Abad 9 Masehi atau 3 Hijriyah bukan hanya menjadi saksi fenomena-fenomena menarik interaksi Islam-Kristen, namun juga turut menyaksikan perubahan-perubahan penting menyangkut kedudukan hukum dan sosial kalangan Kristen di bawah kekuasaan Islam. Sebelumnya, di bahwa pemerintahan Umar ibn Khattab, ia membuat perjanjian al-Uhda al-Umariyyah yang mengatur kehidupan kalangan Kristen di Jerussalem. Meskipun perjanjian itu terkesan lebih membatasi pergerakan kaum non-Muslim dibanding Piagam Madinah, namun pada tataran tertentu banyak sisi perjanjian yang relatif liberal terutama yang terkait dengan praktik agama Kristen dan Yahudi.
Akan tetapi, kebijakan Umar tersebut nampak berubah pada abad 9 M. Hal ini terlihat dalam kebijakan yang dibuat oleh khalifah ke-10 Daulah Abbasiyah, al-Mutawakkil pada 850 M. 235 H. Seperti yang diriwayatkan oleh al-Tabari, salah satu hukum tersebut terekam begini:
Pada 850 M/ 235 H, al-Mutawakkil bertitah bahwa kaum Kristen dan kaum dzimmi secara umum wajib memakai tudung kepala (thaylasan) berwarna kuning madu serta menggunakan sabuk khusus (zunnar); mereka harus menunggang kuda dengan pelana dari kayu beserta dua bola yang ditempelkan di belakang; menjahitkan dua kancing pada peci (qalansuwah) ketika mereka mengenakannya.
Dan mengenakan peci dengan warna yang berbeda dari yang dikenakan kaum Muslimin; menempelkan dua tambalan ke pakaian budak mereka dengan warna yang berbeda dari pakaian yang ditambal itu, satu tambalan ditempelkan di bagian dada dan satu lagi di punggung, dengan panjang masing-masing empat jari, dan keduanya berwarna kuning madu. Sorban yang mereka kenakan harus berwarna kuning madu.
Kaum wanita mereka yang keluar rumah dan muncul di depan umum mengenakan kerudung berwarna kuning madu. Dia juga memerintahkan agar budak mereka menggunakan sabuk khusus dan dilarang mengenakan ikat pinggang (minthaqa). Dia memerintahkan untuk menghancurkan gereja mereka yang baru dibangun dan mengambil sepersepuluh dari rumah mereka. Apabila tempat itu cukup luas, maka di sana harus didirikan masjid; jika tak cocok untuk dibangun masjid, tempat itu harus dijadikan tempat terbuka.
Dia memerintahkan untuk memasang simbol-simbol setan yang terbuat dari kayu di pintu rumah mereka sehingga rumah mereka bisa dibedakan dengan rumah kaum Muslimin. Dia melarang mereka bekerja di kantor pemerintahan dan dalam urusan resmi yang membuat mereka memiliki kekuasaan atas kaum Muslimin.
Dia melarang anak-anak mereka masuk ke sekolah Muslim atau orang Muslim mengajari anak-anak mereka. Dia melarang memperlihatkan salib dalam perayaan Paskah mereka, begitu pula peribadatan kaum Yahudi. Dia memerintahkan agar kuburan mereka itu dibuat rata dengan tanah sehingga tidak menyerupai kuburan kaum Muslimin.
Bagi kalangan Kristen dan Yahudi, kebijakan tersebut sangat menarik karena; pertama, ia sangat menekankan urusan pakaian. Kedua, ia memberikan perhatian pada kedudukan sosial dan pendidikan kaum Kristen. Sederhananya, kebijakan ini seolah bertujuan untuk menegaskan posisi kaum Kristen dan Yahudi sebagai warga negara kelas dua di dunia Islam. Mereka diposisikan lebih rendah dari sisi kedudukan sosial. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan, misalnya dalam bahasa modern, Hak Asasi Manusia.
Memang dalam sejarahnya, Islam pernah bersikap keras terhadap umat non-Islam di bawah kekuasaannya. Namun, harus diingat bahwa keadaan yang dialami kaum non-Islam tersebut tidak jauh berbeda dari pengalaman kaum non-Kristen yang hidup di bawah kekuasaan Romawi. Sebuah imperium yang menjadikan Kristen sebagai agama resminya pada abad keempat. Kalangan non-Kristen, termasuk Yahudi, dirugikan dan dianaktirikan dalam banyak hal termasuk dalam hal ekonomi.
Kebijakan khilafah di masa abad pertengahan ini kemudian menjadi sasaran empuk bagi para orientalis dalam menjatuhkan Islam. Misalnya, kecaman Yahudi yang diterbitkan dengan nama samaran Bat Ye’or (putri sungai nil). Ia memprotes diskriminasi dan absennya kesetaraan dalam pemerintahan Islam era abad pertengahan.
Baca Juga, Begini Relasi Islam-Kristen di Era Khalifah Al-Mutawakkil
Bagi ukuran pertengahan, pernyataan Bat Ye’or tidak bisa dibenarkan. Perlakuan kaum Muslimin terhadap kaum Kristen dan Yahudi relatif lebih liberal dan toleran meskipun dalam ukuran modern masih ada aspek-aspek yang diskriminatif. Perbandingan yang adil hanya dapat dilakukan dengan membandingkannya dengan komunitas abad pertengahan lainnya. Dan jika pada akhirnya dibandingkan, dunia Islam jauh lebih baik.