Belajar Sains dan Teknologi Itu Ibadah, Hukumnya Sama dengan Belajar Ilmu Agama

Belajar Sains dan Teknologi Itu Ibadah, Hukumnya Sama dengan Belajar Ilmu Agama

Era dinasti Abbasiyah merupakan puncak peradaban Islam. Di bawah pimpinan daulah Abbasiyah, terjadi gelombang besar arus ilmua pengetahuan, yang menandai kemajuan umat Islam, terutama dalam bidang sains dan teknologi. Yang menarik, peradaban Abbasiyah ini memadukan dua hal; sumber yang menjadi nilai sendiri, terdapat dalam Al-Qur’an, dan juga mengadopsi dari peradaban Yunani.

Belajar Sains dan Teknologi Itu Ibadah, Hukumnya Sama dengan Belajar Ilmu Agama
Profesor Jackie dalam laboritariumnya. Ia merupakan pakar nano teknologi. Picty by Mvslim

Era dinasti Abbasiyah merupakan puncak peradaban Islam. Di bawah pimpinan daulah Abbasiyah, terjadi gelombang besar arus ilmua pengetahuan, yang menandai kemajuan umat Islam, terutama dalam bidang sains dan teknologi. Yang menarik, peradaban Abbasiyah ini memadukan dua hal; sumber yang menjadi nilai sendiri, terdapat dalam Al-Qur’an, dan juga mengadopsi dari peradaban Yunani.

Salah satu simbol peradaban Islam di Bagdad adalah Baitul Hikmah—Rumah Kebijaksanaan, merupakan pusat penelitian (riset) dan ilmu pengetahuan. Baitul Hikmah didirikan oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyah, yaitu Harun Ar- Rasyid (786-809) dan mencapai puncaknya kemajuan di era Al Ma’mun  (813-830).

Dari Baitul Hikmah inilah muncul ilmuwan-ilmuwan besar Islam pada era Abbasiyah yang masyhur namanya, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Ghazali, Al-Khawarizmi, dan Al-Battani, dan masih banyak lagi, Para ilmuan inilah yang mengukir peradaban Islam. Sayyaed Hossein Nasr, menyebut para ilmuwan inilah yang menjadi pioner kemajuan keilmuan  Islam. Yang menjadi penerang bagi kemajuan dunia modern, khsususnya di Barat.

Kendati demikian, romantisme masa lalu, berbeda jauh dengan saat ini. Dunia muslim, tertinggal jauh dari dunia Barat. Termasuk dalam hal ini sains dan teknologi. Dunia Islam, seolah tenggelam dalam ketertinggalan dan kegelapan. Keterbalikan pada era abad pertengahan.

Terdapat pelbagai faktor terkait kemunduran umat Islam. Salah satunya, adalah anggapan belajar sains dan teknologi tidak termasuk kewajiban. Yang lebih mengutamanakan belajar ilmu yang dikaitkan dengan agama. Seolah ada ketimpangan. Belajar agama dapat pahala, sementara sains tidak dapat pahala dan tidak wajib.

Bahkan ada yang lebih ironis, menganggap belajar sains dan teknologi itu perkara yang terlarang. Sebab tidak ada anjuran Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad. Jadi tak perlu belajar sains dan ilmu alam lainnya. Benarkah klaim demikian?

Dalam Islam, belajar ilmu pengetahuan, termasuk  sains dan teknologi tidak termasuk perkara yang terlarang. Tidak pula perbuatan yang sia-sia. Apalagi masuk dalam perkara bid’ah yang jelek. Imam al-Ghazali dalam kitab berjudul al-Mufasshal, semua ilmu pengetahuan pada dasarnya terpuji dan sangat mulia, termasuk ilmu sains. Yang oleh Imam al Ghazali dikatakan sebagai ilmu duniawiyah.

اَلْعُلُوْمُ الدُّنْيَوِيَّةُ التِيْ يَحْتَاجُهَا الْمُسْلِمُوْنَ اَوْ تَحَقَّقَ لَهُمْ مَصَالِحُ مَشْرُوْعِهِ فَإِنَّ تَعَلُّمَهَا مِنَ الْفُرُوْضِ الْكِفَايَةِ

“Ilmu-ilmu dunia (sains) yang dibutuhkan oleh umat Islam, atau nyata maslahah belajaranya, maka hukum belajarnya adalah fardhu kifayah.

Dari penjelasan Imam Al Ghazali di atas termaktub pendapat bahwa belajar sains dan ilmu dunia lainnya termasuk dalam perkara yang fardhu kifayah, kewajiban bersama, jika ada yang memperbuatnya, gugur yang lain. Sama seperti shalat jenazah, perang di jalan Allah, memandikan jenazah, dan menguburkan jenazah.

Pada sisi lain, pendapat tersebut mengindikasikan bahwa Islam turut memberikan ruang dan kesempatan  umatnya untuk menyokong kemajuan zaman. Islam sangat mendukung kemajuan sains dan teknologi. Pasalnya, dengan kemajuan dalam bidang sains, teknologi, pertanian, industri, dan ekonomi akan mempermudah masyarakat yang membutuhkan.

Bahkan dalam kitab Mausu’ah al-Kuwaitiyah, belajar ilmu kedokteran hukumnya fardhu kifayah—yang juga merupakan cabang dari sains. Lebih jauh lagi, dalam negeri muslim atau masyarakat muslim sudah sepatutnya ada yang menjadi dokter, untuk mempermudah orang lain berobat dan memberikan pertolongan bagi yang membutuhkan. Ini mengindikasiakan bahwa belajar sains, sekaligus menjadi dokter hukumnya fardu kifayah. Dalam Mausu’ah al-Kuwaitiyyah ditulis:

“Mempelajari ilmu tentang kedokteran adalah fardu kifayah, maka wajib bahwa menjadi dokter profesional di negara-negara muslim dari mengetahui ilmu dasar dalam masalah pengolahan obat, dan juga mengetahui pelbagai istilah yang berhubungan dengan kedokteran.

Hukum asal belajar ilmu kedokteran pada mulanya mubah, akan tetapi bisa juga menjadi sunnah, jika diikuti dengan niat mengikuti teladan Nabi Muhammad SAW, dalam mengarahkannya untuk memberikan kebaikan atau pengobatan pada manusia. Atau bisa menjadi sunnah dengan meniatkan dalam hatinya untuk dapat memberikan manfaat pada orang lain.

Hal ini seperti dalam firman Allah Q.S Al Maidah/5;32:

 “Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua manusia

Dan juga hadis Nabi Muhammad;

Barangsiapa di antara kalian yang dapat memberikan manfaat bagi saudaranya, maka lakukanlah

Pada sisi lain, di abad ini, tak bisa tidak, keterlibatan dalam bidang sains dan teknologi merupakan suatu keniscayaan yang tak bisa diabaikan. Semua bangsa di dunia, berlomba-lomba dalam dua bidang tersebut. Pasalnya, masyarakat sudah tergantung dalam dua bidang tersebut. Masyarakat dunia menggantungkan hidup dalam dua hal tersebut.

Sudah selayaknya umat Islam bersatu dan sinergi dalam melahirkan pakar dalam dua bidang tersebut. Kita harus bekerjasama dan bersatu demi mewujudkan kemaslahatan bersama. Karenanya, mengingat pentingnya ilmu sains dan teknologi pada masa sekarang, belajar sains dapat dikatakan sebagai ibadah. Mempelajarinya sama penting dan wajibnya dengan belajar agama. Apalagi hasil dari ilmu itu bisa berdampak terhadap orang banyak.