Video viral di media sosial tentang protes warga terhadap ibadah natal di Bogor, Jawa Barat semakin menjelaskan bahwa menjadi umat Kristen di Indonesia itu terkadang penuh tantangan. Bahasa Klaten-nya adalah challenging. Selain praktik peribadatannya terbatas(i), mendirikan gereja di Indonesia ternyata tidak semudah menggalang dana renovasi mesjid.
Saya kira ini bukan persoalan sentimen kebertuhanan semata. Di balik kecurigaan terhadap umat Kristen di Indonesia, ada problem struktural bahkan mungkin juga kultural.
Bandingkan, misalnya, pagelaran ibadah natal dengan perayaan maulid Nabi Muhammad SAW. Yang pertama hanya terjadi secara anually, itupun di akhir tahun, sedangkan yang terakhir bisa dirayakan bahkan saban pekan, baik di mesjid, kafe, rumah warga, atau ketika kondangan di gang-gang sempit kota-kota besar. Sangat kontras sekali.
Barangkali orang keburu lupa kalau natal dan maulid (sebagai peristiwa kebudayaan) sama-sama berisi puja-puji terhadap dua manusia pilihan. Pun secara kebahasaan, keduanya merujuk pada makna yang sama yaitu “kelahiran”. Bedanya, “natal” adalah Bahasa Portugis, sedangkan “maulid” merupakan serapan dari Bahasa Arab. Juga, natal terlanjur diasosiasikan kepada umat Kristen, sementara “maulid” melekat dengan umat Muslim.
Pertanyaannya, mengapa Ibadah Natal di Indonesia mengalami penolakan oleh mereka yang merasa punya adigung? Bukankah yang namanya ibadah itu pasti isinya adalah hal-hal baik?
Dengan sudut pandang demikian maka aneh sekali kalau ada ibadah yang dilarang, bukan? Lagi pula, gak mungkin juga umat Kristen mendoakan kehancuran bagi umat di luar dirinya.
Tapi baiklah, penolakan natal nyatanya tetap saja (selalu) terjadi di Indonesia, sementara sudut pandang di atas hanyalah asumsi belaka.
Saya menduga ini ada hubungannya dengan sisa-sisa politik kristeniasi yang terlanjur menghujam betul dalam kesadaran masyarakat Indonesia, bil khusus umat Muslim. Ia telah berlangsung lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Penjajahan bangsa Eropa di Indonesia ternyata bukan semata kepentingan ekonomi-politik. Ada aspek religius yang berdenyar di dalamnya, terutama ketika masa kolonialisme Belanda.
Di masa-masa itu, atau sekitar awal hingga pertengahan abad ke-20, agama memainkan peran sentral sebagai kekuatan sosial-politik. Sementara pihak kolonial memegang teguh iman Kekristenan, di Mesir telah lahir PAN-Islamisme yang digagas-teruskan oleh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha untuk menyuntikkan semangat kemerdekaan bagi umat Muslim di seluruh dunia yang sedang mengalami penjajahan.
Oiya, hal itu juga bersamaan dengan gagasan nasionalisme yang sedang mengalami tumbuh-kembang di sebagian besar belahan dunia termasuk Indonesia. Maka, muncullah founding-person gerakan pembebasan seperti H. Samanhudi, H.O.S Tjokroaminoto, H. Ahmad Dahlan, H. Hasyim Asy’ari, H. Agus Salim dan masih banyak lagi. Mereka bukan hanya mendengungkan ajaran luhur keagamaan, tetapi juga mengonsolidasi nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan.
Sadar bahwa agama Islam merupakan pendulum utama bagi gerakan kemerdekaan Indonesia, pemerintah Belanda lalu memberlakukan kebijakan yang dianggap diskriminatif. Ibadah haji dibatas-awasi oleh pihak koloni. Juga, terdapat kebijakan “Ordonasi Guru” untuk menekan umat Muslim dari sisi pendidikan (kader) keislaman.
Sebaliknya, umat Kristen Indonesia justru dimudah-untungkan oleh beberapa produk perundang-undangan buatan kolonial. Misalnya adalah undang-undang Algemene Bepalingen van Wetgeving yang memungkinkan komunitas Kristen (di) Indonesia menikmati hak hukum setara dengan bangsa Eropa karena dianggap memiliki kesamaan dari sisi iman terhadap Kristus.
Tentu saja hal itu tidak berarti menihilkan peran umat Kristen Indonesia yang memiliki perspektif kritis. Di balik perjuangan umat Muslim, terdapat juga peran umat Kristen dalam menganggit kemerdekaan Republik Indonesia.
Nama-nama seperti Johannes Lelmena, Alexander Jacob Patty, Sam Ratulangie, Amir Syarifuddin, T.B. Simatupang, dan sebagainya merupakan umat Kristus yang berasal dari Indonesia dan mendedikasikan diri untuk Indonesia. Bagi mereka ini bukan perkara identitas keimanan, tetapi sebuah panggilan kemanusiaan untuk sama-sama memperjuangkan kemerdekaan negeri tempat tumpah darah mereka dan generasi selanjutnya.
Usai sudah masa penjajahan, warga negara Indonesia kini manunggal dalam satu konsep besar bernama Pancasila. Meski demikian, hal itu tidak memberhentikan rivalitas umat Muslim dengan umat Kristen. Lima sila dalam Pancasila, misalnya, adalah bukti betapa dua kekuatan itu saling tarik-ulur dalam konstestasi politik nasional sejak awal. Di masa ini, Islam telah menjadi kekuatan sosial-politik yang berbeda dari masa sebelumnya, dan bahkan melampaui pengaruh umat Kristen.
Maka, isu yang memanas di awal kemerdekaan adalah perdebatan tentang tafsir Pancasila (milik/untuk siapa?). Hal ini bahkan menjadi isu paling panas dan lama diperdebatkan dalam Badan Konstituante yang, secara umum, terbagi dalam tiga blok: Pancasila, Islam, dan Sosio-Ekonomi.
Blok Pancasila (53%) terdiri dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan partai-partai kecil lain. Blok Islam (44 %) disokong oleh Masyumi, Nahdlatul Ulama, dan partai-partai kecil lain. Sisanya bergeming di blok Sosio-Ekonomi yang, karena terdiri dari partai-partai kecil, tak mendominasi perdebatan. (Lebih lanjut silakan baca laporan riset tentang perdebatan seputar tafsir Pancasila dari masa ke masa, di sini)
Politik (Wacana) Kristenisasi Orde Baru
Setelah mengalami masa jeda di awal kemerdekaan, wacana Kristenisasi kembali menguat ketika rezim militeristik Orde Baru dianggap lebih banyak mengakomodasi kepentingan umat Kristen, dan di saat yang sama menekan habis-habisan umat Muslim sebagai kekuatan sosial-politik.
Dalam buku Identitas dan Kenikmatan, Ariel Heryanto (2015) mencatat bahwa sepanjang dekade 1970an dan 1980an, presentase terbesar tahanan politik di Indonesia saat itu adalah aktivis politik Muslim. Tahanan-tahanan itu, dalam istilah retoris rezim Orba, merupakan “ekstremis kanan” yang berbeda dengan “ekstremis kiri” (komunis). Jika yang pertama hanya cukup ditangkap-penjarakan, maka yang terakhir lebih banyak dibunuh.
Yang menarik—atau justru ironi—adalah Presiden Soeharto melakukan itu semua setelah sebelumnya menggunakan kekuatan politik umat Islam dan Krsiten untuk melemahkan Komunisme yang dianggap sebagai basis kekuatan pemerintahan Presiden Soekarno di masa senjanya.
Narasi yang dipakai adalah membenturkan ateisme dengan signifikansi agama dalam politik nasional. Identifikasi Komunisme sebagai anti-agama dan anti-Tuhan pada gilirannya membenarkan asumsi pentingnya agama dalam politik nasional sehingga menyebabkan perlunya afiliasi formal dengan salah satu agama yang diakui.
Barangkali salah satu dampak positif dari situasi ini adalah baik Islam maupun Kristen sama-sama memiliki banyak pemeluk baru pada masa itu. Namun ternyata ada horor yang menanti mereka di depan.
