Sejatinya, Islam tidak mengharuskan perempuan untuk bekerja, karena mencari nafkah adalah kewajiban dan tanggung jawab suami. Di samping itu, perempuan menanggung beban reproduksi, mulai dari hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui, sehingga jika perempuan dipaksakan bekerja, maka bisa jadi itu akan memberatkannya.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa Islam juga tidak melarang perempuan untuk mencari nafkah dan terlibat dalam aksi sosial. Terlebih bekerja bukan hanya bertujuan untuk menghasilkan uang semata, tetapi juga diharapkan dapat memberikan manfaat seluas-luasnya bagi keluarga dan umat.
Selain itu, Rasulullah SAW menyatakan, makanan terbaik adalah yang kita dapatkan dari hasil jerih payah sendiri.
“Tidaklah seseorang memakan sesuatu yang lebih baik dari hasil tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabiyullah Daud AS pun makan dengan dengan hasil tangannya sendiri” (HR Bukhari)
Hadis ini menunjukkan keutamaan mencari nafkah sendiri, baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu, dengan mendapat penghasilan sendiri, kita juga mampu memperbanyak sedekah dari harta pribadi.
Meskipun telah jelas bahwa perempuan diperbolehkan bekerja, namun beberapa kelompok masih membatasinya. Mereka beranggapan bahwa perempuan muslimah hanya boleh bekerja di beberapa sektor tertentu, yang sesuai dengan fitrahnya, seperti menenun dan menjahit, mengajar, hingga menjadi tenaga kesehatan.
Lalu, benarkah Islam telah mengatur pekerjaan tertentu untuk perempuan?
Sejatinya, Islam tidak pernah mengatur jenis pekerjaan apa saja yang diperbolehkan untuk perempuan. Kuncinya, selama pekerjaan itu halal dan memberikan kemaslahatan, maka baik perempuan maupun laki-laki diperbolehkan untuk bekerja di bidang tersebut.
Ulama ushul fiqh, tafsir, fikih, dan hadis bersepakat bahwa khitab taklif pada dasarnya berlaku bagi laki-laki maupun perempuan. Suatu nash syar’i yang menggunakan dhamir mudzakar, hukumnya berlaku umum, untuk laki-laki maupun perempuan. Jadi, selama tidak ada nash yang menunjukkan suatu kekhususan bagi laki-laki saja, maka perempuan juga mengikuti hukumnya, demikian pula sebaliknya. (Lihat al-mar’ah fil Hadārah al-Islamiyah, h. 45)
Dengan demikian, sebuah pekerjaan, selama tidak ada dalil yang menyatakan bahwa itu khusus untuk laki-laki, maka perempuan juga diperbolehkan untuk bekerja di bidang itu. Terlebih di masa kini, kesempatan untuk belajar semakin terbuka lebar, sehingga perempuan bisa mengasah kemampuannya di berbagai bidang.
Maka tak heran bila di Indonesia, perempuan bisa menggeluti profesi apapun, mulai dari petani, pedagang, guru, tenaga kesehatan, petugas keamanan, supir bus dan truk, atlet, koki, wartawan, politikus, desainer, dan masih banyak lagi.
Pada masa Nabi SAW, perempuan juga menggeluti berbagai usaha dan profesi, misalnya:
- Pedagang
Perdagangan merupakan salah satu sumber penghasilan yang banyak digeluti bangsa Arab, tak terkecuali para perempuan. Istri Nabi, Khadijah binti Khuwailid dikenal sebagai saudagar yang sukses dan kaya raya. Selain Khadijah, Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy juga kerap kali membuat kerajinan tangan dan menjualnya. Ia bahkan dikenal sebagai istri Nabi yang paling banyak bersedekah. Maka, tak heran bila ia sering bersedekah lantaran ia pun mampu menghasilkan uang dengan jerih payahnya sendiri.
- Pengawas pasar
Di masa Nabi, ada beberapa perempuan yang ditugaskan untuk mengawasi jalannya jual beli di pasar agar terhindar dari kecurangan. Beberapa di antaranya adalah Samra binti Nahika dan as-Syifa binti Abdullah al-Adawiyah. Samra binti Nahika kerap kali membawa cambuk di tangannya, ia tak segan untuk mendisiplinkan dan mendidik orang-orang di pasar agar berjual beli dengan jujur dan adil. Adapun as-Syifa binti Abdullah diangkat sebagai pengawas pasar pada masa Khalifah Umar bin Khattab.
- Guru
Setelah Rasulullah SAW wafat, beberapa sahabat perempuan turut aktif menyebarkan ilmu pengetahuan, terutama para istri Nabi SAW. Aisyah binti Abu Bakr misalnya, ia rajin membuka majelis-majelis ilmu. Para sahabat, baik laki-laki maupun perempuan menghadiri majelisnya. Tak hanya itu, para sahabat senior bahkan merujuk putri Abu Bakr ini tatkala mereka menemukan suatu persoalan keagamaan. Maka tak heran bila Aisyah menjadi salah satu sahabat yang paling banyak berfatwa.
Selain Aisyah, sahabat-sahabat lain yang juga berfatwa dan meriwayatkan hadis adalah Ummu Salamah, Shafiyah binti Huyay, Hafshah binti Umar, Zainab binti Jahsy, Asma binti Abu Bakr, Ummu ‘Athiyah, Ummu Amarah, dan masih banyak lagi.
