Pekikan suara takbir terdengar bersahut-sahutan di Sintang, Kalimantan Barat beberapa waktu lalu. Gema takbir itu menjadi jargon semangat yang mengiringi tragedi perusakan bangunan dan tempat ibadah umat Ahmadiyyah oleh massa di sana. Mengutip laporan CNN Indonesia, Masjid Miftahul Huda di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat dirusak oleh massa pada Jumat (3/9) siang. Sebelumnya, masjid tersebut merupakan tempat ibadah yang digunakan oleh Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) setempat.
Ditengarai, perusakan bangunan tersebut merupakan buntut dari penyegelan sementara masjid oleh pemerintah kabupaten Sintang sejak 14 Agustus 2021 hingga akhirnya ditutup secara permanen melalui surat edaran yang keluar pada 27 Agustus 2021. Yendra Budiana, Juru bicara JAI di sana, mengatakan bahwa surat edaran penutupan masjid tersebut muncul atas dasar desakan dari massa yang mengatasnamakan aliansi umat Islam.
Tragedi ini sepertinya bakal menambah daftar panjang kasus intoleransi di Indonesia. Ironisnya, pihak yang seringkali bertanggungjawab atas persekusi semacam ini adalah mereka yang mengatasnamakan Islam.
Jika ditelisik, persekusi terhadap Ahmadiyyah sudah terjadi berseri-seri. Pada 2018 lalu, terjadi persekusi Ahmadiyyah di NTB. Lebih gasik, persekusi juga terjadi di Cikeusik, Pandeglang, Banten pada 6 Februari 2016 yang menewaskan tiga penganut Ahmadiyyah. Di tahun yang sama, tepatnya pada 23 Mei 2016, masjid Ahmadiyah di Desa Purworejo, Kendal, dirusak warga, dan masih banyak pelanggaran lainnya.
Pertanyaannya adalah mengapa justru “umat” Islam yang menjadi momok bagi kesejahteraan kehidupan beragama di Indonesia? Pertanyaan retorik memang, namun penting untuk menjadi bahan evaluasi bagi kita bersama.
Untuk menjawabnya, kita perlu menyadari bahwa status Islam sebagai agama mayoritas bukan semata-mata menjadi nilai positif bagi masyarakat Islam di Indonesia. Hal itu karena superioritas ini rentan dieksploitasi oleh oknum-oknum yang mengatasnamakan Islam untuk memecah belah masyarakat.
Eksploitasi tersebut tercermin salah satunya dalam kasus perusakan tempat Ibadah di Sintang. Perusakan tersebut, secara implisit, telah melanggar dua hal fundamental. Pertama, dalam konteks legal, mereka yang mengaku merusak properti Ahmadiyyah atas dasar membela Islam pada kenyataannya telah menghianati amanat konstitusi tentang larangan untuk menghalang-halangi seseorang untuk melaksanakan kegiatan ibadah yang dilakukan di tempat ibadah yang tertera dalam pasal 175 KUHP.
Jika kasus ini terus berlanjut di masa yang akan datang, umat Islam bisa dicitrakan sebagai umat yang tidak taat hukum akibat ulah oknum yang tak henti-hentinya melakukan pelanggaran. Lagi-lagi, dengan status sebagai agama mayoritas, citra itu tidak boleh terjadi, karena bagaimanapun Islam sudah menjadi identitas Indonesia. Tidak menutup kemungkinan, citra Islam yang kurang baik akan berpengaruh terhadap cara pandang dunia terhadap Indonesia sebagai negara yang religius.
Ajaran Ahmadiyyah yang bertolak belakang dengan ajaran Islam secara umum merupakan sesuatu yang bisa diperdebatkan. Masalahnya adalah bahwa bangsa Indonesia tidak terbiasa dengan perbedaan perspektif. Literasi yang kurang merupakan sebab utama mengapa kita selalu menggunakan kaca mata kuda dalam melihat sesuatu. Ini juga yang kemudian melahirkan sikap fanatisme dalam hal keberagamaan di Indonesia. Sikap inilah yang kurang lebih bisa menjawab mengapa persekusi di Indonesia seperti tidak ada hentinya.
Dalam hal ini, Jaringan Gusdurian merespon dengan tegas bahwa tokoh agama setempat hendaknya mengedukasi umatnya untuk menjaga semangat keberagaman sebagai sunnatullah. Kebijakan Pemerintah Indonesia yang telah mendorong berbagai langkah moderasi beragama guna menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih harmonis perlu didukung oleh semua pihak, terutama para tokoh agama
Kedua, dalam konteks etis, para persekutor itu telah merusak nilai-nilai perdamaian dalam Islam. Mereka tidak sadar bahwa tidak ada satupun dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang melegitimasi aksi mereka. QS. al-Furqan [25]: 63, justru menegaskan sebaliknya,
وَعِبَادُ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى ٱلْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ ٱلْجَٰهِلُونَ قَالُوا۟ سَلَٰمًا
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa jikapun kita bertemu dengan orang yang bertentangan dengan keyakinan kita, maka tetaplah bersikap baik. Dalam Tafsir al-Qur’an Tematik tentang Hubungan Antar Umat Beragama, disebutkan bahwa Allah menggunakan kata singular “salam”, yang berarti damai, yakni bebas dari ketakutan, kecemasan, serta bebas dari tindakan kekerasan.
Menurut Gus Dur, persekusi yang sering dilakukan oleh oknum umat Islam salah satunya disebabkan oleh pendangkalan agama dari kalangan umat Islam sendiri, terutama angkatan mudanya. Umumnya mereka hanya memahami interpretasi keagamaan secara tekstual, namun pemahaman terhadap substansi ajaran masih lemah.
Tulisan ini, selain sebagai bahan evaluasi, juga sebagai pengingat bahwa kita jangan jumawa dengan status Islam sebagai mayoritas. Kita harus menyadari bahwa sebagai agama dominan, Islam mampu mengontrol diskursus yang terjadi di masyarakat.
Oleh karena itu, jadilah agen Islam yang berintegritas sehingga kita bisa mendengungkan wacana yang mendamaikan, bukan meresahkan. Wacana untuk saling menghormati bukan menghakimi, wacana untuk saling mengayomi bukan mempersekusi.
Wallahu a’lam bis showab