Ketika Muslim Indonesia dan Australia Berbagi Pengalaman Beragama Saat Pandemi

Ketika Muslim Indonesia dan Australia Berbagi Pengalaman Beragama Saat Pandemi

Ketika Muslim Indonesia dan Australia Berbagi Pengalaman Beragama Saat Pandemi

Podcastren bersama Australia-Indonesia Muslim Exchange Program (AIMEP) dan Forum Alumni AIMEP mengadakan kegiatan Launching & Talkshow Faith & Pandemic: Reflecting on the Past, Embracing the Future, Kamis (21/4/2022). Kegiatan ini merupakan acara pamungkas dari project Faith & Pandemic.

Dari  program ini, buku berisi 44 artikel yang ditulis oleh 42 orang alumni AIMEP di Indonesia dan Australia berhasil diterbitkan. Tak hanya itu, ada pula 40 episode podcast yang mengangkat tema serupa.

Faith & Pandemic merupakan buku hasil kolaborasi alumni AIMEP keempat setelah Hidup Damai di Negeri Multikultur (2017), Islam Kontemporer di Indonesia dan Australia (2017), serta Muslim Milenial (2018). Bagi Rowan Gould, Direktur AIMEP, buku Faith & Pandemic ini menjadi bukti janji Tuhan bahwa pada setiap kesulitan ada kemudahan.

Lebih lanjut, ia bercerita bagaimana pandemi “memaksa” AIMEP untuk mengubah format kegiatan yang semula luring menjadi daring. Sesuatu yang sebelumnya dirasa tidak mungkin dan tidak pernah terpikirkan. “Dan melihat engagement serta rasa persaudaraan yang terbangun, kami bisa bilang bahwa kegiatan tersebut terbilang sukses,” katanya.

Yanuardi Syukur, Ketua Forum Alumni AIMEP yang memberikan sambutan pada acara ini, mengungkap, pandemi ini mendorong kemampuan untuk connecting the dot (menghubungkan titik), terutama melalui pendayagunaan teknologi digital dan internet. Yanuardi Syukur juga mengajak para peserta untuk senantia memperkuat iman, ilmu, dan amal guna belajar dari masa lalu untuk beradaptasi di masa kini agar tidak mengulangi kesalahan serupa di masa yang akan datang.

Setelah launching dilaksanakan secara seremonial, kegiatan dilanjutkan dengan talkshow yang dipandu Romzi Ahmad, Irfan L. Sarhindi, ketua program sekaligus editor Faith & Pandemic sebagai pembicara. Serta tiga orang kontributor: Ienas Tsuroiya, Nasim Zereka, dan Zeinab Mourad.

Irfan menjelaskan bagaimana pengalaman keberagamaan yang ia alami menjadi salah satu alasan munculnya ide untuk tukar-pengalaman dan berbagi-gagasan melalui Faith & Pandemic. Secara khusus, Irfan menggarisbawahi bagaimana narasi keagamaan sangat instrumental dalam hal penanganan Covid-19. Dengan melihat perbedaan karakteristik anrara Muslim Indonesia dan Australia, Irfan terdorong untuk memperkuat relasi tokoh Muslim di kedua negara di bawah naungan AIMEP melalui penulisan buku secara kolaboratif.

Di antara cerita dan refleksi yang didiskusikan adalah pengalaman berat yang dihadapi oleh Gus Mus ketika memutuskan untuk meliburkan pengajian dan mengosongkan pesantren guna memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Kisah tersebut diceritakan oleh putri Gus Mus, Ienas Tsuroiya, yang juga dikenal sebagai Mbak Admin Ngaji Ihya. Menariknya, menurut Ienas Tsuroiya, kultur pengajian online pasca pandemi tak banyak berubah, kecuali dalam skala kuantitas yang meningkat pesat.

Adapun pengalaman dari Australia diwakili oleh Zeinab Mourad dan Nasim Zereka. Zeinab, seorang mentor di ISRA Academy, menceritakan bagaimana walaupun Covid-19 membuat orang-orang terisolasi saat lockdown, tetapi itu tidak membuat mereka disconnected. Sebaliknya, orang-orang jadi lebih terkoneksi secara online. Secara pribadi, Zeinab melihat pengalaman “terisolasi”-nya sebagai pengalaman menyendiri (solitude). Sesuatu yang membuatnya merasa relate dengan pengalaman uzlah Nabi di Gua Hira. Dengan mindset seperti itu, momen solitude tidak membuatnya merasa kesepian.

Sedangkan Nasim menggarisbawahi pengalaman yang relatif serupa dirasakan oleh para guru di Indonesia: rasa sedih tidak bertemu dengan para peserta, kesulitan untuk memastikan pembelajaran tetap optimal walau secara luring jarak-jauh. Secara khusus, sebagai seorang guru Bahasa Arab, Nasim mencatat dua tantangan besar saat mengajar. Pertama, jika bahasa Inggris bukan bahasa pertama siswa. Kedua, jika siswa kesulitan menggunakan teknologi dan/atau aplikasi pembelajaran, sedangkan orang tua mereka sibuk bekerja.

Sebagai penutup, para kontributor dan kolabotor sepakat bahwa buku ini tidak akan menjadi karya kolaborasi terakhir. Sebaliknya, buku ini akan menjadi pintu masuk kolaborasi intensif di masa yang akan datang. Sebagaimana semangat yang diusung oleh project ini, yaitu Stronger, harapan yang dipanjatkan agar agar semoga cerita yang dituliskan dan pemikiran yang dituangkan menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk menyambut masa depan: reflecting on the past, embracing the future. (AN)