Bolehkah Perempuan Mengajar Al-Quran? Ini Jawaban As-Syinqithi!

Bolehkah Perempuan Mengajar Al-Quran? Ini Jawaban As-Syinqithi!

Bagaimana mungkin seorang perempuan tidak berhak untuk mengajar Al-Quran dan sunnah Nabi hanya karena semata mereka perempuan?

Bolehkah Perempuan Mengajar Al-Quran? Ini Jawaban As-Syinqithi!
Ilustrasi: Mengajar adalah salah satu jihad yang ada di sekitar kita

As-Syinqithi adalah salah satu Negara di Afrika yang memiliki tradisi keilmuan luar biasa. Negara ini dikenal dalam bidang keilmuan terlebih yang berkaitan dengan menghafal. Ia menulis sebuah buku yang berjudul Thariqah Hifdhi Al-Quran ‘Inda Asy-Syanaqithah.

Orang-orang di negara Syinqith sudah biasa menghafal Al-Quran, bahkan kutubut sittah (enam kitab pegangan dalam ilmu hadits). Banyak ulama’ luar biasa berasal dari Syinqithi, termasuk salah satunya Syaikh Abdullah Bin Bayyah Asy-Syinqithi.

Namun, meski demikian, ada satu kesalahan besar dalam tradisi keilmuan yang berkembang di sana, yaitu anggapan yang tak berdasar, bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam perihal pendidikan. Hal ini diakui sendiri oleh penulis buku Thariqah Hifdhi Al-Quran ‘Inda Asy-Syanaqithah.

Menurut anggapan mereka, seorang perempuan tidak berhak untuk mengajar dan memberi ijazah (lisensi keilmuan) Al-Quran, sebab derajat mereka rendah dipandang dari berbagai sisi.

Di Indonesia, walaupun tidak ada yang beranggapan demikian secara jelas. Namun, tradisi berguru Al-Quran kepada seorang perempuan, di beberapa daerah, diakui atau tidak merupakan suatu hal yang tabu.

Jarang sekali kita melihat lelaki dewasa mengaji atau mempelajari Al-Quran kepada perempuan. Terlepas dengan persyaratan syari’at yang mengatur segala tetek bengek boleh tidaknya pengajar lawan jenis. Akan tetapi keengganan belajar Al-Quran terhadap perempuan lebih didasari atas dasar gengsi dibanding persyaratan itu.

Oleh karenanya, dalam tulisan ini, saya ingin memaparkan kegelisahan yang dialami oleh As-Syeikh Ubbul Hasan Asy-Syinqithi mengenai tradisi yang ada dalam negaranya terkait perempuan, yang kebetulan di sebagian daerah dalam Negara kita juga memiliki tradisi demikian.

Beliau mencoba kritis menyikapi tradisi tersebut. Dalam bukunya beliau mengajukan beberapa pertanyaan. Beliau mempertanyakan, “Bagaimana mungkin seorang perempuan tidak berhak untuk mengajar Al-Quran dan sunnah Nabi hanya karena semata mereka perempuan?”

“Bukankah banyak para ulama’ salaf yang belajar kepada seorang perempuan, dan mendapat ijazah Al-Quran atau Hadis dari mereka?”

Berapa banyak riwayat hadis, tafsir dan lainnya yang dibuang, bila seandainya kita tidak berhak menerimanya dari ‘Aisyah Ra.?”

Kemudian beliau memberikan sebuah ulasan terkait pertanyaan-pertanyaan itu. Beliau menjelaskan, sudah jelas, bahwa hak mengajar bagi perempuan setara dengan laki-laki, termasuk memberi ijazah, begitu juga kewajiban mengajar. Namun dengan catatan, harus sesuai batas-batas yang ditentukan oleh syari’at.

Beliau juga menyebutkan beberapa perempuan yang berhasil menghafal Al-Quran serta mendapat ijazah lalu ia mengajar dan memberikan ijazah terhadap ulama’ masyhur (terkenal).

Di antaranya adalah Ummu Waraqah binti ‘Abdullah bin Al-Harits Al-Anshariyyah.  Beliau berhasil menghimpun Al-Quran, lalu Nabi SAW. memerintahkannya menjadi Imam shalat untuk penghuni rumahnya.

Hafshah binti Sirin. Beliau hafal Al-Quran pada saat berusia dua belas tahun. Saudaranya, Muhammad bin Sirin seringkali ketika ada orang yang bertanya mengenai masalah bacaan di dalam Al-Quran kepadanya, ia mengatakan, “pergilah, dan tanyakan pada Hafshah bagaimana cara membacanya.”

Salma binti Muhammad bin Al-Jazari, Ummu Al-Khair. Beliau adalah putri Imam Muhammad Aljazari dari damaskus yang merupakan pengarang kitab rujukan para imam dalam masalah ilmu qiraat dan hadis. Dalam salah satu kitabnya, beliau menulis tentang biografi singkat putrinya ini.

Ibn Al-Jazari berkata, “Salma binti Muhammad bin Muhammad, Ummu Al-Khair putriku, semoga Allah Swt. memberinya ilmu manfa’at dan semoga ia diberi taufiq, kebaikan di dunia dan di akhirat kelak. Pada usia tiga belas tahun ia menghafalkan Al-Quran dan telah hafal dasar ilmu tajwid serta ilmu nahwu (gramatika arab). Kemudian ia juga telah hafal Nadzam Alfiyah serta hafal Al-Quran lengkap dengan sepuluh ragam bacaan (qira`ah ‘asyrah), hingga tak ada yang menandinginya pada waktu itu.

“Ia juga mempelajari ilmu ‘arudh, bahasa arab, kaligrafi, puisi arab dan persia seiring kemampuannya semakin bertambah. Membaca sendiri hadits-hadits nabi dan mendengarkannya dariku, sampai ia benar-benar menjadi pakar yang sempurna dalam masalah ini”.

Selain itu, ada Mu`minah binti ‘Abdullah bin Yahya Al-Fasi yang memberikan ijazah pada ‘Abdullah bin ‘Umar bi Al-‘Izzu bin Jama’ah dan lainnya.

Begitupun juga Jamal An-Nisa` binti ‘Abi Bakar Ahmad bin Abi Sa’id yang memberikan ijazah pada Al-Fakhr Isma’il bin ‘Asakir, Fathimah binti Sulaiman, Taqiyuddin Sulaiman, Abi Bakar bin ‘Abdu Ad-Da`im, Ibnu Sa’id dan lainnya.

Mereka semua adalah sebagian perempuan yang mempu belajar Al-Quran dan mengajarkannya hingga memiliki beberapa murid yang tidak diragukan lagi keilmuannya. Dan masih banyak lagi yang lainnya.

Wallahu A’lam