Dalam ajaran Islam ditemukan istilah hablun minallah dan hablun minannas. Menurut sebagian orang, kedua istilah ini memiliki pengertian bahwa seorang muslim seharusnya menjalin hubungan baik dengan Allah dan hubungan baik dengan manusia. Oleh sebab itu. kedua istilah tersebut merupakan satu paket utuh yang tidak boleh dipisahkan. Dari sini lah, saya menyebut hablun minallah dan hablun minannas dengan istilah keberagamaan dan kemanusiaan, sebagaimana nanati akan dijelaskan dalam buku Habib Ali al-Jufri..
Sayangnya, saat ini hubungan keberagamaan dan kemanusian menjadi terpisah. Keduanya dianggap berbeda dan tak memiliki keterkaitan apapun. Hal inilah yang menjadi problem mendasar masyarakat beragama kita. Keberagamaan dibangun dengan mengabaikan sisi kemanusian. Antara agama dan kemanusiaan tidak selaras.
Sehingga tidaklah mengherankan jika ada sebagian kelompok beragama Islam yang mengatasnamakan agama dan menggunakan jargon agama menabrak serta menggilas nilai kemanusian. Secara prinsipil, tentunya hal tersebut bertentangan dengan ajaran agama Islam itu sendiri. Islam hadir dengan misi mewujudkan kebahagian manusia, baik kehabagian di dunia maupun di akhirat.
Problem tersebut lah yang mendasari ditulisnya buku al-Insaniyyah Qabla Tadayyun, sebuah kumpulan tulisan yang disajikan dengan gaya yang ringan dan mudah dipahami karya al-Habib Ali al-Jufri.
Buku al-Insaniyyah Qabla Tadayyun sendiri dialihbahasakan ke bahasa Inggris dengan judul Humanity Before Reliogiosity. Lewat versi bahasa Inggris inilah penerbit Naura mengalihbahasakannya ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Kemanusian Sebelum Keberagamaan.
Kendati keberagamaan dan kemanusiaan harus berjalan beriringan, namun menurut Habib Ali Jufri dalam buku tersebut bahwa sisi kemanusiaan harus lebih diunggulkan atau didahulukan daripada sisi keberagamaan. Perlu diketahui, tokoh humanis ini menyebutkan kemanusian yang mendahului keberagamaan, bukan kemanusian yang mendahului agama. Sebab istilah keberagamaan dan agama memiliki makna yang berbeda.
Baca juga: Keberagamaan Masa Depan Indonesia
Pendapatnya mengenai keberagamaan dan kemanusian ini didasari oleh hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, yaitu:
Suatu hari, seorang pria datang ke Makkah pada awal dakwah Nabi. Dia pernah mendengar kabar tentang Nabi, lalu mencarinya. Saat bertemu dengan Nabi, dia langsung bertanya.
“Siapa engkau?”
“Saya pembawa pesan Allah,” jawab Nabi.
“Siapa yang mengirimmu?”
“Allah yang Mahakuasa”
“Pesan apa yang engkau bawa dari-Nya?”
Nabi menjawab, “Menjunjung ikatan kekeluargaan, mencegah pertumpahan darah, menjadikan jalan-jalan aman, menghancurkan berhala dan hanya menyembah Allah tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain.”
Pria tersebut berkata, “Pesan yang engkau bawa sungguh hebat! Dengan ini saksikanlah bahwa saya percaya padamu, dan saya percaya bahwa apa yang kaukatakan adalah benar.” (halaman. 174).
Ada banyak pelajaran yang terkandung dari hadis ini, namun yang paling mencolok adalah ketika Nabi ditanya, “Pesan apa yang kau bawa dari-Nya?” Nabi menjawab dengan mendahulukan tiga hal sebelum menyebut tauhid:
Pertama, menjalin hubungan baik tali persudaraan agar tercipta kedamaian dan kerukunan dalam keluarga dan masyarakat.
Kedua, mencegah pertumpahan darah, yang berarti menjamin hak hidup bagi setiap manusia.
Ketiga, menjadikan jalan-jalan aman, yang berarti menciptakan rasa aman bagi semuanya.
Setelah ketiga hal tersebut, barulah Nabi menyebut menghancurkan berhala, dan menyembah Allah.
Oleh sebab itu, menurut Habib Ali dibutuhkan hati yang jernih dalam menjalankan keberagamaan. Hati sendiri adalah tempat iman. Tanpa adanya hati, iman tidak bisa dibangun dengan kokoh. Hati yang buruk juga akan menghasilkan perilaku yang jelek.
Hati akan menemukan ketenangan jika sesuai dengan ajaran-ajaran Nabi di atas, yang secara alami sesuai dengan fitrah manusia, yakni memiliki rasa perikemanusian.
Mengenai perihal tersebut, Habib Ali dalam bukunya ini memberikan penjelasan bahwa seseorang bisa jadi mengira imannya sudah kuat, namun jika ia mengabaikan hubungan kemanusian, kesucian hidup manusia, dan kesejahteraan masyarakat, maka keimanannya dibangun di tepi jurang yang runtuh dan mudah roboh saat terkena cobaan. (halaman. 172).
Sikap welas asih yang bersumber dari hati manusia ini juga akan menghantarkan seseorang ke dalam kebahagiaan. Seorang perempuan tuna susila yang memberikan air kepada seekor anjing yang kehausan akan diampuni oleh Allah, karena hatinya yang penuh welas asih. Sebaliknya seorang wanita yang mengunci seekor kucing di kandang sampai hewan itu mati kelapan mendapatkan murka dari Tuhan yang Maha Penyayang.
Walhasil melalui buku ini, Habib Ali al-Jufri menekankan bahwa dalam hal keberagamaan dan kemanusiaan, jika keberagamaan dijalani dengan mengabaikan sisi kemanusian tidak akan mempunyai makna.
Disajikan dengan gaya populer, santai, dan ringan, buku ini menyajikan pemikiran dan perenungan Habib ‘Ali dalam menjawab berbagai macam isu, khususnya tentang kemanusian.
Cara pandang terhadap tradisi Islam dan pengamalan pribadi penulisnya, menjadikan buku ini memiliki persepektif yang luas dan relevan melampaui masa dan zamannya. Hal inilah yang menurut saya sebagai kelebihan tersendiri dari buku ini. (AN)
Waallahu ‘alam.
Judul Buku: Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan
Penulis: Habib Ali al-Jufri
Penerjemah: Putra Nugroho
Penerbit: Noura Books (PT Mizan Publika)
Tahun: Cetakana ke 1, September 2020
Tebal: 372 halaman
ISBN: 978-623-242-074-8