Film Pad Man dan Tabunya Menstruasi Perempuan

Film Pad Man dan Tabunya Menstruasi Perempuan

Pad Man merupakan film India yang diangkat dari kisah nyata laki-laki bernama Arunachalam Muruganantham.

Film Pad Man dan Tabunya Menstruasi Perempuan

Pad Man merupakan film India yang diangkat dari kisah nyata laki-laki bernama Arunachalam Muruganantham. Film ini dirilis pada 9 Februari 2018 dan telah memenangkan beberapa penghargaan, seperti festival film Bandung untuk film impor dan penghargaan film nasional untuk film terbaik tentang isu-isu sosial dan lainnya.

Pad Man mencoba menggambarkan budaya kelam yang menempatkan perempuan haid sebagai sosok yang najis, kotor, menjijikkan, harus dijauhi, harus tinggal di ruang terpisah dengan laki-laki, bahkan tidak boleh keluar rumah. Sayangnya, sikap demikian justru lebih ditonjolkan dan dipelihara oleh para perempuan India itu sendiri.

Dalam film Pad Man ini digambarkan secara gamblang budaya kolot yang melekat pada perempuan India, membicarakan menstruasi di depan laki-laki dianggap amat memalukan, bahkan bertentangan dengan budaya.

Dari 500 juta perempuan India, hanya 12% saja yang menggunakan pembalut higienis. Mayoritas perempuan India menggunakan kain sari yang dicuci dan dipakai berulang-ulang untuk menampung darah menstruasinya.

Saat menjemur sari itu, mereka harus menumpuknya dengan pakaian agar tak terlihat oleh orang lain. Sehingga kain menstruasi tak terkena sinar matahari langsung. Padahal, pembalut kain seharusnya dijemur di bawah sinar matahari langsung agar bakteri bisa mati. Pad man

Tingkat kematian perempuan akibat penyakit reproduksi di India tergolong cukup tinggi. Dalam satu bulan setidaknya 10 dari 12 perempuan datang ke dokter mengadukan sakit menstruasi yang dialaminya karena menggunakan sari kotor untuk menampung darah haid. Karena penyakit reproduksi, beberapa perempuan tidak bisa mempunyai anak, bahkan tak jarang mereka juga harus kehilangan nyawa.

Pemeran utama, Lakshmikant Chauhan yang dimainkan oleh Akshay Kumay mencoba membujuk istrinya, Gayatri untuk menggunakan pembalut higienis sekali pakai. Namun Gayatri justru menolak lantaran harga pembalut sekali pakai dinilai begitu mahal untuk keluarga mereka yang miskin. Gayatri bahkan lebih memilih mati karena penyakit reproduksi ketimbang harus melawan tradisi dan budaya.

Kalaupun Gayatri tetap menggunakannya, keluarga perempuannya akan iri dan nyinyir lantaran ia dianggap membuang-buang uang hanya demi membeli pembalut sekali pakai.

Jika dalam satu bulan perempuan mengalami menstruasi selama lima hari, maka selama itu pula mereka tak dapat beraktivitas. Jika dikalkulasikan setahun, maka perempuan kehilangan 60 hari produktif. Artinya, perempuan hanya memiliki 10 bulan efektif dalam setahun.

Berbagai masalah itulah yang melatarbelakangi Lakshmi untuk memproduksi sendiri pembalut higienis sekali pakai. Namun sayang, usaha Lakshmi dihadapkan ribuan tantangan, terutama adat dan budaya. Lakshmi bahkan harus menelan kenyataan pahit, diusir dari desanya dan dipisahkan dari istri tercinta karena dianggap aib bagi keluarga.

Ketabuan menstruasi sebetulnya bukan hanya ditemukan di India saja. Di berbagai negara, termasuk Indonesia, menstruasi masih dianggap begitu memalukan. Buktinya, sebagian perempuan harus berbisik-bisik saat mengabarkan dirinya sedang menstruasi. Bahkan mereka juga seringkali menggunakan bahasa samaran seperti datang bulan, kedatangan tamu, berhalangan, dan lain sebagainya.

