Selayaknya sedekah diberikan kepada orang yang berhak. Lalu, jika sedekah itu diberikan kepada pelacur dan ahli maksiat, apakah juga masih diterima?
Al-Qur’an telah menegaskan pentingnya sedekah bagi seseorang untuk kebaikan dan kebajikan dirinya. Salah satu ayat yang populer digunakan untuk menjelaskan ini adalah sura Ali Imron ayat 92.
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Asy-Sya’rawi dalam Tafsir asy-Sya’rawi menjelaskan bahwa apa yang dimaksud dengan kebajikan atau kebaikan; dalam kata al-birr; adalah kemudahan, keluasan, atau kelapangan, baik di dunia maupun di akhirat. Pemaknaan itu muncul dari pola susunan hurufnya. Menurutnya, setiap kata dalam bahasa Arab yang di dalamnya ada huruf ba’ dan ra’ yang bertasydid mengandung makna as-sa’ah (luas).
Jadi, kemudahan akan diperoleh justru ketika seseorang menyisihkan hartanya untuk yang lain. Makna kontradiktifnya, kesusahan akan mudah diperoleh ketika seseorang tidak menyedekahkan hartanya. Ini sesuai dengan anjuran keutamaan sedekah karena bershedekah adalah salah satu cara untuk menolak bala’; musibah atau bencana. Sedekah juga bisa jadi salah satu obat bagi penyakit. Bahkan, justru dengan bersedekah hartanya akan akan tambah berlipat-lipat.
Ulama’ pun kemudian menentukan anjuran kepada siapa sedekah itu disalurkan. Imam Nawawi menjelaskan dalam kitabnya; al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, bahwa sedekah; termasuk zakat dan kaffarah, itu lebih utama diberikan kepada kerabat dekat asalkan mereka memenuhi persyaratan. Mayoritas ulama juga sepakat mengenai hal ini berdasarkan banyaknya hadis yang menerangkan anjuran itu.
Permasalahan justru akan timbul ketika sedekah tidak lagi disalurkan kepada yang berhak. Misalnya, seseorang menyedakahkan hartanya kepada orang yang super kaya, pencuri, pezina, perampok, dan sebagainya. Pertanyaanya, apakah sedekah seperti itu diperbolehkan? Bukankah itu menyalahi anjuran bersedekah? Bukankah yang berhak menerima selain mereka juga masih banyak? Mengapa orang kaya harus diberi, bukankah ia tidak membutuhkannya? Mengapa pencuri harus diberi, bukankah itu akan terkesan membantu kebiasaan mencurinya?
Terkait hal ini, Syekh ‘Izzudin Abdus Salam menguraikan pandangan menariknya. Dalam Syajarat al-Ma’arif wa al-Ahwal wa Shalih al-Aqwal wa al-A’mal; kitab yang akhir-akhir ini berhasil dipopulerkan oleh Gus Baha’, Syekh ‘Izzudin menjelaskan betapa pentingnya sedekah pada kelompok itu.
Syekh Izzudin mengawali tulisannya dengan mengutip kisah dari Abu Hurairah dalam Shahih Bukhari. Suatu hari ada seorang laki-laki (si fulan) yang bersedekah kepada seorang perempuan yang dikiranya fakir juga miskin; padahal ia pelacur. Sayangnya, orang-orang yang melihat kejadian itu tidak mempunyai sense of humanity yang baik.
Jadilah si Fulan bahan perbincangan publik. Ia digunjing hanya karena usahanya menyantuni wanita tuna susila itu. Si Fulan pun tidak menggubrisnya. Ia malah berkata; “Alhamdulillah ‘ala zaniyatin”.
Pada kesempatan lain, si Fulan itu bersedekah lagi kepada seseorang yang dikiranya fakir miskin padahal dia orang kaya. Publik yang melihat pun memiliki perspektif yang sama seperti sebelumnya. Lagi-lagi ia jadi bahan pergunjingan karena usahanya menyantuni orang itu. Apa yang dia lakukan? Ia tetap mengabaikannya dan berkata, “Allahumma laka alhamdu ‘ala ghaniyyin”.
