
Tulisan ini bisa dibilang berawal dari pengalaman pribadi penulis sendiri. Saat dalam perjalanan menuju sebuah lokasi acara, tiba-tiba hp saya mati. Karena perjalanan masih panjang dan ada kemungkinan untuk menggunakan smartphone lebih lama, maka saya putuskan untuk berhenti dahulu di masjid. Sembari melaksanakan salat Maghrib, saya berharap bisa menambah daya gawai saya ini.
Setelah tiba di masjid, saya melihat colokan listrik yang tak terpakai. Saya pun buru-buru mencolokkan adaptor charger handphone dan menyambungkan ke gawai yang layarnya bergambar baterai besar itu. Saya lalu salat dan membaca Al-Quran beberapa menit. Sesekali saya mengecek layar hp dan prosentase baterai yang telah terisi. Saya memang tidak berniat men-charge sampai full. Saya tentu akan menghabiskan waktu lebih lama jika ingin daya hp saya terisi penuh.
Setelah keluar masjid, saya tak lupa mengisi kotak amal yang telah disediakan pihak takmir. Tujuannya satu, selain bersedekah untuk masjid, juga mengganti biaya listrik yang telah saya pakai. Meskipun listrik masjid itu gratis dan bisa digunakan oleh jemaah, tapi tidak bisa asal digunakan sembarangan.
Saya teringat fatwa Syekh Ali Jumah terkait penggunaan fasilitas masjid, termasuk sapu, air, listrik, dan lain sebagainya. Meskipun fasilitas-fasilitas tersebut merupakan sumbangan atau wakaf dari orang lain, namun kita tidak serta merta bisa menggunakannya sembarangan. Menurut Syekh Ali Jumah, Rasulullah SAW sangat menjaga fasilitas masjid hanya untuk keperluan masjid, sebagaimana sabda Baginda SAW:
Hal ini juga selaras dengan pendapat yang disebutkan dalam al-Asybah wa an-Nadhair bahwa segala sesuatu yang menjadi inventaris masjid tidak boleh diambil atau asal digunakan jika tidak untuk keperluan masjid.
Di antara beberapa hukum masjid, diharamkan mengambil inventaris masjid, termasuk batunya, tanah, minyak, lilin. Sebagaimana disebutkan dalam Syarh al-Muhadzab
Oleh karena itu, berdasarkan hadis di atas, maka penggunaan fasilitas masjid yang tidak untuk kepentingan masjid, maka perlu ditinjau dan difikirkan ulang. Jika untuk kepentingan pribadi, maka bisa dihitung sebagai ghasab, yaitu menggunakan fasilitas tanpa izin. Karena biasanya saat menggunakan colokan masjid, apalagi masjid yang jauh dari rumah, tidak pernah minta izin kepada takmirnya. Kecuali jika darurat, semisal untuk beribadah membaca Al-Quran atau dzikir, dengan asumsi menggunakan aplikasi dari gawai, atau keadaan darurat lain. Namun jika digunakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat, apalagi untuk kesenangan pribadi, bahkan naudzubillah untuk sesuatu yang haram, seperti menonton film porno atau judi, maka bisa dihitung dosa.
Untuk berhati-hati, disarankan untuk membayar sejumlah uang yang disesuaikan dengan jumlah daya listrik yang telah diambil. Dikira-kirakan saja, kalau bisa dilebihkan agar lebih aman.
Dalam kitab Nihayatuz Zain disebutkan,
وعلى الغاصب رد وضمان تلف بأقصى قيمته من حين غصب الى تلف.
Wajib bagi orang yang ghasab membayar kerusakan (penggunaan) dengan nilai barang yang telah digunakan sampai rusak.
Memang saat kita menggunakan colokan di masjid tidak ada yang rusak, namun kita sejatinya telah mengambil daya masjid yang mungkin bisa saja digunakan untuk keperluan masjid lain, maka alangkah baiknya kalau kita mengganti itu, salah satunya dengan mengisi kotak amal masjid tersebut.
Masjid Menyediakan tempat Charge untuk Jemaah
Kita perlu apresiasi beberapa masjid yang memberikan fasilitas colokan charger untuk para jemaah. Dengan demikian, jemaah tidak ada potensi untuk menghosob barang milik masjid, termasuk listrik. Karena listrinya sudah diniatkan untuk memberikan fasilitas jemaah. Namun sebaiknya tetap digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat.
Wallahu a’lam.