Pertanyaan ini muncul setelah beberapa orang mengira bahwa masjid harus berkubah dan dibangun dengan ornamen-ornamen Arab. Padahal sebenarnya tidak harus demikian. Nabi sendiri tidak pernah menentukan bagaimana bentuk masjid yang semestinya. Bahkan pada saat masjid Nabawi dibangun, bentuknya tidak seperti masjid Nabawi saat ini.
Terkait hal ini, Kia Ali Mustafa Yaqub (alm) pernah memberikan tausiyah saat Sarasehan Seni dan Budaya di Islamic Center Jakarta beberapa tahun silam. Imam Besar Masjid Istiqlal ini menyebutkan bahwa bangunan masjid tidak harus berbentuk kubah. Ia bahkan melanjutkan bahwa bangunan masjid akan lebih bagus jika disesuaikan dengan adat dan budaya masyarakat sekitar.
“Saya di berbagai daerah, apakah di Bali, di Papua, saya sering sedikit nyentil, Anda bangun masjid, di Bali misalnya, kenapa Anda tidak adopsi budaya-budaya bali. Perlunya apa? Agar orang Bali tidak merasa asing masuk masjid. Di Nunukan misalnya, kenapa Anda tidak adopsi budaya Dayak, ornamen-ornamen Dayak dimasukkan,” tutur Kiai Ali.
Kiai Ali mengatakan bahwa mungkin orang-orang menganggap bahwa masjid yang bangunannya meniru budaya Bali atau Dayak itu haram, karena anggapan banyak orang masjid harus berkubah.
“Yang namanya kubah itu tidak berasal dari Islam. coba sebutkan dari mana, dalil (yang menyebutkan) bahwa (masjid) Islam harus berupa kubah. Saya sekarang mengatakan, yang namanya kubah itu berasal dari gereja,” terangnya.
Kiai Ali kemudian melanjutkan panjang lebar sejarah kubah pertama kali digunakan pada masa kekhalifahan Ottoman setelah berhasil menduduki Konstantinopel, bangunan masjid Hagia Sophia yang sekarang menjadi musium, dahulunya adalah gereja. Dari bangunan inilah, menurut Kiai Ali, ditiru oleh bangunan-bangunan masjid selanjutnya.
“Jadi kalau dilacak, kubah itu dari mana? Ya dari gereja,” lanjutnya.
Saat ini, kita juga banyak menemukan bangunan masjid yang menyerupai klenteng dan bangunan tempat ibadah ala orang Tionghoa. Salah satu yang saya temui adalah bangunan masjid yang berada di Batam, Kepulauan Riau.
Jika kamu mengunjungi Kota Batam, sempatkanlah diri untuk shalat di Masjid Muhammad Cheng Hoo yang berlokasi di kawasan Golden City, Kecamatan Bengkong.
Masjid Muhammad Cheng Hoo memang tidak terlalu besar, luasnya hanya sekitar 20×30 meter saja. Akan tetapi, tempat ibadah umat Islam ini memiliki sejarah dan keistimewaan tersendiri. Bangunannya didominasi warna merah dan emas yang kental dengan gaya arsitektur khas Tionghoa.
Penamaan masjid ini terinspirasi dari seorang muslim asal Tiongkok bernama Muhammad Cheng Hoo. Ayahnya bernama Haji Ma Ha Zhi dan ibunya berasal dari marga Own (Wen) Tiongkok.
Pada masa kepemimpinan Kaisar Cina Yongle (1403-1424), Laksamana Cheng Ho diamanahkan memimpin misi pengembangan agama Islam ke Indonesia dengan membawa sekitar 2.700 awak kapal. Kedatangan Laksamana Cheng Hoo disambut baik oleh para raja dan penduduk Indonesia saat itu. Sebelum mengembara ke Indonesia, Laksamana Cheng Ho juga telah banyak berkiprah dalam kegiatan agama Islam di negerinya.
Sepanjang tahun 1416, pelayaran dari Tionghoa menuju Indonesia dilakukan sebanyak tujuh kali. Laksamana Cheng Ho tercatat pernah singgah di Aceh, Palembang, dan beberapa kawasan di pulau Jawa. Maka dari itu, Masjid Muhammad Cheng Hoo tidak hanya ada di Batam, melainkan juga berdiri kokoh di beberapa kota lain seperti Surabaya dan Semarang.
Masjid Cheng Hoo di Batam diresmikan oleh Menko Bidang Kemaritiman Dwisuryo Indroyono Soesilo dan Menteri Pariwisata Arief Yahya pada 21 Februari 2015. Pembangunan masjid ini diprakasai dan dibiayai sendiri oleh seorang pengusaha di Batam. Sebagai upaya untuk mengenang sejarah perjalanan laksamana Tiongkok yang membawa ajaran-ajaran Islam ke Indonesia.
Masjid Cheng Hoo menjadi bukti pengaruh Islam Tiongkok di Batam. Juga menjadi wajah keharmonisan penduduk Muslim dan Tionghoa yang terjalin begitu erat di pulau yang bersebrangan dengan Singapura ini.
Buat kamu yang mungkin sedang jalan-jalan di sekitar Nagoya Mall, lalu ingin mencari tempat shalat yang nyaman dan instagramable, masjid ini bisa jadi destinasi yang menarik. (AN)
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT