Aisha Bewley, Peraih Woman of The Year dalam 500 Muslim Berpengaruh Dunia 2023

Aisha Bewley, Peraih Woman of The Year dalam 500 Muslim Berpengaruh Dunia 2023

Salah satu peraih person of the year dalam The World’s 500 Most Influential Muslims adalah seorang perempuan bernama Aisha Bewley. Siapa dia?

Aisha Bewley, Peraih Woman of The Year dalam 500 Muslim Berpengaruh Dunia 2023
Aisha Bewley (Foto: Facebook-The Lady Aisha College)

Sebuah lembaga independen The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) kembali merilis 500 muslim berpengaruh dunia tahun 2023. Buku tahunan yang diterbitkan sejak 2009 ini mengevaluasi sepak terjang tokoh-tokoh dalam komunitas muslim seluruh dunia di beberapa bidang tertentu serta besarnya pengaruh yang telah mereka torehkan.

Kali ini nama Presiden RI Joko Widodo kembali menempati urutan ke-13 dalam daftar 50 teratas dan KH. Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU, di urutan ke-19 yang pada tahun sebelumnya diduduki oleh KH. Said Aqil Siradj, mantan Ketua Umum PBNU.

Hal yang menarik adalah apresiasi terhadap tokoh-tokoh perempuan. Nama-nama mereka bisa dilihat terpampang di beberapa bidang, termasuk juga tokoh-tokoh perempuan Indonesia, di antaranya Khofifah Indar Parawansa, Sri Mulyani, Maria Ulfah, hingga Asma Nadia. Ada pula kategori Woman of The Year yang kali ini diraih oleh Aisha Bewley, menggantikan  Presiden Tanzania, Samia Suluhu Hassan di tahun lalu.

Siapakah Aisha Bewley?

Muslimah paling produktif saat ini

Saat ini, dia adalah perempuan muslim paling produktif dalam karya terjemah kitab klasik Islam ke Bahasa Inggris. Dia mendedikasikan waktunya selama lebih dari lima dekade dalam upaya tersebut. Beberapa karya terjemahnya dihasilkan oleh dirinya sendiri, dan terkadang adalah hasil bersama dengan suaminya, Abdalhaqq Bewley.

Jenis karyanya meliputi bidang terjemah al-Qur’an, tafsir, hadis, hukum Islam, sufisme, dan sejarah. Di antara yang terkenal yaitu terjemah al-Muwatta’ karya Imam Malik (1982), al-Syifa’ karya Qadhi ‘Iyadh (1991), dan seri Tabaqat Ibn Sa’d (1995). Dia juga menulis karyanya sendiri (non-terjemah) seperti The Subatomic World in the Qur’an (1995), Islam: the Empowering of Women (1999), Muslim Women: a Biographical Dictionary (2004), dan Democratic Tyranny and the Islamic Paradigm (2018).

Sedangkan beberapa karya terjemah bersama dengan suaminya yaitu: terjemah al-Qur’an bahasa Inggris The Noble Qur’an (1999), terjemah Tafsir al-Qurthubi (2003), Tafsir Jalalain (2007), Mukhtashar al-Akhdari (2019), Syarat Tasawuf Ibn ‘Ajibah (2021) dan masih banyak lagi. Beberapa lainnya hanya dipublikasikan melalui website, misal Shahih Bukhari. Total, menurut katalog The WorldCat, keseluruhan karyanya baik terjemahan dan tulisan sendiri berjumlah 73 karya dalam 172 publikasi dan 855 perpustakaan dengan 3 bahasa.

Menerjemahkan teks Islam klasik untuk mengenalkan khazanah Islam ke ranah global

Motivasinya menerjemahan teks Islam tidak lain adalah untuk memberikan pengenalan dan menyediakan akses yang lebih mudah bagi komunitas Islam global secara khusus dan masyarakat dunia secara umum. Banyak dari mereka yang pertama kali membaca karya Islam klasik dari hasil terjemah Aisha Bewley. Dari aspek inilah pengaruhnya dapat diukur. Dia juga memiliki ketertarikan dalam mengangkat peran perempuan. Salah satu bukunya, Muslim Women: a Biographical Dictionary dapat dikatakan sebagai salah satu referensi paling komprehensif biografi tokoh muslim perempuan sepanjang sejarah Islam dari abad pertama hingga sekitar abad ke-13.

Di antara temuannya, banyak ulama besar yang belajar kepada perempuan, seperti al-Sakhawi berguru pada 68 perempuan dan al-Suyuti kepada 33 perempuan, yaitu seperempat dari jumlah gurunya. Dia selalu mendorong agar perempuan muslim mampu berperan di berbagai bidang, tidak hanya berdiam di rumah.

Sepanjang perjalanan intelektualnya, dia meraih gelar MA studi Bahasa Timur Tengah dari The University of California, Berkeley. Pernah menghabiskan satu tahun di The American University, Kairo, dan mengikuti seminar tasawuf di jurusan filsafat Cairo University. Pada awal tahun 70-an, dia bertemu Syekh Dr. Abdalqadir al-Sufi al-Murabit (w. 2021) dan berguru kepadanya. Kemudian dia mulai fokus mempelajari karya Islam klasik di bawah bimbingan Syekh Muhammad ibn al-Habib, Meknes.

Aisha Abdurrahman Bewley lahir di Amerika Serikat pada 1948. Dia mualaf sejak 1968, bermazhab Maliki dan berakidah Asy’ari, serta pengikut Tarekat ‘Alawiyyah Darqawiyyah, cabang dari Syadziliyyah. Dalam sebuah wawancara, dia mengaku lahir di tengah keluarga Kristen taat. Tapi seiring berjalannya waktu, nilai Kristen dalam dirinya mulai pudar. Keadaan itu membawanya terlibat dalam Buddhisme Zen selama beberapa tahun.

Gemar membaca filsafat

Di saat yang sama, dia gemar membaca filsafat, dimulai dengan Nietzsche, berlanjut ke Schopenhauer, Kant, Hegel, dan seterusnya dalam upaya memaknai keberadaannya di dunia. Dia selalu ingat bagaimana Nietzsche menyinggung Islam dengan cara yang positif, sambil meruntuhkan bangunan keyakinannya terhadap Kristen. Ketika akhirnya membaca beberapa buku tentang Islam, dia segera menyadari bahwa itulah yang dia cari.

Masih mengajar hingga sekarang

Di usianya yang senja, Aisha masih mengajar di Dallas College dan Lady Aisha College, Cape Town, Afrika Selatan. Di samping itu, dia tercatat cukup sering bepergian ke banyak negara dengan suami dan keluarganya, termasuk Jerman, Spanyol, Nigeria, dan Bermuda. Dia selalu semangat menyebarkan pengetahuan Islam dan membantu komunitas Muslim. Kegiatannya ini memperoleh perhatian yang luar biasa diikuti pencapaian intelektualnya yang benar-benar signifikan dengan perjuangannya. (AN)

*Artikel merupakan hasil kerja sama dengan Rumah KitaB atas dukungan investing in women dalam mendukung perempuan bekerja