Dahulu kala, di wilayah yang disebut dengan Turkistan yang membentang dari dataran tinggi Mongolia dan Cina Utara di bagian Timur hingga Laut Qazwin di sebelah Barat, dan dari lembah Siberia di sebelah Utara hingga anak benua India dan Persia disebelah Selatan berdiamlah suku bernama al-Ghizzl dan kabilah-kabilahnya yang besar. Mereka dikenal dengan sebutan “Turk”, nama yang merujuk pada daerah tempat mereka tinggal.
Pada paruh kedua abad ke-enam Masehi, kabilah-kabilah tersebut melakukan migrasi besar-besaran dari negerinya ke Asia Tengah. Beberapa sejarawan, seperti yang dikutip Ali Muhammad ash-Shalabi, menyebutkan bahwa beberapa sebab migrasi mereka didorong oleh faktor ekonomi, kemarau panjang dan banyaknya keturunan mereka yang merasa tidak nyaman berada di dalam negerinya akibat bencana alam sehingga mereka melakukan migrasi untuk mencari rumput dan padang serta kehidupan yang lebih baik.
Abdul Latif Abdullah bin Dahisy, dalam Qiyam Al-Dawlat al-Utsmaniyyah, mengatakan bahwa migrasi tersebut dilatarbelakangi faktor politik, mengingat kabilah ini mendapat ancaman keras dari beberapa kabilah yang berjumlah lebih besar dan dengan kekuatan yang lebih besar pula, yaitu suku-suku Mongolia. Tekanan ini memaka mereka untuk melakukan hijrah mencari tempat lain untuk mencari rasa aman dan tempat tinggal yang mapan.
Kabilah migran tersebut terpaksa menuju ke arah Barat dan berhenti di pinggiran sungai Jaihun, kemudian untuk beberapa lama tinggal di Thibristan dan Jurjan. Menariknya, kedua wilayah tersebut merupakan wilayah-wilayah yang dekat dengan kekuasaan Islam yang sebelumnya ditaklukkan kaum Muslimin setelah peperangan Nahawand dan setelah jatuhnya pemerintahan Sasanid di Persia pada tahun 21H/641M.
Setahun berselang, tepatnya tahun 22H/642M, tentara Islam bergerak untuk menaklukan wilayah Bab. Wilayah tersebut merupakan salah satu wilayah di mana orang-orang Turk bermigrasi. Di sanalah komandan pasukan Islam Abdur Rahman bin Rabi’ah bertemu dengan pemimpin bangsa Turki yang bernama Syahr Baraz. Dia meminta pada Abdur Rahman untuk damai dan menyatakan kesiapannya untuk bersama-sama dengan tentara Islam memerangi Armenia. Abdur Rahman kemudian menyuruh Syahr Baraz menemui komandannya, Suraqah bin Amr.
Syahr Baraz diterima dengan sangat baik oleh Suraqah. Suraqah kemudian menulis surat pada khalifah Umar bin Khatthab untuk memberitahukan tentang masalah ini. Umar pun menyetujuinya. Maka terjadilah perjanjian damai itu antara pihak Turk dan umat Islam sehingga tidak satu pertempuran pun terjadi antara kedua belah pihak. Mereka kemudian bersama-sama berangkat ke Armenia untuk membuka negeri itu dan menyebarkan Islam di sana.
Sejak saat itu, bangsa Turk selalu menjadi bagian penting dari pasukan Muslim dalam menyebarkan agama Islam lewat penaklukan. Turki bisa dikatakan berperan penting dalam perjalanan sejarah Islam, khususnya dalam hal futuhat (pengembangan wilayah) Islam. Pengaruh Turki dalam perkembangan Islam mulai terasa sejak masa Abbasiyah.
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, negeri Thibristan ditaklukkan. Kemudian kaum Muslimin menyeberangi sungai Jayhun pada tahun 31 H. Mereka berhenti di Turkistan. Relasi sebelumnya antara umat Muslim dan bangsa Turki membuat sejumlah besar orang-orang Turki di situ juga tertarik terhadap Islam. Mereka akhirnya menjadi Muslim dan menjadi bagian penting dalam jihad di jalan Allah di seluruh dunia.
Tentara Islam terus melanjutkan perjalanannya di wilayah itu dan berhasil membuka Bukhara di zaman pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Tentara Islam terus maju sampai ke Samarkand. Wilayah-wilayah Asia Tengah pada akhirnya berhasil dikuasai oleh kekuatan Islam yang adil. Fase ini yang kemudian memulai sebuah peradaban Islam yang sangat cemerlang.
Jumlah orang-orang Turki yang masuk ke dalam lingkaran pemerintahan semakin banyak di masa pemerintahan Abbasiyah. Mereka mulai memegang posisi-posisi penting di tingkat militer dan administrasi. Sebagian mereka menjadi tentara, komandan, dan penulis. Mereka bertindak dengan cara yang tenang dan penuh ketaatan kepada perintah khalifah. Sikap yang patuh itu akhirnya yang mengantarkan mereka ke posisi yang tertinggi.
Tatkala al-Mu’tashim memerintah di zaman dinasti Abbasiyah, ia membuka pintu lebar-lebar bagi orang-orang Turki dan memberikan kedudukan dan posisi-posisi penting. Hak istimewa ini menjadikan mereka bisa berpartisipasi dalam menentukan kebijakan negara. Salah satu kepentingan al-Mu’tashim adalah memangkas pengaruh orang-orang Persia yang merupakan kaki tangan utama dalam admistrasi pemerintahan Abbasiyah sejak masa pemerintahan al-Makmun.
Perhatian al-Mu’tashim yang berlebihan terhadap orang-orang Turki ini telah memunculkan kebencian di kalangan masyarakat, khususnya kalangan militer yang tak jarang membuat al-Mu’tashim khawatir akan kemarahan yang akan muncul dari mereka. Oleh sebab itu, dia membangun sebuah kota baru yang bernama Samara, yang berjarak 1.24 km dari Baghdad sebagai tempat tinggal baru baginya, pasukan setianya, serta para pendukungnya.
Demikian, orang-orang Turki memulai sejarahnya dan mereka memainkan peran penting dalam sejarah Islam, hingga akhirnya mampu mendirikan sebuah pemerintahan Islam besar yang memiliki hubungan kuat dengan para khalifah Bani Abbas yang kemudian dikenal dengan kerajaan seperti Mamluk, Seljuk, dan Utsmani.