Bagaimana Orang Biasa Membumikan Ajaran Langit?

Bagaimana Orang Biasa Membumikan Ajaran Langit?

Keberagamaan orang biasa adalah keberagamaan yang tulus, arif, dan berdasarkan akal sehat. Ia tidak kaku, eksklusif, tertutup, dan arogan.

Bagaimana Orang Biasa Membumikan Ajaran Langit?

 

Perdebatan tentang agama beberapa bulan ini mendapatkan perhatian besar di ruang publik, khususnya di media sosial. Perdebatan semakin memuncak tatkala berbarengan dengan momentum pilkada. Lihat saja kasus Pilkada DKI Jakarta yang berlangsung kemarin.

Tidak sedikit dari kita yang jengah, bahkan bosan sebab pada akhirnya perdebatan itu hanya berujung pada saling menyalahkan, menyudutkan, bahkan satu sama lain saling meng-kafir-kan. Jujur, saya tak nyaman memakai diksi “kafir”, tapi mau gimana lagi, itulah yang kita dengar dan kita saksikan dalam berbagai ruang publik. Oleh karena itu, saya merasa penting untuk mendiskusikan kembali agama dalam perspektif orang biasa yang saya dapat dari hasil bacaan buku kecil tapi keren, karangan intelektual muda NU, Umarudin Masdar.

Namun sebelumnya ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan sebelum membaca lebih jauh pembahasan dalam buku ini. Pertama, kita akan membicarakan tentang pemahaman agama orang biasa, bukan pemahaman agama orang yang egois, frontal, elitis, dan arogan. Kedua, usaha ini adalah bagian dari upaya untuk menempatkan agama pada tempatnya, sebab selama ini oleh sebagian orang agama sudah direduksi sedemikian rupa menjadi hal yang menakutkan, menyeramkan dan bahkan menjadi sumber konflik antar manusia. Sesuatu yang sebenarnya tidak diinginkan oleh agama itu sendiri. Setelah kedua hal tersebut dipahami barulah kita bisa mendiskusikan agama dalam perspektif orang biasa.

Pertanyaan yang mendasar, bagaimana orang biasa menempatkan dan memfungsikan agama? Dalam buku ini dijelaskan, bagi orang biasa, agama lebih dilihat sebagai “cara” atau “alat” untuk mencapai tujuan, yaitu kebahagian hidup yang hakiki, ketenangan dan kepuasan hati, sehingga agama bukan tujuan itu sendiri. Karena bukan tujuan itu, maka orang biasa berbeda-beda dalam memahami dan mengekspresikan keberagamaannya.

Agama bagi orang biasa lebih dihayati dan dimaknai sebagai urusan hati yang ketika hati orang sudah terikat pada keyakinan akan adanya Tuhan, maka sudah cukuplah agama itu menjadi urusan dan penghayatan pribadinya. Orang lain tidak punya hak untuk ikut campur, apalagi mengintervensi kepercayaannya.

 

Memahami Agama Orang Biasa

Agama orang biasa adalah agama orang-orang kebanyakan yang dalam memahami agama tidak sebatas pada masalah-masalah normatif-ritual-simbolik dari agama, seperti puasa, shalat, jilbab, haji, dsb., tetapi lebih substantif, yaitu agama sebagai keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Kuasa, dan mereka sepenuhnya Iman kepada-Nya. Orang biasa adalah mereka yang realistik dalam beragama, menganggap agama sebagai sebuah keyakinan dan keimanan yang hidup dalam hati dan menjadi inspirasi teologis yang mampu mentransformasikan keyakinan transendentalnya dalam manifestasi aktual berupa perbuatan baik (amal saleh).

Perlu diperhatikan, dalam buku ini disebutkan tidak menggunakan metodologi karena memang buku ini bukan karya ilmiah. Buku ini murni hasil dialektika dan pengalaman penulis dengan realitas sosial kehidupan yang pernah ia jalani.

Umarudin Masdar mendefinisikan “Tanpa metodologi” adalah sebuah preferensi yang lahir dari kesadaran bahwa pendekatan-pendekatan mainstream dalam pemikiran Islam selama ini, seperti fiqih klasik di kalangan kiai atau pendekatan rasionalisasi teks suci yang biasa dipakai oleh intelektual Islam modernis dan liberal, pada kenyataanya tidak mampu menerjemahkan dan menjelaskan perilaku dan fakta keberagamaan orang-orang biasa.

Pendekatan itu selalu terjebak dalam klaim kebenaran dan bias kelas. Karena dibalik pendekatan itu ada pengandaian dari alam bawah sadar bahwa hanyalah kelas terdidiklah yang mampu memahami secara benar dan utuh (misalnya kaum intelektual, kiai, ustadz, dai, dsb) dan kelas lain yang jumlahnya sangat besar dianggap memahami agama secara sempit, dan tanpa ilmu.

Akibatnya terjadi kesenjangan kelas dalam kehidupan beragama yang berujung lahirnya nalar imprealisme dalam pemikiran agama. Suatu nalar yang dibawa oleh sekelompok orang yang merasa dirinya lebih baik, superior, benar, mulia dan menjadi umat terpilih, dan kerena itu mereka mempunyai kewajiban untuk berdakwah dan menyampaikan kebenaran dan memaksa orang lain untuk mengikutinya.

Padahal jelas tidak ada paksaan dalam agama, karena agama adalah urusan keyakinan dalam hati. Adalah hak penuh semua manusia untuk beragama dan juga haknya untuk beragama sesuai dengan kepercayaan dan pemahamannya tentang agama yang dianutnya.

Tidak ada orang, institusi agama (Depag, kiai, ustadz, dsb) atau negara yang bisa memaksa seseorang untuk beragama atau menjalankan ajaran tertentu dalam agama. Agama sepenuhnya merupakan hak dan otonomi individu. Tugas kiai atau ustadz adalah menyebarkan agama atau membimbing umat, tetapi tidak ada paksaan atau kewajiban bagi umat untuk mengikuti kiai atau ustadz. Apalagi sampai menggunakan cara kekerasan. Pada akhirnya, semuanya dikembalikan kepada otonomi dan hak individu tadi. Seseorang bebas memilih agama dan bebas melaksanakan ajaran agama yang diyakininya.

Umarudin Masdar menyebutkan ada dua model keberagamaan yang oleh seseorang atau sekelompok orang diekspresikan dalam kehidupan sehari-hari. Model pertama keberagamaan elitis dan kedua keberagaam populis.

Keberagamaan elitis adalah cara melaksanakan ajaran agama dengan menomorsatukan aspek eksoterik, formal, hukum atau simbol (yang semuanya diatur dalam syariah agama) dari agama yang dianut.

Paradigma yang digunakan adalah agama untuk agama. Agama adalah tujuan dari kehidupan dan kerena itu ia harus mencakup semua aspek kehidupan manusia.

Contoh, sering kita mendengar ungkapan atau istilah bahwa muslimah yang taat adalah yang memakai jilbab. Pendapat ini tidak salah karena ini murni hasil tafsir agama. Namun apakah benar di situlah letak ketaatan agama? Karena hal yang simbolis belum tentu merepresentasikan sebuah ketaatan yang sejati.

Keberagamaan populis adalah suatu model keberagamaan yang dianut mayoritas umat Islam sendiri. Keberagamaan populis ditandai dengan kecendrungan untuk mengedepankan substansi dari ajaran agama, dimensi esoterik dari agama itu sendiri. Paradigma yang digunakan adalah agama untuk manusia (kemanusiaan), dan kerena untuk manusia, maka agama bukan tujuan tetapi cara untuk mencapai tujuan, yaitu kesejahteraan hidup dan keridhaan Ilahi. Keberagamaan populis adalah keberagaman orang biasa.

Agama untuk manusia mempunyai dua cakupan. Pertama, agama adalah untuk diri sendiri. Kedua, agama untuk kemanusiaan. Dua cakupan ini mengandung arti bahwa agama bukan untuk agama itu sendiri! Mengapa? Karena sesungguhnya keberagamaan itu merupakan konstruksi sosial. Keberagamaan merupakan proses dialog panjang antara pemahaman seseoarang terhadap teks-teks agama sebelum akhirnya lahir suatu keyakinan dan keimanan itu tumbuh seiring dengan perkembangan manusia sebagai mahluk sosial. Karenanya, keyakinan itu dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial di mana ia hidup.

Kesimpulannya, agama orang biasa adalah suatu ekspresi atau model keberagamaan yang lahir dari mereka yang mampu mentransformasikan iman yang transhistoris, transenden dan supra-empiris dalam manifestasi amal shaleh yang bersifat historis dan empiris.

Keberagamaan orang biasa adalah keberagamaan yang tulus, arif, dan berdasarkan akal sehat. Ia tidak kaku, eksklusif, tertutup, dan arogan. Sebaliknya ia sangat terbuka, rendah hati, inklusif, moderat, toleran, penuh sangka baik, dan tanggung jawab serta punya komitmen besar pada kemanusian.

Ketika kita dalam beragama seperti orang biasa, maka akan lahir tindakan etis yang mewujud dalam beberapa sikap.

Pertama, tidak akan pernah menganggap bahwa kemajemukan bangsa, termasuk dalam kemajemukan agama sebagai ancaman, tetapi mensyukurinya sebagai sunnatullah atau keharusan sejarah yang memiliki makna positif dan produktif.

Kedua, tidak akan canggung, apalagi terusik dengan orang yang berbeda agama. Kita akan hidup damai berdampingan dengan semua orang dalam perbedaan agama dan keyakinan.

Ketiga kita tidak akan mudah terpengaruh oleh provokasi orang-orang yang cenderung mengedepankan simbol-simbol dalam melaksanakan ajaran agama.

Keempat, kita akan selalu berusaha mencari kebenaran, di mana pun datangnya kebenaran itu, baik dari agama sendiri maupun agama lain.

Kelima, kita akan toleran dan terbuka dalam beragama.

Ketika sikap diatas sudah ditunjukkan dalam keberagamaan kita, kita akan tenang dalam beragama dan akan menebar kebaikan kepada seluruh umat manusia. Mengutip pesan Gus Dur, Allah yarham, tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukukan sesuatu yg baik untuk semua orang, orang tidak akan tanya apa agamamu.

Wallahualam bishowab

*) Romel Masykuri, Alumni UIN Sunan Kalijaga Jogja. Saat ini sedang menempuh Program Pascasarjana Ilmu Politik di Universitas Airlangga, Surabaya.

Info Buku

Judul Buku      : Agama Orang Biasa

Penulis            : Umarudin Masdar

Penerbit          : KLIK.R, Jogjakarta

Cetakan          : I, 2001