Suatu sore, saya mampir ke sebuah masjid di kawasan Jakarta Selatan untuk melaksanakan shalat maghrib. Seusai shalat, saya mendapati empat orang anak sekolah yang sedang belajar bersama di pelataran masjid. Seorang siswi perempuan terlihat sabar mengajarkan matematika kepada tiga teman laki-lakinya. Sedangkan kawannya berkali-kali bertanya kepadanya dengan wajah bingung.
Pikiran saya tiba-tiba melayang pada suatu hadis yang menyatakan bahwa perempuan kurang agama dan akal. Dalam buku “Perempuan Periwayat Hadis” karya Agung Danarta, disebutkan bahwa hadis ini memiliki sembilan sanad, lima sanadnya bersumber dari Abu Sa’id al-Khudri, tiga sanad dari Abdullah bin Umar, dan satu sanad bersumber dari Abu Hurairah sebagai perawi pertama. Namun ada yang unik dari jalur periwayatan ini, semua sanadnya tidak melibatkan perawi perempuan.
Redaksi asli hadis tentang kurangnya akal dan agama perempuan cukup panjang. Adapun potongan hadisnya dalam shahih Bukhari dari jalur Abu Said al-Khudri yaitu:
مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ، قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: أَلَيْسَ شَهَادَةُ المَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ. قُلْنَ: بَلَى، قَالَ: فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ. قُلْنَ: بَلَى، قَالَ: فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا
Aku tidak pernah melihat orang yang kurang akal dan agamanya paling bisa mengalahkan hati laki-laki yang kokoh daripada salah seorang kalian (kaum perempuan). Kami bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, apa tanda dari kurangnya akal dan lemahnya agama? Beliau menjawab “Bukankah persaksian seorang perempuan setengah dari persaksian laki-laki?” Kami menjawab, “Benar.” Beliau berkata lagi “Itulah kekurangan akalnya, dan bukankah seorang perempuan apabila sedang haid tidak shalat dan puasa?” Kami jawab, “Benar.” Beliau berkata “Itulah kekurangan agamanya.” (HR Bukhari)
Hadis ini seringkali dijadikan alat untuk mendiskriminasi perempuan. Padahal dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali melihat perempuan yang lebih unggul dalam bidang akademik dari laki-laki. Lalu apa yang dimaksud dengan perempuan kurang akal dan agama?
Menurut pandangan Abu Syuqqoh, melalui hadis ini Nabi Muhammad SAW justru sedang memuji perempuan, atau sedang bergurau dengan para perempuan. Ungkapan Rasulullah SAW ini tidak berkaitan dengan hukum. Sebab, teks penuhnya bisa diartikan seperti ini “Saya kagum dengan para perempuan ini, (dianggap) hanya punya separuh akal dan agama, tetapi sanggup mengalahkan laki-laki yang paling pintar dan teguh pendirian sekalipun.”
Nabi justru memuji kehebatan perempuan yang mampu meluluhkan hati laki-laki yang pintar dan kuat. Padahal perempuan seringkali dianggap kurang agama dan akal.
Abu Syuqqoh sebagaimana Kaukab Siddique mengartikan نَاقِصَاتِ عَقْلٍ bukan kurang akal, melainkan kurang berpikir atau kurang nalar. Kekurangan ini terjadi karena struktur sosial masyarakat yang saat itu tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk belajar dan berlatih berpikir. Jika diberi kesempatan, maka perempuan akan mampu berpikir secara baik. (Faqihuddin Abdul Qodir, 2019)
Terlebih di masa jahiliyah perempuan memang tidak mendapatkan hak-hak yang sama dengan laki-laki. Tentu sangat memungkinkan apabila ketajaman berpikir laki-laki lebih unggul daripada perempuan.
Artinya, hadis ini bukan mengungkapkan bahwa perempuan lemah akalnya, melainkan soal kebiasaan berpikir setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Akal perempuan sebagaimana akal laki-laki, dapat dikembangkan dengan pembiasaan, latihan dan pendidikan.
Oleh karena itu, ketajaman berpikir perempuan bisa lebih kuat dibanding laki-laki, begitupun sebaliknya, tergantung bagaimana masing-masing dari mereka mengasah kemampuan berpikirnya.
Seiring dengan kesetaraan hak pendidikan antara laki-laki dan perempuan, bukan hal yang mustahil jika saat ini banyak perempuan yang memiliki prestasi akademik lebih unggul dari laki-laki. Sebab, ketajaman berpikir tidak berkaitan dari jenis kelamin, melainkan dari kebiasaan setiap orang dalam mengasah kemampuannya.
Perkara kedua, dalam hadis ini perempuan juga disebut kurang agama. Hadis ini sejatinya tidak menyatakan bahwa laki-laki lebih beriman dari perempuan, karena kadar keimanan bukan diukur dari jenis kelamin.
Perempuan disebut kurang agama karena apabila haid atau nifas, mereka meninggalkan shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya yang dilarang dilaksanakan dalam periode tersebut. Namun tentu saja ini bukan aib dan bukan pula dosa, karena perempuan meninggalkan ibadah-ibadah ini dilandaskan ketaatan pada Allah, bukan karena kelalaian.
Jika dihitung secara kuantitatif, tentu saja perempuan melewatkan puluhan shalat wajib, namun bukan berarti pahala mereka lebih sedikit dari laki-laki. Karena ketaatan pada Allah pun akan diganjar pahala. Selain itu, banyak pula ibadah lainnya yang dapat dilakukan perempuan saat haid dan nifas, yang tentu juga bernilai pahala.
Melalui hadis ini, Nabi SAW justru memotivasi perempuan agar tidak lalai mengingat Allah meskipun sedang berhalangan.
Wallahu a’lam bisshawab