Si Fulan tak menghentikan niatnya untuk besedekah lagi. Kali ini harapannya tidak hanya salah sasaran, ia malah menyantuni pencuri yang dikiranya orang fakir miskin. Lagi-lagi publik pun nyinyir atas perbuatannya itu. Ia pun tetap tak memedulikan dan berkata, “Allahumma laka alhamdu ‘ala zaniyatin, ghaniyyin, wa sariqin”.
Atas kejadian itu, si Fulan akhirnya mendapat jawaban menarik atas peristiwa yang menyesakkan hatinya. Dalam mimpinya ia mendapat kabar membahagiakan. Narasinya kurang lebih seperti ini, “Sedekahmu itu pasti diterima oleh Allah SWT. Adapun pelacur, semoga dengan sedekah itu ia menjauhi/berhenti dari perbuatan nistanya. Untuk orang yang kaya, semoga ia sadar dan merenungkan kembali sehingga ia akhirnya mau menafkahkan harta yang telah diberikan Allah SWT kepadanya. Dan semoga dengan sedekah itu, pencuri itu juga dapat berhenti dari profesi malingnya”.
Dari uraian kisah itu, Syekh Izzudin dalam menuliskan komentar yang khas dengan perspektif maslahatnya. Objek utama yang disorot adalah penerima sedekah, bukan yang bersedekah. Pandangan ini tentu berbeda dengan pandangan umumnya tentang hikmah sedekah yang manfatnya hanya cenderung dianggap untuk diri pemberi sedekah. Pandangan ini tidak salah, tetapi ia hanya tidak mengamati aspek kelanjutan dari sedekah.
Sykeh Izzudin berpandangan bahwa tujuan spesial dari sedekah adalah untuk menghasilkan kemaslahatan yang menerima. Oleh karena itu, sedekah itu dapat menjadi wasilah atau media untuk mencegah perbuatan zina, mencuri, dan tentu memberi motivasi bagi orang yang mampu agar bersegera bersedekah.
Jika demikian, Syekh Izzudin melanjutkan penegasannya, maka nilai kemuliaan wasilah itu karena maksud yang mulia atau tujuan yang hendak diraih. Karenanya penting untuk menghargai, memuliakan, atau mengapresiasi, bukan mencaci, segala hal yang menjadi penyebab terhentinya perzinaan, pencurian atau perampokan, dan termasuk termotivasinya orang-orang kaya untuk bersedekah. Ini yang harusnya bisa diprioritaskan dalam praktik sedekah.
Sedekah adalah perantara, sedangkan menjauhi perbuatan terlarang adalah maksudnya (maqasid). Hal ini tidak lain adalah spirit dari kaidah fikih li al-wasail hukmu al-maqasid (hukum perantara tergantung pada tujuannya). Kalau begitu, perbuatan apapun yang terlihat melawan kaidah umum hukum tidak boleh seketika divonis salah, karena dimungkinkan banyak maksud tersimpan yang tidak diketahui kecuali oleh seseorang yang memiliki nalar maslahat.
Di sini jelaslah bahwa bersedekah kepada pelacur dan pencuri tidak dilarang jika tujuannya untuk menyelamatkan dan menyadarkan mereka dari kubangan dosa. Dengan kata lain, bersedekah menjadi media dakwah untuk melawan kemunkaran.
Menjadi bermasalah dan tentu terlarang jika sedekah itu ditujukan untuk tetap membantunya menjadi pelacur atau pencuri. Sama halnya dengan pelacur dan pencuri, orang kaya mungkin juga butuh dan perlu disedekahi. Tujuan utamanya tentu untuk memotivasinya agar gemar bersedekah.
Pemahaman seperti itu secara lebih merealisasikan nalar mubadalah (kesalingan) dalam sedekah. Satu sisi sedekah menguntungkan untuk pelakunya, di sisi lain sedekah juga menguntungkan sekaligus membantu orang lain. Bagi keuntungan itu nyatanya diperluas pemberlakuannya kepada mereka yang awalnya tidak masuk dalam kategori penerima sedekah melalui kisah itu.
Di sini, makna membantu, dalam hal ini sedekah kepada pelacur, orang kaya atau pencuri, tidak lagi digunakan untuk meringankan aspek materi saja. Akan tetapi, makna itu juga ditujukan untuk menyadarkan atas laku maksiat atau kelalaian orang lain. Ini adalah bentuk perluasan makna dari yang hanya berputar pada isu materi menuju ke ranah psikologi (kesadaran religius).