Sementara pada tahun 1965-1966 para pemimpin Muslim dan Kristen bekerja sama dengan militer dalam memerangi Komunis, signifikansi politik agama dalam politik nasional akhirnya justru membawa mereka pada konflik identitas. Setidaknya terdapat dua isu penting yang menggelinding di masa-masa ini, yaitu kristenisasi dan bantuan luar negeri untuk lembaga keagamaan yang, dianggap, banyak menguntungkan gereja. Lebih detail hal ini tertuang dalam disertasi Mujibbrrahman berjudul Feeling Threatened. Muslim-Christian relations in Indonesia’s new order, bisa diakses di sini.
Lanjut. Saking seriusnya masalah tersebut, Menteri Agama dari rahim militer, Alamsyah Ratu Perwiranegara, mengeluarkan SK No. 70. Isinya adalah aturan tentang dakwah agama yang, pertama, tidak boleh ditujukan kepada orang yang beragama lain; kedua, dilarang menggunakan uang, pakaian, obat-obatan, dll sebagai alat untuk mengubah agama orang; ketiga, dilarang berdakwah dengan menyebarkan pamflet, buku, buletin dan majalah ke rumah-rumah orang yang beragama lain; keempat, dilarang melakukan kunjungan door to door ke rumah orang yang beragama lain.
Dari keempat poin berisi larangan itu, yang disasar tentu saja adalah komunitas Kristen. Seorang missionaris Kristen tidak boleh memurtadkan orang Islam. Atau dengan kata lain, dakwah “Kristenisasi” hanya bisa berlaku jika itu ditargetkan untuk orang yang “belum beragama”.
Untuk diketahui, orang beragama dalam imajinasi rezim Orde Baru adalah penganut salah satu agama dari lima agama yang diakui saat itu. Dengan kata lain, penganut agama lokal (indigenous religion) adalah pengecualian yang dianggap tidak beragama dan karena itu boleh diintervensi keyakinannya.
Setelah Orde Baru tumbang persoalan terus berkembang, terutama setelah Soeharto mengubah haluan politiknya secara radikal. Menjelang terbenamnya kekuasaan Soeharto, umat Muslim kembali berada di atas awan, kendatipun—sebagaimana dikatakan beberapa pengamat—mental inferior dan tertindas sebagian umat Muslim terkadang masih sering kumat.
Marginalisasi politik terhadap komunitas Islam selama dua dekade pertama Orde Baru turut menciptakan mentalitas tersebut. Maka jadwal persidangan di pengadilan pun segera penuh dalam level yang belum pernah sedahsyat sebelumnya, dengan laporan yang berisi dugaan penodaan agama (Islam).
Seakan-akan tuntutan hukum belum cukup memuaskan dahaga menang-menangan, perasaan inferior yang berfusi dengan logika mayoritarianisme itu juga mengejawantah dalam tindakan yang meng-adigang-kan. Misalnya adalah pada bulan Oktober 2004 ketika sekelompok umat Islam membarikade sebuah sekolah Katolik di Cileduk, Jakarta karena digunakan (secara ilegal) untuk ibadah. Untuk alasan yang sama, 23 gereja dikabarkan telah ditutup oleh sebagian umat Muslim di Jawa Barat pada bulan September 2005. Ironisnya hal ini bahkan masih berlanjut sampai sekarang.
Di lain pihak, aktivis sosial-kemanusiaan dari komunitas Islam dan Kristen yang memiliki kesadaran kritis mengutuk tindakan tersebut karena dianggap memunggungi prinsip kebebasan beragama dan toleransi di Indonesia.
Hanya saja, resonansi dari kutukan itu ternyata tidak lebih nyaring dari pekik politisi yang justru menggunakan sentimen identitas untuk mendapat-langgengkan kekuasaannya. Walhasil, panggung belum ditutup dan permainan masih berlangsung hingga burung gereja pun kini lebih nyaman bergumul di sudut-sudut masjid.
Pertanyaannya, mau sampai kapan umat Muslim Indonesia berada di bawah bayang-bayang rezim kecurigaan yang julid terhadap umat agama lain? Barangkali itulah kenapa lagu berjudul “Gereja Tua” akan selalu relevan diputar di kafe-kafe sejauh mendirikan gereja baru masih kelewat rumit prosesnya.