Imam Abu Hanifah adalah sosok paling bangkot di antara para imam madzahib al-arba’ah (mazhab yang empat: Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah). Bernama lengkap Nu’man ibn Tsabit ibn Zutha, dia lahir pada tahun 80 Hijriyah di salah satu kota tersohor di negeri Irak. Kota itu bernama Kufah, terletak 10 km timur laut kota Najaf dan 170 km sebelah selatan ibu kota Irak, yakni Baghdad. Di kota Baghdad jua dia mengembuskan nafas terakhir 70 tahun kemudian.
Ayahnya, Tsabit, merupakan lelaki saleh yang juga memiliki ayah yang berkeperibadian luhur. Zutha, ayahnya Tsabit sekaligus kakek bagi Nu’man, terkenal sangat toleran dan tidak suka mempersulit budak-budaknya dalam meraih kemerdekaan sebagai manusia normal yang lumrahnya dimulia Tuhan. Keluhuran budinya semakin sempurna pasca dia masuk Islam.
Baca Juga: Imam Abu Hanifah: Biografi Intelektual Sang Ulama Fikih
Seusai memeluk Islam, Zutha lantas pindah domisili dari Persia ke Kufah. Di sana dia bersua sayidina Ali krwh., serta di Kufah pula dia dikaruniai seorang anak bernama Tsabit, yang kelak sebagai ayahnya Abu Hanifah.
Zutha dan keluarganya begitu dekat dengan Khalifah Ali ibn Abi Thalib. Pada suatu waktu, Tsabit sowan kepada sang khalifah dan dia didoakan semoga Allah swt. memberkati anak keturunannya. Hingga akhirnya doa itu pun terkabul dengan kelahiran Nu’man, yang lantas lebih familiar kita sebut Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafiyah.
Keperibadian luhur Zutha yang toleran dan humanis itu menurun ke diri Abu Hanifah. Hal itu mencuat dalam karakteristik istinbathu al-ahkam (proses penggalian hukum) Abu Hanifah yang menjunjung tinggi kemerdekaan dan nilai-nilai kemanusiaan, serta antidiskriminasi dan marjinalisasi. Dia berpandangan bahwa kebebasan manusia tidak boleh disunat dan dikekang menunaikan apa pun senyampang masih dalam lingkup legalitas syariat dan masih terbilang waras (bukan orang gila).
Berikut ini segelintir contoh istinbath (penggalian hukum) Abu Hanifah yang membuktikan kehumanitariannya. Pertama, perempuan yang telah balig (dewasa), berakal sehat, dan merdeka boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa perlu wali. Kedua, orang safih dan pelupa tidak boleh diembargo dalam mentasarufkan hartanya. Sebab, menurutnya, orang safih dan pelupa yang telah menginjak usia dewasa sudah tergolong berakal (cakap bertasaruf). Ketiga, orang yang berutang juga tak boleh diembargo, baik nominal utangnya melebihi sisa hartanya ataupun tidak.
Wallahu A’lam.