Beberapa hari lalu, khalayak diriuhkan video Menteri Perdagangan, Zulklifi Hasan. Di Lampung, Pak Menteri membagikan minyak goreng. MinyaKita namanya. Di hadapan ibu-ibu, Pak Menteri meminta untuk memilih Futri di Pileg 2024 nanti. Tidak lain, Futri Zulya Savitri adalah anak Zulklifi Hasan. Calon legislator PAN Dapil Lampung I. Sontak, video ini viral. Pro dan kontra mengalir deras. Bahkan Presiden turut menegur. Meskipun tidak secara vulgar. Meminta semua menteri fokus pada tugas yang telah dimandatkan. Sebagai klarifikasi, juru bicara PAN, Viva Yoga Mauladi menyebut acara yang dihadiri Zulhas dan Futri adalah acara partai. Bukan acara kementerian.
Terlepas dari pro dan kontra yang ada, dari Mendag kita bisa belajar. Melihat lebih jujur wajah politik Indonesia. Fenomena Zulhas-Futri adalah gambaran kecil. Hubungan anak dan keluarga tidak mudah dilepas dari kontestasi politik. Selain Zulhas-Futri, dapat dengan mudah, kita membuat daftar panjang. Baik di aras politik nasional atapun lokal. Sebagai misal, relasi Megawati-Puan Maharani, SBY-AHY, Kiai Ma’ruf Amin-Siti Nur Azizah, Jokowi-Gibran-Bobby, dan masih banyak lagi. Tidak dapat dielakan, faktor orang tua mampu melapangkan karir politik anak. Diakui atau tidak. Lantas apakah kenyataan ini sepenuhnya salah?
Teori 3 Otoritas Max Weber
“Anak polah, bopo kepradah.” Begitulah falsafah Jawa mencandra realita di atas. Ketika anak mempunyai keinginan, pasti orang tua akan tergerak membantunya. Meskipun harus mempertaruhkan kredibilitas. Darah orang tua akan mendidih, jika anak sedang berjuang meraih keinginannya. Dalam kisah wayang kulit, tidak sedikit terdapat gambaran rumitnya memisah relasi kepentingan anak-bapak ini. Adalah Kresna, raja titisan Dewa Wisnu, yang dikenal sebagai raja paling bijak. Suatu ketika juga terperosok ke dalam kekhilafan. Berani melawan titah dewa, karena sang putera yang bernama Setijo ingin mencalonkan diri sebagai senopati Pandhawa. Kewaskitaan Kresna luntur di depan rengek tangis sang putera.
Tidak jauh beda, dalam politik Indonesia, posisi Kresna itu diperankan oleh sejumlah elit. Otoritas orang tua menjadi fasilitas kepentingan anak. Dalam kesarjanaan sosiologi politik, realita ini harus dibaca secara objektif dan berimbang. Merujuk Max Weber (1864-1920), seseorang dapat meraih otoritas kekuasaan melalui tiga pola. Pertama, otoritas tradisional (traditional authority). Dimana kekuasaan didapatkan dari jalur keturunan. Anak dinilai absah mewarisi kekuasaan orang tua. Dalam praktiknya, anak mendapatkan kemudahan akses kekuasaan berkat orang tua. Termasuk promosi sebagai penerus ataupun diposisikan sesuai dengan titah orang tua.
Kedua, otoritas karismatik (charismatic authority). Adalah kekuasaan yang diperoleh karena inovasi dan perubahan yang dibawa oleh seorang tokoh. Ia dianggap memiliki karisma. Mampu bertindak dengan tepat dan sigap. Berdasarkan kualitas personal. Otoritas karismatik hanya dimiliki oleh orang tertentu. Tidak mudah menemukan ataupun menggantikannya. Dalam pandangan Weber, tipe kedua ini cenderung tidak stabil. Ketika seorang pemimpin karismatik meninggal, maka akan terjadi krisis kepemimpinan. Karena itu, otoritas yang sesuai dengan masyarakat modern adalah tipe yang ketiga. Yakni otoritas legal-rasional (legal-rational authority).
