Ini cerita tentang bismillah Jawa, khazanah yang ternyata melingkar jauh dalam sejarah pergumulan antara tradisi dan agama dalam penyebaran Islam di Indonesia
Tahun 1927, Rabindranath Tagore, filsuf sastrawan dari India yang memenangi penghargaan Nobel tahun1913, mengunjungi Sekolah Taman Siswa yang diampu oleh Ki Hadjar Dewantara di Yogyakarta. Dalam kunjungannya Tagore berkesempatan menyaksikan wayang orang Langen Mandra Wanara, yang ceritanya diadaptasi oleh KP Danuredja VII dari kisah Ramayana. Tagore terkesima oleh pertunjukan tersebut dan dengan terus terang menyatakan bahwa orang Jawa lebih piawai mengemas cerita Hindu sebagai tontonan di panggung ketimbang orang Hindu sendiri.
Ya, dalam hal olah rasa, orang Jawa sepertinya memang memiliki kekhususan di kolong langit ini. Memang, tidak semua orang akan memandang dan menghayatinya sebagai sesuatu yang positif tentu saja. Karena rasa manusia itu multi layers, jadi sangat tergantung rasa di lapis mana yang dieksplorasi dan ditonjolkan. Salah satu contoh rasa orang Jawa yang cukup komprehensif adalah yang digunakan untuk memandang dan menghayati bacaan basmalah atau bismillah ini seperti yang dikenal.
Sebuah hadis menegaskan, “Kullu amrin dzi baalin la yubda’u fiyhi bibismillaahi fahuwa aqtha’.” (Segala sesuatu yang baik yang tidak dimulai dengan basmalah akan terputus). Secara umum, aqtha’ atau abtar dalam redaksi hadis ini dimaknai sebagai berkurang keberkahannya (naaqishul barkah).
Dan, orang Jawa memaknai basmalah atau bismillah ini sebagai laku; bisa milah (mampu memilah), bisa milih (berani menentukan pilihan), bisa molah-malih (bersedia mengubah pilihan jika dirasa kurang atau bahkan tidak tepat), dan yang terpenting adalah pada akhirnya yaitu bisa mulih, tegese mulih ing sangkan paraning dumadi (dapat pulang, yaitu pulang ke tempat segala sesuatu berasal dan sekaligus menjadi tempat kembali).
Namun berbeda sekali dengan pandangan dan penghayatan dalam Serat Gatoloco misalnya, jelas sekali yang dieksplorasi adalah rasa yang sangat artifisial. Sehingga, bahkan di bait akhir pupuh kinanthi yang menjadi penutup daripada keseluruhan tembang dalam serat tersebut pun tertulis seperti ini.
“Baitullah tegesipun, raganira Prejiwati, prahu gaweyaning Allah, yogya ingsun kang nunggangi, ka’bah iku tegesira, yen wis binuka kang samir.” (Baitullah artinya adalah tubuhmu, wahai Prejiwati, yang merupakan perahu ciptaan Allah. Dan, pada saat aku menyetubuhimu maka ka’bah artinya adalah tubuhmu yang telanjang alias kakbeh; kabukak kabeh).
Gradasi rasa orang Jawa
Serat Kandha Cetha yang bersandi asma Dharsasawega, yang diyakini oleh sebagian orang merupakan gubahan Raden Ngabehi Yasadipura I, membabar dengan metafora yang lugas ihwal gradasi rasa orang Jawa yang berlapis-lapis itu. Mereka yang meyakini bahwa serat ini gubahan Yasadipura I, memaknai sandi asma dhar-sa-sa-we-ga bukan sebagai nama pengarangnya namun merupakan singkatan dari kalimat: medhar rasa supaya bisa agawe lega (mendedahkan rasa yang dapat melahirkan ketenteraman batin). Berikut ini adalah uraiannya dalam pupuh kinanthi bait kesatu sampai dengan kelima.
//Kang jeneng hakekat iku/Meruhi rasa sejati/Awit rasaning manungsa ora beda kuwih lapis/Sajake kaya sap-sapan/Njaba njero banjur qadim// (Yang disebut sebagai hakikat adalah mengetahui rasa sejati. Dimana rasa manusia itu bagaikan kue lapis, yaitu berlapis-lapis dari mulai rasa luar, rasa dalam, dan rasa qadim).
//Rasa njaba yen didumuk/Karasa ana ing kulit/Keri gathel sithik krasa/Aja sing bangsa digitik/Wong kanginan bae krasa/Sumuk bisa krasa isis// (Rasa luar ketika tersentuh akan terasa pada kulit, yaitu geli atau gatal sedikit saja terasa. Apalagi kalau sampai dipukul. Bahkan, dihembus angin saja yang tadinya terasa gerah bisa menjadi sejuk).
//Nanging yen kesokan setrup/Awak ora krasa legi/Kajaba pliket tan ana/Awit rasa legi gurih/Pait getir iku lidhah/Rasa njero kang nduweni// (Jika terkena tumpahan sirup misalnya, badan tidak dapat merasakan manisnya, tetapi hanya lengketnya saja yangterasa karena rasa manis dan gurih hanya bisa dirasakan oleh lidah. Yaitu dirasa oleh bagian yang lebih dalam).
//Bareng kesandhung ing butuh/Kowe nandhang utang nyilih/Sing krasa dudu lidhah/Apa maneh kulit daging/Kabeh ora apa-apa/Rasane ketemu ati// (Begitu terdesak oleh kebutuhan misalnya, dimana kamu kelabakan mencari pinjaman hutang ke sana kemari, maka lidahmu tidak ikut merasakannya. Apalagi kulit dan daging yang berada di luar, tentu tak dapat merasakannya samasekali. Hanya hati yang bisa merasakan kerepotannya).
//Ya kuwi yen arep weruh/Kang jeneng rasane qadim/Mula mau aku kandha/Rasa kaya kuwih lapis/Kasiyate beda-beda/Sap telu sing tak weruhi// (Begitulah contoh sederhananya jika kamu ingin mengetahui apa yang distilahkan dengan rasa qadim. Karena itulah maka kutegaskan bahwa rasa itu memiliki gradasi seperti kue lapis. Fungsinya di dalam merasakan juga berbeda-beda. Berlapis tiga itulah setidaknya sebagaimana yang sudah dijelaskan).
Demikianlah orang Jawa di dalam merasakan dan menghayati rasa yang ada di dalam dirinya. Walaupun yang dirasakan adalah sesuatu yang berasal dari luar Jawa, ketika ia dicerap dengan penuh kejujuran untuk menemukan kedalaman, maka ia akan bermuara sebagaimana basmalah atau Langen Mandra Wanara yang dikagumi oleh Tagore itu. Namun jika berangkatnya adalah dari kebencian, puncaknya adalah sebagaimana yang tersurat pada Serat Gatoloco sebagaimana di atas. Wallahu a’lam bishshawwab.