Beredar kabar dan gambar foto Habib Rizieq Shihab (HRS) mendoakan (memimpin doa/mentalqin) al maghfurllah mbah kyai Maimoen Zubaer (mbah Moen) saat upacara pemakaman al marhum di Makkah. Bahkan di beberapa medsos tersiar kabar tidak hanya HRS yang mendoakan al marhum, tapi juga menantunya, Habib Hanif ikut juga berdoa di upacara pemakaman mbah Moen.
Gambar dan kabar tersebut sontak menjadi bahan perdebatan warga dunia maya. Banyak yang mengapresiasi tindakan HRS karena dianggap sebagai bentuk penghormatan pada sesama ulama. Suatu sikap tawadhu’ seorang habib kepada orang tua yg sudah meninggal, dan berbagai pandangan positif lainnya. Namun di sisi lain muncul komentar sinis dan pandangan negatif dari para nitizen. Mereka berpandangan bahwa doa HRS itu sebagai tindakan mempolitisir upacara pemakaman, menunggangi suasana duka wafatnya seorang ulama untuk menarik simpati publik demi keuntungan politik.
Kontroversi terus berkembang tidak hanya persoalan doa, tetapi juga pada keaslian gambar, validitas sosok yang ada di dalam gambar dan berbagai perdebatan lainnya. Bahkan Dubes RI untuk kerajaan Arab Saudi, terpaksa memberikan pernyataan untuk mengklarifikasi issu doa HRS yang menuai kontroversi tersebut.
Sebenarnya apa yang dilakukan HRS mendoakan orang yang meninggal, secara syareat adalah perbuatan mulia. Apalagi yang meninggal adalah seorang ulama besar yang alim dan kharismatik. Atas tindakan mendoakan ini sebaiknya kita husnudhon (berbaik sangka) pada HRS.
Seandainya beliau tidak datang dan ikut berdoa juga akan menimbulkan tanda tanya di kalangan ummat yang juga memancing kontroversi. Dengan demikian keberadaan HRS dalam upacara pemakaman mbah Moen dan ikut nendoakan al marhum adalah tindakan mulia.
Yang jadi persoalan adalah cara HRS berdoa.
Sebagaimana dijelaskan oleh pak Dubes, tidak ada agenda HRS memimpin doa dalam upacara penakaman mbah Moen, tiba2 saja beliau nyelonong memimpin doa. Hingga kesannya HRS menyerobot rangkaian acara yang telah disusun.
Dalam tradidisi masyarakat NU tindakan seperti ini sangat menyinggung dan melukai perasaan keluarga yang beduka (shohibul musibah).
Memang tidak ada aturan syar’i yang mengharuskan izin kepada siapapun untuk mendoakan mayyit. Namun etika dan akhlak mengajarkan untuk menjaga perasaan keluarga yang berduka dengan tidak menyinggung perasaan merusak tatanan acara pemakaman. Artinya dalam kehidupan bermsyarakat menjalankan syareat harus dengan cara yang berakhlak. Tidak boleh mengabaikan akhlak atas nama syareat.
Sebetulnya di sinilah letak persoalan dari doa yang dilakukan HRS pada upacara pemakaman mbah Moen.
Sikap mengabaikan akhlak ini tidak saja bisa mengusik perasaan shohibul musibah, tetapi juga bisa menimbulkan sikap curiga dan tafsir negatif.
Kalau memang sekadar ingin mendoakan kepana dengan cara demosntratif di hadapan poblik sehingga harus menyerobot rangkaian acara yang ada?
Saya membayangkan andai saja saat itu HRS berdoa secara khusu’ di tengah kerumunan massa, atau mentalqin setelah uoacara pemakaman, saat para peziarah sudah pulang maka tidak akan memancing perdebatan dan kecurigaan.
Meski di tengah kerumunan massa sekalipun HRS akan tetap dilihat publik. Tanpa harus menyerobot susunan uoacara pemakaman yang melukai perasaan shohibul musibah, doa beliau akan dilihat publik karena HRS adalah sosok yang dikenal publik. Dengan cara seperti ini justru akan lebih terlihat kekhusuan dan keikhlasan doa yang dioanjatkan HRS.
Apa yg terjadi dengan doa HRS ini menunjukkan pentingnya menjaga akhlak dalam mengamalkan syariah. Berdoa unt mayyit adalah salah satu tuntunan syatiat dalam bermuamalah. Tetapi hal itu harus dilakukan secara beradab. Bersyariah tanpa akhlak akan bisa melukai perasaan sesama dan rentan dipolitisir.
Di tengah kehidupan bangsa yang beragam seperti Indonesia, adab dan akhlak menjadi sesuatu yang sangat penting ketika menjalankan syariat. Inilah pelajaran penting yang diberikan saat masa terakhir mbah Moen. Dan pada aspek akhlak dan adab inilah rasanya HRS harus banyak belajar dari mbah Moen. Lahu al faatehah.**