Tipe otoritas legal-rasional adalah kekuasaan diperoleh sesuai dengan peraturan legal rasional. Siapapun dapat memperolehnya. Tentu setelah memenuhi persyaratan dan mekanisme yang telah diatur oleh perundang-undangan. Mulai dari syarat, kriteria, masa jabatan, prosedur, hingga sanksi. Secara reguler, peralihan kekuasaan legal-rasional dapat dipantau oleh masyarakat. Mulai dari proses mendapatkan, melaksanakan, hingga mengakhirinya. Jika tidak sesuai dari konsensus, maka masyarakat dapat melakukan koreksi.
Dalam praktiknya, sebagaimana ditegaskan oleh Anthony Giddens dan Philip W. Sutton dalam bukunya Essential Concepts in Sociology (2014), ketiga tipe kekuasaan di atas dapat berjalan berhimpitan. Tumpang tindih di waktu yang sama. Tidak terkecuali dalam sistem politik dan masyarakat modern. Idealnya, sistem politik modern dibangun di atas tipe otoritas legal-rasional. Bukan tipe tradisional dan karismatik. Namun dalam kenyataannya, ketiganya berkelid-kelindan. Kongkritnya, meskipun prosedur legal-rasional telah ditetapkan, namun pola tradisional tidak sepenuhnya hilang. Dalam hal ini, kita dapat memahami tidak mudahnya seorang Zulhas untuk imun dari kepentingan memperjuangkan putri tercintanya.
Politik Dinasti dan Dinasti Politik
Dari video singkat Mendag Zulhas, kita dapat belajar 3 hal penting. Pertama, pada dasarnya, setiap warga negara memiliki hak berkontestasi. Dipilih dan memilih. Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 menyatakan setiap warga negara Indonesia memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Termasuk di dalamnya adalah anak dari keluarga elit. Selama memiliki kapasitas dan kapabilitas, maka tidak ada masalah. Dalam konteks ini, dinasti politik dapat diterima. Secara teoritis, dinasti politik menggambungkan antara otoritas tradisional dan legal rasional. Seseorang dianggap cakap karena faktor personal serta keluarga.
Kedua, yang menjadi masalah adalah ketika seseorang tidak memiliki kualitas, lantas memanfaatkan jalinan kekeluargaan. Hal ini disebut dengan politik dinasti. Seseorang yang tidak siap, tetapi karena diinjeksi kemudahan dan pamor keluarga, lantas dapat mendulang suara. Mudah memobilisasi rakyat, abai terhadap esensi partisipasi. Suara rakyat dibeli sedemikian hingga. Tujuannya adalah semata kekuasaan. Jika tidak hati-hati, politik dinasti dapat merusak sistem politik Indonesia. Menjadi penyerbuk tumbuh suburnya birokrasi oligarki.
Menurut Adam Przeworski dalam bukunya Suistainable Democracy (1999), birokrasi oligarki akan membatasi kompetisi. Menghalangi akses distribusi kekuasaan. Ujungnya, kekuasaan hanya menjadi proyek individual para elit keluarga. Salah satunya adalah melalui penguasaan terhadap partai politik beserta asosiasi korporatisnya. Kita berharap, Mendag Zulhas menyadari efek negatif ini. Demikian halnya dengan para elit politik dan keluarga politisi lainnya. Zulhas-Futri hanyalah gambaran kecil dari realita politik Indonesia. Tidak mudah dilakukan, namun harus menjadi komitmen bersama. Demi kepentingan yang lebih besar, yakni kematangan sistem politik Indonesia.
Ketiga, pentingnya kontrol dan kritik dari masyarakat (demos). Hakikatnya, demoslah yang memiliki kekuasaan. Dengan kemajuan teknologi, masyarakat harus terus memiliki ketajaman kritik. Sewaktu-waktu terjadi indikasi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), maka harus nyaring disuarakan. Media sosial harus menjadi media kontrol. Mengawal arah kekuasaan yang dijalankan oleh para elit. Kita patut bersyukur, video Zulhas di atas langsung mematik reaksi. Tidak hanya bagi Zulhas, para elit lainnya juga harus dapat mengambil pelajaran. Sehingga tidak mudah tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan.