Sudah dua tahun pandemi berjalan dan dilema-dilema kehidupan sudah mulai menampakkan fase yang lebih jauh. Di Sumatra Barat, MUI setempat menolak anjuran peniadaan selebrasi Idul Adha dengan alasan ada ketidak-adilan pembatasan yang dilakukan pemerintah terhadap kegiatan ekonomi dan kegiatan keagamaan.
Berbeda dengan kebijakan Kementerian Agama soal Idul Adha, MUI Sumatra Barat mengeluarkan maklumat untuk tetap merayakan Idul Adha dengan pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat.
Penolakan itu secara tidak langsung menyiratkan bentuk protes atas pilihan-pilihan dilematis yang selama ini telah menguras banyak energi. Persoalannya, energi siapa? Bagi kelompok beragama, pembatasan kegiatan keagamaan adalah menguras energi. Orang dituntut sabar untuk tidak berkerumun. Begitu juga pendidikan dengan kegiatan edukatifnya, dan perniagaan dengan jual-belinya. Namun bagi oligarki, matinya ekonomi nasional dan matinya bisnis-bisnis mereka, adalah menguras energi.
Paradoks muncul ketika tiba di sektor ekonomi menengah-atas. Objek seperti mall misalnya, jadi bulan-bulanan kelompok beragama karena tempat ini merepresentasikan kegiatan duniawi, sedangkan kegiatan akhirat, dibatasi. Situasi pandemi menarik orang atau kelompok pada benturan yang mungkin belum pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Sebagian ada yang pecaya bahwa semakin kita dekat dengan Allah (otomatis diiringi dengan semangat ibadah yang lebih rajin) maka semakin terhindar atau semakin cepat pandemi ini berakhir. Sebagian lain ada yang percaya bahwa, semakin kita taat dengan anjuran pemerintah dan pendekatan sains, maka semakin cepat pandemi ini selesai.
Apapun cara pandangnya, sah. Walaupun seseorang dapat mengatakan bahwa salah satu dari cara pandang itu terdengar egois, namun ketika pengalaman hidup sudah diwarnai oleh wafatnya orang terdekat, tutupnya mata pencaharian, dan beberapa orang ada yang curiga atas prosedur fasilitas kesehatan, maka memercayai salah satu dari cara padang itu tidaklah berlebihan secara psikologis, meskipun secara logika―entah itu logika moral ataupun logika material―dapat diperdebatkan sengit.
Akan tetapi, cara pandang apapun yang digunakan akan tetap tak signifikan kalau kedisiplinan dan konsistensi telah absen dari budaya suatu negara. Apa yang terjadi pada MUI Sumatra Barat adalah ekspresi kejengahan atas ketimpangan antara pemenuhan rohani dan pemenuhan jasmani (ekonomi). Hal ini juga dapat didebat sampai akar oleh banyak pihak dengan latar yang berbeda, soal seberapa jauh jenis ekonomi yang diperbolehkan.
Di fiqh pun aturan mainnya jelas: kalau sudah menyangkut hidup-mati, maka yang dipilih adalah opsi yang paling kecil bahayanya. Aturan fiqh mungkin banyak menuntut kedisiplinan dan konsistensi dalam menjalankan opsi yang dipilih. Namun aturan fiqh tetap bisa jadi lentur ketika ia tiba di suatu daerah dengan kultur optimisme toksik yang kental.
Berapapun angka kasus dan korban pandemi, kalimat “sesuai protokol kesehatan” adalah kata sakti baru yang dapat memberikan keamanan semu. Masalahnya hanya soal oleh siapa dan untuk apa kata ini digunakan. Di tahun 2020, petinggi gugus tugas penanganan covid-19, Wiku Adi WIcaksono menggunakan kata sakti ini untuk membuka bioskop. Menjelang Idul Adha 2021, MUI Sumatra Barat pun menggunakan kata sakti yang sama.
Namun apapun polemiknya, pandemi di Indonesia mirip dengan eksperimen massal yang belum pernah diuji sebelumnya: manakah yang akan mengentaskan pandemi? Seribu doa yang konsisten namun tanpa kebijakan yang konsisten? Atau kebijakan yang konsisten tanpa seribu doa yang konsisten? Idealnya, kebijakan dan doa sama-sama konsisten. Namun kita dapat menilai mana yang terjadi di Indonesia. Tentu, pasca-pandemi ini akan ada banyak orang yang mengalami redefinsi tentang apa itu iman, materil, dunia, akhirat, agama, pemerintah, dan lain sejenisnya.
Akan tetapi, benturan pandangan tersebut terlalu dikotomis. Pada kenyatannya, ada aspek lain seperti perilaku (behavioral) atau budaya. Di tengah pasang surutnya kedisiplinan dan konsistensi (meski fase surut lebih lama dibanding fase pasang) di ranah apapun, dan di tengah mayornya jumlah umat Islam di Indonesia, mungkin tidak ada yang lebih baik selain memberikan tauladan kedisiplinan dan konsistensi ketika pihak elit sering menauladankan ucapan dan praktik yang berbeda.
Tanpa mengurangi kesakralan Hari Raya Idul Adha, kiranya bukan hal yang sulit kalau dengan tetap dirumah dan libur solat Ied sebentar, dapat menyelamatkan nyawa banyak orang. Santai aja, Gusti Allah sampun ngerti~