Satu kata: edan! Hanya kata itu yang bisa keluar di tengah banyaknya peristiwa yang membuat saya (dan mungkin juga Anda) garuk-garuk kepala. Bagaimana tidak, beberapa hari belakangan kita sebagai wong cilik dipertontonkan dengan drama kehidupan yang masya Allah menguji keimanan.
Kemarin, UU Minerba yang ditolak habis-habisan oleh Muhammadiyah sejak tahun 2012, resmi disahkan. Sebuah proyek kilat di tengah rakyat yang sedang berusaha bertahan hidup, yang tak punya kekuatan untuk sekadar keluar rumah, apalagi demo. Undang-undang yang menurut banyak ahli memanjakan penambang (baca: orang kaya) disahkan di saat banyak warga sedang urunan untuk menyumbang sembako tetangga kanan dan kirinya.
Kabar ini menambah gundah gulana. Utamanya setelah pemerintah memberikan kelonggaran orang untuk bepergian. Hasilnya? Lonjakan penumpang terjadi di bandara Soekarno-Hatta. Apakah ini murni perjalanan dinas sebagaimana disyaratkan? Kalau lihat dari foto, ada banyak tas besar yang jelas-jelas potongannya bukan starter pack orang dinas.
Hal ini tentu mengecewakan. Sejak 15 Maret ada banyak warga rela menaati peraturan untuk #dirumahaja, #jagajarak, dan semacamnya. Tetapi beberapa hari terakhir kita melihat kerumunan di ibu kota seperti biasa saja. Pertama, kasus McD Sarinah. Kedua, antrian di bandara.
Kebetulan atau tidak, keduanya terjadi di wilayah yang hanya bisa dijangkau oleh orang-orang berpenghasilan lebih. Aparat bahkan ‘membela’ kerumunan tersebut. Mereka menyatakan bahwa acara nyala lilin di restoran cepat saji itu dianggap sebagai antrian pembeli.
Bisa jadi klaim itu benar. Wallahua’lam. Tapi peraturan social distancing seharusnya tetap berlaku. Apalagi Jakarta adalah episentrum virus dan termasuk zona PSBB di mana kerumunan dalam bentuk apapun tidak diperbolehkan. Lha wong ibadah saja udah enggak boleh berkerumun, masa ada orang mau beli ayam goreng saja kok sampai segitunya?
Sementara lokasi-lokasi bersemayamnya kalangan menengah ke bawah, aturan diterapkan begitu ketat. Misalnya di pasar Tanah Abang. Sweeping begitu ketat dijalankan.
Kegiatan sweeping ini tentu baik. Namun yang jadi pertanyaan, mengapa mata kita semakin dibiasakan dengan sikap yang begitu senjang?
Di media sosial ada banyak yang mengekspresikan kemarahannya secara nyata. Ada yang berujar dirinya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menaati semua protokol, lha kok malah banyak yang mbrojol? Lama kelamaan bisa jadi eskpresi frustrasi akan semakin sering kita saksikan.
Terutama para petugas medis yang berjibaku di rumah sakit. Berbulan-bulan lamanya mereka menetap di sana. Tak sedikit yang sampai tertular dan kemudian meninggal dunia. Pemandangan seperti di Sarinah dan Soekarno-Hatta ini tentu mengiris-iris ulu hati mereka.
Menjadi Warga Ebisu
Dalam serial anime dan manga karya Eiichiro Oda berjudul One Piece, terdapat sebuah negeri bernama Wano. Wano memiliki banyak kota dan salah satu yang mencolok adalah kota Ebisu.
Nama Ebisu diambil dari nama dewa keberuntungan. Warga kota ini digambarkan sudah kehilangan segalanya. Hanya keberuntungan saja yang bisa mereka harapkan selama hidup.
Tertawa adalah bagian tak terpisahkan dari warga Ebisu. Hidup dalam ancaman dan ketidakadilan membuat mereka tidak punya ekspresi lain selain tertawa. Sebuah adegan ketika mantan Daimyo Yasuie (petinggi dan orang yang dihormati di Ebisu) dieksekusi, warga Ebisu mengekspresikan ‘kesedihannya’ dengan tawa yang meledak-ledak.
Ada sebuah kalimat getir yang diucapkan oleh warga Ebisu:
“Dari semua mahluk yang ada di muka bumi hanya manusia yang diberikan kemampuan untuk tertawa (bahagia). Maka, saat kesulitan menimpamu kenapa harus bersedih?”
Di tengah berbagai situasi yang membuat kita tak berdaya seperti akhir-akhir ini, barangkali tertawa adalah cara yang ampuh untuk mengusir perasaan gundah gulana. Sebabnya, marah-marah percuma. Protes pun tak digubris. Kita terlalu sibuk untuk mencari cara bertahan hidup.
Jika urusan perut kita kombinasikan dengan kepala yang senut-senut, bisa jadi malah memperbanyak penyakit kita. Setidaknya penyakit hati akan semakin bertumpuk-tumpuk. Mau misuh takut dosa. Hadeuh!
Barangkali kita perlu mengutip sedikit lirik lagu Godbless. Dunia ini panggung sandiwara. Ceritanya mudah berubah… Para penguasa negeri sepertinya memegang teguh lirik lagu ini. Untuk itu, kalau kemarin MA membatalkan kenaikan BPJS kemudian hari ini dinaikkan lagi, ini bagian dari panggung sandiwara.
Nah, kalau sudah panggung sandiwara, berarti salah kita sendiri jika menganggapnya serius. Lha mbok segala tindak tanduk orang-orang di pucuk sana dianggap sebagai ludruk. Sebagai humor. Sebagai lelucon. Kata Gus Dur: “Dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup. Dengan humor, pikiran kita jadi sehat.”
Yuk, kita tertawakan semua. Barangkali satu-satunya hal yang tidak bisa dirampas dari hidup kita hanya harapan datangnya keberuntungan. Dan mungkin ini satu-satunya cara kita untuk merasa bahagia…