksibilitas fikih untuk mendukung praktik seperti ini menunjukkan pendekatan yang tidak utuh dan melanggar prinsip dasar fikih itu sendiri, yaitu menjaga keadilan, melestarikan lingkungan, dan melindungi kesejahteraan manusia.
Mengkritisi Konsep “Sogokan Hasanah”: Kesalahan Paradigma dalam Memahami Risywah
Salah satu poin menarik dalam diskusi mengenai pernyataan Gus Ulil di sidang DPR terkait istilah “Sogokan Hasanah”, yang menurut hemat saya adalah pemahaman yang keliru terhadap konsep risywah (suap) dalam Islam. Dalam konsep fikih, risywah secara tegas dilarang karena bertentangan dengan prinsip keadilan dan kejujuran yang menjadi inti dari hukum Islam. Namun, dalam beberapa kondisi yang sangat terbatas, memang terdapat pengecualian dengan syarat-syarat tertentu yang harus terpenuhi. Sayangnya, Gus Ulil mengabaikan ketentuan-ketentuan tersebut dan langsung melompat pada kesimpulan bahwa dalam kasus tambang, meskipun masuk dalam kategori suap atau sogokan, hal tersebut dapat dianggap sah atau “hasanah.”
Imam An-Nawawi, misalanya, dalam kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, menjelaskan bahwa risywah adalah haram baik bagi pemberi maupun penerima, karena tindakan ini mencederai keadilan dan kebenaran. An-Nawawi juga memberikan penjelasan bahwa dalam keadaan tertentu, misalnya ketika seseorang tidak bisa mendapatkan haknya kecuali dengan memberikan suap, maka tindakan tersebut diperbolehkan. Kesalahan atau dosa, ia menyebutnya, dalam hal ini, tidak ditanggung oleh pemberi, melainkan oleh pihak yang menerima suap.
Imam An-Nawawi berkata, “Jika seseorang tidak dapat memperoleh haknya kecuali dengan suap, maka diperbolehkan baginya untuk memberikannya. dosa dalam hal ini berada pada penerima, bukan pemberi.”
Pandangan serupa disampaikan oleh Imam Ramli dalam kitabnya Nihayat al-Muhtaj, Imam Ramli juga menegaskan bahwa risywah secara umum adalah haram karena bertujuan untuk membatalkan kebenaran atau menegakkan kebatilan.
Imam Ramli juga tidak menampik bahwa dalam kondisi darurat, di mana seseorang menghadapi kezaliman atau tidak memiliki cara lain untuk mendapatkan haknya, pemberian suap dapat menjadi boleh.
Dalam kondisi seperti itu, dosa tetap dibebankan pada penerima suap yang menuntut atau menerima harta secara tidak sah. Imam Ramli menyatakan, “Apabila seseorang terpaksa memberikan sesuatu untuk mencegah kezaliman atau mendapatkan haknya, maka hal itu diperbolehkan karena kebutuhan. Dosa dalam kondisi ini tetap berada pada pihak penerima.”
Para ulama sepakat bahwa tindakan seperti risywah merusak tatanan sosial, menciptakan ketimpangan, dan melemahkan kepercayaan publik. Oleh karena itu, setiap argumen yang berusaha melegitimasi risywah, termasuk melalui istilah “Sogokan Hasanah,” tidaklah tepat. Artinya, meski diperbolehkan dalam sebagian pendapat, penerimanya tidak terlepas dari dosa. Kalau PBNU, sebagai penerima ‘sogokan’, dosa nggak, kira-kira? (Yang ini bercanda, seperti kelakar Gus Ulil saat di DPR, heheh)
Alhasil, meskipun para ulama seperti Imam An-Nawawi dan Imam Ramli mengakui adanya pengecualian dalam kasus risywah yang diperbolehkan, kondisi-kondisi yang membolehkan tindakan ini sangat ketat dan tidak dapat diterapkan secara sembarangan. Pengecualian tersebut hanya berlaku untuk keadaan darurat yang nyata, bukan untuk kepentingan pragmatis atau untuk melegitimasi tindakan yang merusak tatanan masyarakat.
Para ulama sepakat bahwa tindakan seperti risywah merusak tatanan sosial, menciptakan ketimpangan, dan melemahkan kepercayaan publik. Poin saya, dalam konteks “Sogokan Hasanah,” gagasan tersebut tidak hanya salah secara fikih, tetapi juga bertentangan dengan nilai-nilai moral dan prinsip keadilan yang menjadi inti ajaran Islam.
Terakhir, sebagai catatan, “fleksibilitas fikih seharusnya diterapkan dalam koridor yang benar untuk mendatangkan maslahat bagi banyak orang, bukan dijadikan alat pembenaran atau legalisasi atas segala hal, apalagi jika keuntungannya hanya untuk kelompok tertentu saja”.
Wallahu a’lam bisshawab.