Mengetahui barang yang dibeli adalah syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli. Yang dipersilisihkan itu caranya. Sebenarnya, cara mengetahui barang yang dibeli dan benar menurut syariat itu bagaimana sih? Apa cukup dengan memandangnya saja maka sudah bisa menggugurkan syarat mengetahui barang yang dibeli secara syariah? Bagaimana dengan orang yang buta kalau ingin memenuhi batasan “tahu” barang dagangan sehingga akad jual belinya sah? Jika mengetahui dibatasi dengan keharusan memandang, berarti jual belinya orang yang buta menjadi tidak sah. Aduh kasihan. Apa benar begitu?
Segudang permasalahan sering diajukan, karena ingin memperjelas kedudukan “melihat” (ru’yah) sebagai sarana tahu yang merupakan salah satu syarat jual beli. Ya wajarlah, mengingat yang sering disampaikan dalam banyak kajian adalah pembeli harus tahu barang yang dibelinya dengan diksi fikihnya sebagai ru’yah (melihat). Sarana untuk tahu umumnya bisa dilakukan dengan hanya memandang saja. Sementara itu penjual tidak boleh menyembunyikan cacat barang dagangannya. Klop, bukan? Tinggal pemahaman kita bagaimana menyikapi agar syarat tahu itu terpenuhi.
Ada sebuah penjelasan ringkas yang diusung oleh Syeikh Wahbah al-Zuhaily menyangkut batasan orang bisa disebut melihat.
أن الرؤية المقصودة ليست هي النظر بالعين خاصة، وإنما تكون في كل شيء بحسبه، وبالحاسة التي يطلع بها على الناحية المقصودة منه، فشم المشمومات، وذوق المطعومات ولمس ما يعرف باللمس، وجس مواطن السمن في شاة الذبح وإن لم ينظر لونها، وجس الضرع في شاة اللبن: يعد رؤية كافية في هذه الأشياء، وإن لم تشترك العين فيها، ولا يكفي النظر بالعين فقط كما أوضحنا تفصيله.
Artinya:
“Sesungguhnya yang dimaksud dengan melihat di sini bukanlah sekedar melihat dengan mata kepala semata, melainkan segala daya upaya yang mengarah ke pengertian melihat, misalnya dengan peran panca indera yang digunakan untuk mengenali bagian-bagian barang yang dimaksud, mencium untuk barang yang bisa dicium, mencicipi untuk makanan, meraba barang yang memang bisa dikenali dengan rabaan, menggoyang-goyang tempatnya lemak daging untuk kambing sembelihan khususnya jika tidak bisa dilihat warnanya, menggoyang-goyangkan bagian susunya manakala berurusan dengan kambing perah, dengan harapan menimbulkan kesan/gambaran yang cukup dalam semua hal yang telah disebutkan, meskipun mata tidak bisa disamarkan darinya, sehingga tidak cukup hanya dengan pandangan mata saja sebagaimana telah kami jelaskan rinciannya.” (al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islâmy wa Adillatuhu, Juz 4, Beirut: Dàr al-Fikr, tt.: 590).
Jika menilik dari keterangan ini, syarat mengetahui barang yang dibeli, meskipun menggunakan diksi melihat (ru’yah), ternyata tidak cukup dengan sekedar menggunakan ‘ain (mata) saja. Jika barang itu adalah berkaitan dengan rasa makanan (taste), sudah barang tentu rasa tersebut tidak bisa cukup dengan hanya dilihat. Harus mencicipinya, terkecuali kalau memang tidak umum, ya? Misalnya, beli nasi goreng di warung tepi jalan. Masa juga harus dicicipi dulu? Begitu juga membeli pisang goreng, tidak umum bila dicicipi dulu. Meskipun kadang memang benar, beli pisang goreng, tapi rasanya singkong. Ah masa iya?
Kalau yang dibeli berupa barang yang yasiir (sedikit) dan hanya berharga murah, kadang mengikut kaidah jual beli mu’athah adalah sarana yang paling maslahah. Tapi, kalau membelinya dalam skala besar, sudah pasti harus tahu sampelnya dulu (namûdzaj).
Intinya bahwa sarana tahu tidak hanya melulu dengan indera penglihatan saja. Indera peraba, pencium, pendengar dan perasa, bisa juga dimanfaatkan sebagai sarana untuk “tahu” tersebut.
Memasukkan panca indera sebagai bagian dari upaya mengetahui barang yang dibeli, sudah pasti akan melahirkan banyak maslahah, utamanya bagi penyandang disabilitas. Orang buta misalnya, ia bisa tahu barang yaang dibelinya, mungkin dengan jalan mendengarkan penjelasan sifat-sifat barang dari penjual, atau dari orang yang ditunjuk sebagai wakilnya. Menunjuk wakil untuk ru’yah adalah boleh sebagaimana sudah kita jelaskan terdahulu.
Adakah qaul ulama’ yang menjelaskan cara orang buta untuk mengenali barang yang dibeli dengan hanya mendengar penuturan orang lain tersebut? Syeikh Wahbah al-Zuhaily menyampaikan:
وكذا الأعمى يعد اطلاعه على هذه الأشياء التي تعرف بغير حاسة النظر رؤية كافية كإطلاع البصير يكتفي بالجس فيما يجس والذوق فيما يذاق والشم فيما يشم وأما ما يعرف بالنظر فوصفه للأعمى يقوم مقام نظره فإن اشترى الأعمى ثماراً على رؤوس الشجر فيعتبر الوصف لا غير في أشهر الروايات وإذا اشترى الأعمى داراً أو عقاراً فالأصح من الروايات أنه يكتفى بالوصف
Artinya:
“Demikian juga untuk orang buta, yang sarana mengetahui barang tidak dengan indera penglihat ini, diharuskan mengetahui semua hal yang berhubungan dengan barang yang hendak dibelinya ini dengan wasilah ru-yah secukupnya sehingga melahirkan kesan seperti melihat dengan mata. Jika berhubungan dengan barang yang harus diguncang cara mengenalinya, maka sarana ru’yah yang cukup adalah dengan mengguncang, mencicipi untuk hal yang harus dicicipi, membau untuk hal yang harus dibau.
Adapun untuk hal yang harus dikenali dengan jalan memandang, maka wakil yang menunjukkan sifat barang kepada pembeli yang buta adalah menduduki maqam melihatnya orang yang buta. Misalnya, orang yang buta ingin membeli buah yang masih ada di atas pohon, maka terhadapnya cukup disampaikan sifat-sifat dari buah tersebut, bukan yang lain. Thariqah ini merupakan thariqah yang paling masyhur. Demikian pula bila seorang pembeli yang buta ingin membeli sebuah rumah atau kebun, maka menurut thariqah yang paling masyhur ini, cukup baginya disampaikan sifat-sifat rumah atau kebun tersebut.” (al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islâmy wa Adillatuhu, Juz 4, Beirut: Dàr al-Fikr, tt.: 590).
Sebagai kesimpulan bahwa sarana untuk mengetahui barang yang dibeli tidak cukup dengan jalan memandang saja. Segala potensi bisa dikerahkan untuk memenuhi unsur tahu tersebut. Jika tidak mampu mengenali sendiri barang yang hendak dibeli, boleh menyuruh orang yang memiliki kualifikasi untuk memberitahu sifat barang. Hal ini secara langsung membawa maslahah bagi penyandang disabilitas kebutaan untuk tetap bisa melakukan akad muamalah jual beli, meski ia tidak bisa melihat.