“Ir. Sukarno, ijazah ini dapat robek dan hancur menjadi abu di suatu saat. Ia tidak kekal. Ingatlah, bahwa satu-satunya kekuatan yg bisa hidup terus dan kekal adalah karakter dari seseorang. Ia akan tetap hidup dalam hati rakyat, sekalipun sesudah mati“
Demikian kata-kata magis yang keluar dari mulut Prof.Dr.Jacob Clay, Rector-Magnificus Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) saat menyatakan lulus dan memberi gelar “Ingenieur” pada acara pelepasan.
Sejak itu, 25 Mei 1926 – menurut tulisan Cindy Adams – Soekarno secara resmi telah purna sebagai mahasiswa di THS yang sekarang bernama Institut Tekhnologi Bandung (ITB).
Menurut pengakuan Sukarno, nasehat dari sang rektor itu begitu kuat membekas dalam hati dan pikirannya. Kuliah sejatinya adalah ikhtiar untuk menempa diri menjadi pribadi berilmu dan berkarakter. Tidak hanya sekedar untuk mendapatkan secarik kertas bernama ijazah yang bisa saja hilang atau menjadi abu.
Dan, kita tahu, sepanjang karier Sukarno sebagai mahasiswa, dia tidak hanya sibuk dibangku kuliah belajar kalkulus, geometri atau mekanika teknik. Tetapi, Sukarno juga aktif sebagai pegiat gerakan mahasiswa dan klub diskusi. Bersama beberapa temannya, Sukarno membentuk kelompok studi umum (Algemeene Studie-club), yang melalui kelompok inilah gagasan Sukarno tentang nasionalisme tumbuh dan terbentuk. Nasionalisme yang khas Indonesia, bukan nasionalisme-chauvinistik ala Eropa.
Jelas, Sukarno bukanlah mahasiswa yang kuliah hanya untuk mendapat gelar atau Ijazah. Ada aspek-aspek lain yang lebih penting dari itu, yakni menjadi intelektual yang membumi dan melokal dengan realitas masalah keindonesiaan.
Sukarno bukan tipe intelektual tradisional – meminjam istilah Gramsci – yang merasa nyaman menikmati “kemewahan” akademik dan duduk manis di singgasana menara gading yang indah. Menjadi intelektual berijazah bukan hanya untuk mendapat pekerjaan dan menikmati kemewahan hidup, tetapi juga harus memberi manfaat untuk kehidupan orang banyak, hadir untuk ikut merasakan setiap tarikan nafas dan cucuran keringat rakyat.
Kisah lain yang inspiratif juga datang dari Mahatma Gandhi, Bapak Bangsa India, yang gagasannya tentang kemanusiaan juga menginspirasi Sukarno. “My Nationality is humanity” demikian ucap Gandhi yang sering dikutip oleh Sukarno.
Suatu ketika ada seorang putra India, doktor ekonomi lulusan Harvard University mendatangi Mahatma Gandi. Kepada Gandi, sang doktor ini berkata: “Tuan Gandhi, kira-kira apa yang bisa saya bantu di yayasan yang Tuan pimpin, saya ingin ikut mengabdi untuk India.”
Mahatma Gandi-pun menjawab dengan jawaban yang tak pernah diduga. “ambil sikat itu dan bersihkan kloset (WC) yang berada di pojok sana sampai benar-benar bersih..!”
Sang doktor ekonomi itupun merasa tersinggung dengan jawaban dari Mahatma Gandi, dengan nada tinggi dia berkata:”Tuan Gandhi, saya ini Ph.D di bidang Ekonomi, lulusan Harvard University, kampus terbaik di dunia. Saya bisa membantu Anda menganalisis ekonomi makro untuk India, membantu Anda melakukan perencanaan pembangunan dan banyak hal besar lainnya. Alih-alih melakukan hal-hal yang sesuai dengan ilmu saya, malah Anda menyuruh saya membersihkan kloset.. pekerjaan yang hanya cocok untuk orang tak berpendidikan.”
Mendengar jawaban itu, Gandhi hanya tersenyum sambil berkata:”Hai anak muda, bagaimana mungkin engkau bisa mengabdi untuk India dengan tulus? melakukan hal kecil saja engkau tak mau.” Gandi meneruskan: “untuk bisa melakukan hal besar, untuk menjadikan India sebagai bangsa besar engkau harus sanggup melakukan hal kecil lebih dulu, hal-hal yang oleh sebagian orang dianggap remeh. Itulah pengabdian. India tak mungkin bisa menjadi negara besar jika para penduduknya berjiwa pecundang, tidak mempunyai jiwa mengabdi.”
Mendengar jawaban Gandhi, sang doktor ekonomi itu terdiam dan bergegas mengambil sikat untuk membersihkan kloset.
Dari dialog antara Gandhi dengan Doktor ekonomi lulusan Harvard itu kita tersadarkan bahwa betapa banyak sarjana dengan gelar yang berbaris-baris sangat mensakralkan ijazah. Betapa banyak para sarjana – yang karena gelar dan ijazah yang dimiliki – justru tercerabut dari realitas dan menjauh dari masalah-masalah kerakyatan. Ijazah ternyata sanggup menjadi pemisah status sosial.
Gandhi dan Jacob Clay adalah dua orang terdidik yang melakukan desakralisasi ijazah dan sakralisasi karakter dan pengabdian. Ijazah diposisikan sebagai kertas biasa yang tidak sakral, tetapi yang justru disakralkan adalah komitmen, integritas dan kapasitas intelektual. Korupsi membiak-merajalela di kalangan para sarjana, sebab utamanya karena adanya sakralisasi ijazah itu.