- Pasukan perang dan tenaga kesehatan
Dalam berbagai peperangan, para sahabat perempuan memang tidak dijadikan pasukan utama, akan tetapi, mereka juga ikut ke medan perang untuk mengobati prajurit yang terluka dan sakit, serta menyiapkan makanan dan minuman. Beberapa di antaranya ar-Rabi’ binti Muawidz, Ku’abiah binti Sa’ad al-Aslamiyah (dikenal juga dengan nama Rufaidah al-Aslamiyah), Ummu Athiyah, Umayyah binti Qais, Ummu Sulaim, Ummu Aiman, dan lain-lain.
Di samping bertugas sebagai tenaga kesehatan, bahkan ada pula sahabat perempuan yang terjun langsung menghadang musuh, seperti Nusaibah binti Ka’ab (Ummu Amarah), Shafiyah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah SAW, dan Ummu Hakim binti al-Harits.
- Bidan
Di masa Nabi, ada perempuan yang bertugas sebagai penolong ibu melahirkan atau yang saat ini lebih kita kenal sebagai bidan, misalnya Salma, pembantu Rasuulullah SAW. Salma membantu Sayyidah Khadijah melahirkan putra putrinya, juga membantu persalinan Mariyah al-Qibthiyah dan Fatimah binti Rasulullah SAW.
- Petani/tukang kebun
Jika di Indonesia banyak perempuan yang menjadi petani, perempuan di masa Nabi juga ada yang mengurus perkebunan, baik hasilnya untuk kebutuhan pribadi maupun untuk dijual di pasar. Misalnya Asma binti Abu Bakr, ia menanam dan mengelola kebun kurma milik suaminya, Zubair bin Awam. Asma juga memanen kurma, mengurus kuda, dan membuat roti. Begitu pula bibi Jabir bin Abdullah yang memiliki kebun kurma. Rasulullah SAW bahkan membolehkan bibi Jabir ini memanen kurma di masa iddahnya, agar ia bisa bersedekah atau berbuat ma’ruf dengan hasil panennya itu.
- Politikus
Meskipun perempuan di masa Nabi tidak secara langsung turun dan menjabat sebagai politikus, namun bukan berarti peran perempuan absen dalam bidang ini. Rasulullah SAW pernah meminta pendapat Ummu Salamah saat umat Muslim kecewa dan berseteru atas perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah SAW mendengarkan dan menerapkan saran istrinya yang dikenal memiliki ketajaman pikiran itu. Di masa lainnya, Aisyah binti Abu Bakr pernah memimpin sejumlah pasukan muslimin untuk meminta keadilan atas kematian Khalifah Utsman bin Affan.
Dalam ad-Daur al-Hadhāri lil Mar’ah al-Muslimah fil ‘Ahdi an-Nabawi ar-Rāsyidi dituliskan, keikutsertaan perempuan dalam berbagai baiat di masa Nabi SAW juga menunjukkan partisipasi perempuan di bidang politik. Pasalnya, baiat merupakan perjanjian kepemimpinan politik yang mensyaratkan ketaatan jamaah pada imam.
Selain pekerjaan-pekerjaan di atas, masih banyak lagi bidang yang digeluti para sahabat perempuan di masa Nabi, mulai dari industri rumahan seperti yang ditekuni Zainab ats-Tsaqafiyah, penenun seperti Sa’irah al-Asadiyah, perias wajah seperti Ummu Ra’lah al-Qusyairiyah, Busrah binti Safwan, Umm Sinan al-Aslamiyah, serta Asma binti Yazid al-Asyhaliyah yang merias Aisyah Ummul Mukminin saat pernikahannya.
Ada pula sahabat yang menggembala kambing seperti Anisah binti Khubaib bin Yasaf dan budak perempuan Ka’ab bin Malik. Kemudian ada perempuan yang berprofesi sebagai ibu susu, seperti Halimatu Sa’diyah, ibu susu Rasulullah, Ummu Burdah Khaulah binti al-Mundzir, ibu susu Ibrahim bin Muhammad SAW, dan Ummul Fadhl Lubabah yang menyusui al-Husein bin Ali. Ada pula perempuan yang berprofesi sebagai penyanyi dan penyair. Mereka biasanya bernyanyi di acara-acara pernikahan.
Berbagai peran yang dilakukan perempuan di masa Nabi SAW ini menunjukkan bahwa perempuan juga ikut serta dalam sektor pendidikan, politik, ekonomi, dan sosial. Meskipun tidak semuanya bertujuan untuk menghasilkan uang, tapi setidaknya ini menjadi bukti keterlibatan perempuan dalam berbagai bidang, dan Rasulullah SAW tidak melarang hal itu. (AN)
Referensi: ad-Daur al-Hadhāri lil Mar’ah al-Muslimah fil ‘Ahdi an-Nabawi ar-Rāsyidi, al-Mar’ah fil Hadhārah al-Islāmiyah baina Nushūshis Syar’I wa Turātsil Fiqhi wal Wāqi al-Ma’isy karya Ali Jumuah Muhammad.
*Artikel merupakan hasil kerja sama dengan Rumah KitaB atas dukungan investing in women dalam mendukung perempuan bekerja