Media sosial (disingkat medsos) adalah ruang terbuka bagi siapa saja untuk bercerita, sekedar curhat, berbagi ide atau mengupload foto-foto kegiataan keagamaan atau ibadah sekalipun. Singkatnya, medsos adalah belantara ragam kisah anak manusia di dalamnya.
Karena itu, kehadiran medsos telah mengubah pola gaya kehidupan beragama menyangkut ibadah dan ritual keagamaan sehari hari, lalu lalang postingan di medsos kita jumpai apakah sedang berbagi santunan, foto ekspresif di mimbar atau sedang seminar, bahkan sementara sedang menunaikan haji dan umrah sekalipun.
Saya sendiri kadang pada posisi itu, tapi dalam benak kerap bertanya untuk apa foto-foto ibadah, santunan yatim piatu, fose saat ceramah/seminar atau ibadah lainnya untuk diposting dan semua orang tahu? bukankah ibadah itu sifatnya personal, tak butuh orang lain tahu hanya diri kita sendiri dengan Tuhan?
Pertanyaan tersebut, bukan untuk menilai dan menghakimi setiap postingan ibadah seseorang itu tak baik, sekali lagi bukan persoalan itu, apapun bentuk ibadah itu menyangkut niat dan motivasinya dengan Tuhan.
Lalu problemnya apa dan mengapa ini penting direnungi? Paling tidak, jangan sampai kita terlampau larut dalam bermedsos dengan segala unggahan, tapi tak sadar telah kehilangan nilai dan buah ibadah. Mengapa? karena sedang menikmati pujian, komentar dan respon netizen. Sebab salah satu karakter yang dibentuk dari medsos bagi manusia ia akan merasa senang, bahagia atau bangga jika mendapatkan respon, komentar, pujian bahkan like yang makin banyak.
Jika terjebak atas pujian membuat diri menjadi merasa diri baik, tersanjung atas kebaikan dan ibadah yang dilakukan bukan tidak mungkin dapat merusak nilai atau pahala ibadah. Allah tegaskan laa tubthiluu shadaqaatikum bi al manni wa al adzaa (engkau jangan rusak nilai sedekahmu dengan menyebut dan menyakiti yang diberi). Menurut Imam Nawawi al-Bantani seseorang bisa rusak nilai pahala kebaikannya jika ia disusupi al mann yaitu perasaan bangga dan sombong. Atau menurut Ibnu Katsir engkau melakukan kebaikan dan mempublikasikan (istilah hari ini) pada manusia.
Warning dari Allah tersebut, mengingatkan saya pada riwayat Imam Muslim dan al-Nasai bahwa ada tiga kelompok yang dipersaksikan Allah pada hari kiamat, dua di antaranya orang berilmu dan dermawan. Jika dinarasikan dengan konteks medsos kurang lebih seperti ini: Allah bertanya famaa a’milta fiiha (apa yang engkau lakukan dengan nikmatKu di dunia), lalu dijawab aku belajar juga mengajar al-Qur’an, ceramah dan mengajar di berbagai tempat. Jawabnya, Tapi Allah menimpalinya kadzabta (engkau bohong), sebab bukan karena niat belajar, mengajar dan ceramah di mana-mana, tapi agar orang lain tahu engkau da’i hebat, penulis yang cerdas dan pengajar.
Lalu muncul kelompok kedua ditanya hal yang sama famaa a’milta fiiha (apa yang engkau lakukan dengan nikmatKu di dunia). Ia pun menjawabnya, tak lain gunakan dengan kekayaanku kecuali membantu anak yatim, selalu hadir dalam setiap donasi bencana dan lain lain. Lagi-lagi Allah menimpalinya kadzabta (engkau berbohong). Ia kemudian merenung, mengapa ibadah sedekahnya tak diterima oleh Allah, ia pun sadar bahwa ia mengunggah aktivitas sosialnya, tujuannya agar disebut sebagai orang yang jawwaad (dermawan) dan membangun pencitraan.
Alhasil, penegasan di atas tak bermaksud untuk menghakimi atas postingan kebaikan di medsos bahwa itu pecitraan atau riya (pamer), sangat bergantung pada personal masing-masing. Justru medsos di satu sisi tantangan dan peluang untuk menebar kebaikan, mencerahkan ummat dan mensyiarkan nilai nilai kemanusiaan pada sesama dan itu lebih efektif. Semoga medsos kita semua adalah surga kita semua.