Sebagaimana diketahui, bahwa ibadah puasa tidak hanya terbatas puasa wajib di bulan Ramadhan, melainkan juga terdapat puasa-puasa sunnah yang bisa dikerjakan pada hari-hari yang tidak termasuk hari yang dilarang untuk berpuasa. Di antara berbagai puasa sunnah tersebut adalah puasa sunnah enam hari di bulan Syawal.
Puasa enam hari di bulan Syawal memiliki keutamaan yang luar biasa. Dalam sebuah hadis, dari sahabat Abu Ayyub al-Anshari bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan kemudian melanjutkan berpuasa enam hari di bulan Syawal, ia seperti berpuasa selama setahun.”
Berdasarkan hadis tersebut, terjadi perbedaan pendapat dalam memaknai kata أَتْبَعَهُ (melanjutkan). Sebagaimana dinyatakan oleh Yusuf al-Qardhawi dalam Fiqh as-Shiyam, Satu pendapat menyatakan bahwa maksud dari kata tersebut adalah pada hari setelah hari raya, karena merupakan lanjutan dari hari terakhir di bulan Ramadhan (tanpa menghitung 1 syawwal karena diharamkan berpuasa). Sehingga, menurut pendapat ini, puasa enam hari bulan Syawal dikerjakan mulai tanggal 2 Syawal secara beruntun hingga tanggal 7 Syawwal.
Sedangkan, pendapat lainnya menyatakan bahwa maksudnya adalah bulan Syawal itu sendiri, yang mana merupakan lanjutan dari bulan Ramadhan. Sehingga, menurut pendapat ini, puasanya dapat dilakukan pada semua hari di bulan Syawwal tanpa harus dikerjakan secara beruntun. (Al-Qardhawi, Fiqh as-Shiyam, h. 139)
Penulis menilai pendapat kedua lebih mudah dipraktekkan di Indonesia yang memiliki budaya silaturrahmi pada hari raya idul fitri yang biasanya berlangsung hingga beberapa hari awal di bulan Syawal. Mengingat biasanya tuan rumah menyuguhkan makanan, sehingga tidak elok rasanya jika ‘mengabaikan’ suguhan yang telah disajikan hanya karena sedang berpuasa sunnah.
Yang menarik adalah, puasa enam hari bulan Syawal justru dihukumi makruh oleh Imam al-Nawawi. Al-Qardhawi menjelaskan bahwa alasan yang digunakan adalah adanya kekhawatiran akan munculnya keyakinan di tengah kalangan umat bahwa enam hari itu merupakan bagian dari Ramadhan, yang membuat mereka mewajibkan pada diri mereka untuk berpuasa, serta menentang siapa saja yang meninggalkannya. (Al-Qardhawi, Fiqh as-Shiyam, h. 140)
Namun, kekhawatiran al-Nawawi dapat diantisipasi salah satunya dengan melakukan “sosialisasi” bahwa puasa enam hari bulan Syawal adalah sunnah, bukan wajib. Sehingga, tidak akan terjadi lagi kesalahpahaman terkait hukum puasa Syawal. Wallahu a’lam.