Jagat media sosial diramaikan komentar pedas hingga hujatan yang ditujukan para seorang influencer, karena komentarnya di salah satu platform layanan jejaring sosial dianggap bermasalah atau melukai perasaan banyak orang. Bahkan, saya dengan seorang teman berbincang cukup panjang terkait persoalan ini.
“Not having kids is indeed natural anti-aging. You can sleep for 8 hours every day, no stress hearing kids screaming. And when you finally got wrinkles, you have the money to pay for botox,” tulis sang influencer dalam sebuah komentar.
Menurut warganet sang influencer telah menganggap anak sebagai beban dalam kehidupannya.
Kemarahan netizen pun tak terhindarkan. Komentar pedas, negatif, hingga menyudutkan sosok influencer sangat mudah dijumpai di berbagai platform media sosial.
Sosok influencer di atas bernama Gita Savitri atau akrab disapa Gitasav. Sebelum persoalan postingan terakhir ini, dia juga cukup populer di kalangan netizen karena keputusannya untuk tidak memiliki anak (childfree) dalam ikatan pernikahan yang telah dia jalani hari ini.
Tak butuh waktu lama, kata childfree menjadi viral dan populer di dunia maya, khususnya di kalangan netizen Indonesia, dan bertahan hingga hari ini.
Childfree sebenarnya mengacu pada seseorang yang tak memiliki anak, baik biologis, adopsi, atau lainnya. Selain itu, kata tersebut bisa juga diasosiasikan pada mereka yang tak bisa memiliki anak.
Akan tetapi, dalam perkembangannya, istilah ini kemudian mengalami penyempitan makna dengan merujuk pada mereka yang telah memilih untuk tak memiliki anak pasca pernikahan.
Peran Gitasav saya kira sangatlah besar dalam mempersempit pemahaman kita pada istilah ini. Maka asumsi dan narasi yang populer di masyarakat terkait Childfree hanya terbatas pada defenisi yang dipopulerkan oleh Gita belaka.
Selain itu, kita tidak juga tidak memberi ruang yang cukup untuk lebih mendalami fenomena Childfree dengan lebih bijak. Bahkan, salah seorang pendakwah populer di salah satu konten Tiktok dan Instagram miliknya menyebutkan fenomena tersebut haram.
Selain dianggap melanggar beberapa sabda Nabi yang dalam Islam adalah sebuah kesalahan, sang pendakwah tersebut juga menjelaskan bahwa keputusan untuk tidak memiliki anak adalah hasil pemikiran Barat. Terlebih, Gitasav bersekolah di Jerman yang dianggap terpapar paham masyarakat Barat terkait keluarga.
Saya melihat istilah Childfree juga menjadi “bahan bakar” kebanyakan komentar pedas hingga perundungan yang diarahkan kepada Gitasav, termasuk persoalan komentar “anak sebagai beban” kemarin.
Respon dan reaksi negatif netizen tidak bisa dihindari, selain alasan ajaran agama, juga dikarenakan sebagian besar masyarakat kita atas kehadiran anak di sebuah keluarga adalah berkah.
Tentu, komentar Gitasav kemarin dianggap telah melukai pandangan tersebut. Aneka komentar pedas dan hujatan pun melayang dan menjejali kolom komentar hingga fitur berbagi pesan di akun sang influencer.
Tapi, apakah kita hanya melihat persoalan ini hanya dari komentar Gitasav belaka? Saya rasa hal ini jelas hanya akan berujung hujatan belaka. Permasalahan yang sangat jarang diulas dari fenomena Childfree dan sosok Gitasav adalah alasan yang diajukan.
Sebab, jika kita mengulik lebih dalam apa yang disebut oleh Gita, maka kita akan menjumpai titik permasalahan yang dialami banyak perempuan, termasuk muslimah, yakni persoalan insecurity atau rasa tidak aman. Sebagian kita mungkin tidak benar-benar menyadari bagaimana permasalahan ini bisa terjadi?
Manusia mulai merasa didera rasa tidak aman dan nyaman ini ditengarai karena perubahan struktur sosial masyarakat kita. Dengan kata lain, kita telah menghadapi kehidupan sosial kita yang semakin kesini sangat dituntut untuk terus bersaing.
Akan tetapi, kapitalisme tidak hanya “memaksa” manusia untuk terus bersaing dan bekerja dengan giat dan terus mengumpulkan pundi-pundi, namun juga memberi ruang untuk aneka ragam kegiatan konsumtif. Kedua kondisi ini kita bisa lihat dengan gamblang di kehidupan masyarakat muslim hari ini.
Indonesia yang telah mulai berubah menuju masyarakat industrial kapitalistik tentu menuntut banyak perubahan dalam kehidupan kita. Hari ini beragam tantangan kehidupan yang kita hadapi mulai dari persaingan gencar di sekolah dan tempat kerja; tekanan berat dari keluarga, teman dekat dan komunitas; negosiasi alot dengan tradisi usang; hingga urusan dengan persoalan kesehatan.
Di sisi lain, dalam buku “Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia”, Ariel Heryanto, akademisi asal Australia, mengutip pernyataan Nancy Smith-Hefner terkait perempuan di Indonesia, khususnya di Jawa. Smith Hefner, akademisi asal Amerika Serikat, menyebutkan bahwa 95% perempuan di Indonesia memprioritaskan keamanan pekerjaan dan kemandirian keuangan ketimbang pernikahan. Pekerjaan dan produktivitas adalah kata sakti yang menyihir kehidupan kita.
Akibatnya, hari ini kita mulai akrab dengan istilah-istilah baru seperti Insecure, FOMO, Toxic Relationship, hingga Hustle Culture. Semua ini adalah sebagian dari dampak negatif dari kehidupan kita yang sangat berwarna kapitalistik. Akan tetapi, dalam nafas kapitalisme hanya bisa bertahan dengan mengandalkan keseimbangan antara kegiatan produktif dan konsumtif.
Oleh sebab itu, kita juga mulai akrab dengan ungkapan yang sering kita jumpai di dunia maya, seperti Healing, Self-Reward, hingga Bucketlist yang biasanya berisi agenda-agenda liburan atau barang yang mau dibeli. Maka wajar jika perjalanan ke berbagai destinasi wisata mulai semakin ramai dikunjungi kelas menengah muslim.
Selain itu, kita juga mulai akrab dengan gaya hidup konsumtif yang “memanjakan diri.” Maka, hari ini kita tidak sulit menjumpai iklan atau barang endorse-an di postingan atau konten di akun media sosial para influencer. Lihat saja, penjualan berbagai obat perawatan, seperti skincare, sabun pencuci wajah, hingga jasa perawatan gigi semakin gencar mendera ruang digital kita.
Jadi, jika kita lebih dalam mengulas komentar lebih dalam komentar Gitasav kemarin sebenarnya berujung pada persoalan yang sama, yakni gaya hidup kelas menengah dan kehidupan masyarakat industrialis kapitalistik. Apa yang dijadikan alasan Gitasav terkait keputusannya Childfree sangat lekat dengan gaya hidup tersebut, dari tidur 8 jam, suntik botox, hingga stress.
Bahkan, mereka yang tidak setuju atas pendapat dan sikap Gitasav pun juga mengajukan opini yang berlatar serupa. Sebagian besar pendapat kontra atas sikap Gitasav hanya berkutat pada persoalan gaya hidup yang sama, hanya berbeda cara melihat dan sisi yang dilihat. “Lihat saja artis A, B atau C, yang tetap cantik walau memiliki anak” atau “Anak bukanlah beban, selama kita masih bisa merawat tubuh dengan baik” adalah contohnya.
Memang, Childfree adalah isu sangat elitis atau lebih banyak dibicarakan kelompok kelas menengah, termasuk kalangan muslim. Sebab, tantangan dari sistem industrialis kapitalistik ini di kalangan kelas menengah muslim tidak lagi dipandang atau direspon dengan argumen pertentangan kelas, malah dengan opini terkait gaya hidup kelas menengah atas. Sehingga, tidak ada perubahan dari kehidupan manusia dan tidak menyentuh persoalan yang lebih esensial.
Padahal, isu Childfree sebenarnya bisa lebih bermanfaat jika kita hubungkan dengan dinamika yang lebih urgen, seperti pendidikan dini pada anak, permasalahan lingkungan aman bagi tumbuh kembang anak-anak, keamanan kesehatan anak, hingga persoalan stunting. Untuk permasalahan terakhir ini, Indonesia sebenarnya sedang menghadapi permasalahan peningkatan angka stunting yang cukup mengkhawatirkan jika gagal ditangani sesegera mungkin.
Jadi, apakah kita masih saja hanya melihat fenomena Childfree hanya terbatas komentar nyinyir seorang Gitasav belaka? Sebab, kita masih memiliki pekerjaan rumah yang lebih besar ketimbang berhenti hanya pada menghujat atau nyinyir pada Gitasav.
Oleh sebab itu, membangun kesadaran bersama terkait persoalan yang dihadapi dalam tumbuh kembang anak atau kehidupan di masa depan yang lebih baik untuk kebaikan bersama.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin