Melihat Childfree Lebih Adil dan Tidak Gegabah

Melihat Childfree Lebih Adil dan Tidak Gegabah

Melihat Childfree Lebih Adil dan Tidak Gegabah

Isu childfree menjadi polemik bagi masyarakat (internet) Indonesia. Childfree disambut dengan hangat sekaligus dingin oleh beragam kalangan. Masjid Salman ITB, misalnya, secara tegas menolak childfree sebab dianggap melangkahi ‘kodrat’ biologis manusia.

Kalangan lain, seperti feminis ataupun gerakan progresif dengan berbagai spektrum, menyabut baik perdebatan ini sebagai gerbang untuk pembahasan lanjutan soal hal-hal mendasar lain di balik hak childfree, seperti konsep hak anak vis a vis tanggungjawab orang tua, negosiasi antara tantangan demografis dan doktrin agama, konsep akhlak, dan bahkan konsep tentang takdir rejeki beserta nasib tiap anggota keluarga.

Untuk diketahui, childfree adalah keputusan sepasang orang yang menunda atau tidak memiliki anak. Hangatnya perdebatan childfree tidak lain adalah karena childfree telah menuntut interogasi ulang atas nilai-nilai yang selama ini telah mapan.

Sebagian kalangan, umpamanya, merasa kurang nyaman atas bergulirnya wacana childfree karena interogasi yang dituntutnya telah mengusik kepercayaan bahwa memiliki anak adalah sebuah upaya ‘memperbanyak umat’.

Pandangan tersebut berakar dari semangat politik tentang islamisasi masyarakat yang dalam praktik dan perjuangannya membutuhkan dominasi populasi muslim. Tetapi, ini bukan satu-satunya kelompok dan pandangan yang menolak childfree.

Penolakan terhadap childfree juga muncul dari terusiknya nilai-nilai Asia seperti hierarki hubungan antara anak dan orang tua yang umumnya merupakan konsesus mapan di lingkup geografis tertentu. Pada konteks yang lebih historis, childfree juga mempertanyakan tentang kepercayaan ‘banyak anak, banyak rezeki’, yang merupakan sebuah kepercayaan masyarakat agraris yang membutuhkan banyak tenaga kerja untuk mengolah lahan.

Nilai-nilai tersebut saling kelindan dan pada beberapa irisannya punya resonansi tertentu, baik itu bagi kelompok yang mengusung identitas keislaman, ataupun ke-Timuran, sehingga pada derajat tertentu sering kali berujung pada penghakiman ekstrem soal takdir, rejeki, pahala dan bahkan soal kadar keimanan seseorang. Tetapi, disadari atau tidak, nilai-nilai mapan tersebut telah hidup lama di sekitar kita.

Sayangnya, kesadaran tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai abstrak yang minim pertimbangan sosial-demografis-psikologis. Padahal, suatu kemaujan ataupun kesejahteraan komunal sulit untuk terwujud bila tidak disertai dengan kesadaran tentang dinamika, peluang resiko, dan agenda masa depan komunal itu sendiri.

Di kanal-kanal keislaman, sudut pandang material kalah dominan dibanding sudut pandang kisah-kisah ajaib yang menghendaki kesegeraan rejeki ataupun kesejahteraan yang turun dari langit tanpa sebab. Kisah-kisah ajaib digemakan, dan standar-standar hidup yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita dipeluk erat oleh kita yang berasal dari maqam materi.

Logika ajaib itulah yang sebagian besar diterapkan saat berencana memiliki dan merawat anak, yang di saat yang sama juga mendapat keselarasan dari nilai-nilai Asia tadi. Dampaknya, model hierarki yang memberatkan anak cenderung tereproduksi, yang pada gilirannya mempermudah kekerasan terhadap anak (baik berupa verbal, fisik, psikologis ataupun struktural) untuk ditepis oleh alasan-alasan berhias agama dan nilai-nilai budaya.

Dalam pandangan Islam, Syekh Syauqi Ibrahim Alam dalam fatwa nomor 4713, 5 Februari 2019, misalnya mengemukakan bahwa tak ada satupun ayat ataupun hadits yang mewajibkan seseorang untuk memiliki anak.

Ustadz Ahong dalam salah satu utas di Twitter menjelaskan bilamana persoalan memiliki anak adalah kesepakatan antar suami-istri, sebagaimana kesepakatan mereka apakah ejakulasi di dalam atau di luar farji. Tetapi, kewajiban mereka tidak berhenti sebatas kesepakatan, melainkan masih berlanjut sampai dengan kemampuan untuk mensejahterakan anak. Uraian ini meyiratkan bahwa Islam pada dasarnya memberikan kebebasan untuk memiliki atau tidak memiliki anak.

Akan tetapi, pertimbangan agama saja tidak cukup, karena menikah dan memiliki anak adalah fenomena demografis. Sepasang orang tua punya kewajiban kemasyarakatan dalam arti, perlu memastikan keberlangsungan perangkat-perangkat penunjang hidup anak seperti pendidikan, bentuk konstruksi karakter anak, dan lain sebagainya, yang jika diteropong dalam skala makro akan sangat menentukan apakah suatu generasi baru masyarakat dapat dikatakan maju atau tidak, lebih baik atau tidak.

Masalahnya adalah, pertimbangan demografis tidak begitu populer karena di dalamnya berjalin relasi rumit antara jumlah populsi, kebijakan politik, corak pendidikan, dan kesempatan akses ekonomi di suatu wilayah tertentu.

Tentang pendidikan misalnya, sering digadang-gadang sebagai ‘alat’ yang menjanjikan perbaikan dan peningkatan hidup, baik ekonomi maupun intelektual. Walakin, pada kenyataannya pendidikan terdikte oleh pasar dan politik. Sehingga, pada derajat tertentu, walaupun orang sudah menempuh sekolah tinggi, hutang sana-sini, namun ia belum tentu mudah kerja.

Contoh lain juga datang dari tantangan zaman. Teknologi misalnya. Walaupun orang tua menanamkan nilai-nilai keluhuran, namun ketika si anak hidup dalam lingkungan yang beridentitas ganda (daring dan luring), boleh jadi nilai-nilai itu luntur seketika dan justru melahirkan bom waktu yang secara ekstrim kontras dengan ekspektasi orang tua.

Hal itu juga belum ditambah oleh resiko momen sandwich, ketika si anak telah berusia 20an dan terjepit oleh tuntutan ekonomi dirinya sendiri dan tuntutan ekonomi orang tuanya yang sedang menua atau sakit-sakitan. Artinya, ada tali ekonomi yang dapat menggelincirkan seorang anak  pada kesejahteraan atau kemiskinan, dan pada keterpurukan kelas sosial atau mobilitas kelas.

Melihat resiko-reskio struktural tersebut, adalah sah dan wajar bila childfree dipeluk dan diimani oleh sebagian orang atau kalangan sebagai alternatif dalam mengatasi persoalan modern. Karena boleh jadi, memilih untuk memiliki anak justru melahirkan masalah sosial yang lebih besar. Untuk hal ini, kamu bisa menyimak film Capernaum (2018) yang disutradai oleh Nadine Labaki.

Judul Capernaum sendiri berasal dari bahasa Prancis, Capharnaüm yang berarti “kekacauan”. Film ini terinspirasi dari krisis pengungsi dan ekonomi yang terjadi di seluruh dunia.

Narasi besarnya adalah fragmen tentang Zain El Hajj (Zain Al Rafeea), seorang anak yang menggugat kedua orangtuanya di pengadilan. Dalam salah satu scene, Zain melabrak kesadaran kita dengan sabda yang mengejutkan, begini:

Aku ingin orang dewasa mendengarkanku. Pesan ini untuk orang dewasa yang tidak mampu membesarkan anak-anaknya. Apa yang akan mereka ingat? Dari kekerasan, penghinaan, atau pemukulan? Rantai, pipa, atau sabuk? Kata termanis yang mereka (orang tua) berikan padaku adalah, ‘Bajingan, sampah!’. Hidup adalah masalah besar. Tidak lebih berharga dari sepatuku.”

Begitulah, Capernaum seolah ingin menunjukkan kelalaian orangtua dan kesulitan anak-anak yang hidup di jalanan, tidak hanya di Lebanon, tetapi juga di seluruh dunia.

Wa ba’du, bergulirnya perdebatan childfree ke haribaan publik perlu disambut baik karena kehadirannya akan mendorong kita pada peninjauan ulang tentang hal-hal mendasar seperti konsep akhlak, filial-piety, nasib rejeki, dan lain sebagainya yang akan mengantar kita pada formasi masyarakat yang lebih baik dan lebih jernih dalam memandang sesuatu.

 

*Artikel ini adalah hasil kerjasama Islami.co dengan Yayasan Pemuda Tersesat