Ketabuan mentsruasi sejatinya merupakan warisan budaya kuno turun temurun. Zaitunah Subhan dalam bukunya “Al-Quran & Perempuan” menyebutkan, anggapan bahwa menstruasi sebagai kutukan menurut M.A Anees sudah ada sejak masa filsuf Aristoteles.

Para filsuf berpendapat bahwa jiwa yang merupakan inti kehidupan manusia diberikan kepada laki-laki, perempuan hanya berperan sebagai pelengkap sehingga harus selalu melayani laki-laki. Di samping laki-laki yang bisa mengeluarkan sperma, perempuan hanya mampu mengeluarkan darah menstruasi yang tidak dapat diubah menjadi nutrisi.

Di masa jahiliyah, perempuan yang haid harus ditempatkan di ruang terpisah, mereka tidak boleh makan dan minum bersama laki-laki. Sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahihnya. Dari Anas bin Malik:

“Apabila para perempuan Yahudi haid, para suami tidak makan bersamanya dan tidak mempergaulinya di rumah. Para sahabat pun bertanya kepada Nabi Saw, lantas Allah menurunkan:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ  قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ ۖ  وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ  فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah: “Haid itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al-Baqarah:222)

Dr. Nur Rofiah menawarkan makna berbeda dari kata أَذًى, menurutnya arti adza adalah rasa sakit, sebab saat menstruasi, sebagian perempuan memang kerap merasakan sakit. Selain itu, secara bahasa kata adza memang bisa diartikan rasa sakit atau penyakit.

Kalimat فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ bukan anjuran menjauhi secara utuh perempuan yang sedang haid, melainkan hanya melarang melakukan hubungan badan antar kelamin. Adapun bercumbu yang tidak mencapai bagian pusar hingga lutut tetap diperbolehkan.

Rasulullah Saw juga mencumbui Aisyah tatkala sedang haid. Sebagaimana pengakuan putri Abu Bakr ini:

كَانَ إِحْدَانَا إِذَا كَانَتْ حَائِضًا أَمَرَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَأْتَزِرُ بِإِزَارٍ ثُمَّ يُبَاشِرُهَا

Apabila salah seorang dari kami (istri-istri Nabi) sedang haid, Rasulullah Saw memerintahkannya untuk mengenakan sarung dan mengencangkannya, kemudian beliau mencumbuinya. (HR. Muslim)

Nabi Saw juga tak ragu makan dan minum bersama istrinya. Beliau bahkan tak segan-segan minum di bagian gelas bekas minum Aisyah, juga makan di bagian daging bekas gigitan perempuan yang dijuluki Humaira itu.

Seorang Tabiin bernama Syuraih bin Hani pernah bertanya kepada Aisyah, “Apakah perempuan boleh makan bersama suaminya jika dia sedang haid?”

Aisyah pun menjawab “Ya, boleh. Rasulullah Saw pernah memanggilku, lalu aku makan bersama beliau, padahal aku sedang haid. Beliau Saw mengambil daging, kemudian membaginya kepadaku, dan aku segera memakannya. Kemudian aku menaruhnya, lalu Rasulullah Saw mengambil dan memakannya. Beliau meletakkan mulutnya pada daging di tempat aku meletakkan mulutku tadi. Lalu beliau meminta air minum dan membaginya kepadaku sebelum beliau meminumnya. Maka aku mengambil dan meminumnya, lalu meletakkannya. Kemudian beliau mengambilnya dan meminumnya, dan beliau meletakkan mulutnya ditempat aku meletakkan mulutku di gelas tadi.” (HR. Nasai)

Perbuatan Rasulullah Saw ini merupakan upaya untuk mendongkrak budaya kuno yang selalu merugikan perempuan, yang menganggap perempuan haid sebagai makhluk kotor yang tak boleh didekati dan harus dikucilkan. Padahal menstruasi adalah siklus biologis yang niscaya terjadi, bukan kutukan dan bukan pula perihal memalukan. (AN)