Ada salah satu kisah menarik yang tertuang dalam kitab al-Kawakib al-Durriyyah fi Tarajim al-Sadat al-Sufiyyah (atau biasa disebut Thabaqat al-Munawi al-Kubra), karya Syaikh al-Imam Abdurrauf al-Munawi. Kisah itu bercerita tentang Sarri al-Saqathy.
Suatu ketika, Sarri al-Saqathy berada di suatu gunung. Di sana, ia mendapati rerumputan. Dari rerumputan itu, ia melihat ada air yang keluar. Ia kemudian mengambil beberapa potong rerumputan itu dan memakannya. Ia pun juga minum dari air yang keluar dari rumput itu.
Setelah itu, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Jika aku harus makan hari ini, maka cukuplah kali ini saja aku makan.”
Tak lama kemudian, ia mendengar ada suara yang berkata kepadanya, “Kekuatan atau tenaga yang bisa mengantarmu sampai ke tempat ini tadi dari mana?”
Ia lantas pulang ke rumahnya dan menyesali apa yang ia lakukan tadi (makan dan minum). Subhanallah.
(Pertanyaan di atas merupakan teguran kepada Sarri al-Saqathy yang sebenarnya masih kuat untuk berjalan dan beraktifitas tanpa tambahan asupan makanan lagi, namun ia tetap makan dan minum. Jika dilanjutkan, maka kalimat di atas kira-kira akan menjadi, “Kekuatan atau tenaga yang bisa mengantarmu sampai ke tempat ini itu dari mana? Bukankah kamu masih memiliki tenaga untuk pergi ke sini tadi? Mengapa sekarang kamu makan lagi?”).
Lewat kisah di atas, kita bisa membaca betapa amat hati-hatinya para ulama dulu. Mereka tidak makan jika tidak benar-benar lapar. Makanan, bagi mereka, hanyalah sarana untuk menguatkan diri dalam melakukan ibadah kepada Allah. Jika tanpa makan dan minum pun, mereka masih kuat dan bertenaga, maka mereka tidak akan makan. Mereka sangat menghindari makan dan minum karena keinginan (syahwat).
Imam Ghazali dalam kitab Bidayatul Hidayah menyebutkan tujuh efek samping makan jika seseorang makan terlalu kenyang, yaitu: 1) mengeraskan hati; 2) merrusak kecerdasan fikiran; 3) melemahkan daya hafalan dan ingatan; 4) membuat malas melaksanakan ibadah; 5) membuat malas belajar; 6) membuat syahwat semakin tinggi; 7) membantu prajurit-prajurit setan bangkit.
Syaikh Nawawi al-Bantani dalam kitab Maraqi al-Ubudiyyah menjelaskan bahwa maksud dari “prajurit-prajurit setan” itu ada sepuluh, yaitu zalim, khiyanat, kufur, tidak amanah, adu domba, munafik, menipu, ragu kepada Tuhan, melanggar aturan agama, lupa terhadap sunnah Nabi Muhammad Saw.
Untuk ukuran zaman ini, agaknya sulit—untuk tidak mengatakan mustahil—ada orang yang bisa mengikuti tindak lampah (perbuatan) para salafusshalih secara totalitas yang tidak makan dan minum melainkan hanya untuk menambah energi saja agar kuat beraktifitas/beribadah atau tidak makan dengan kenyang. Jika pun ada, tentu tak banyak jumlahnya.
Meski demikian, kita juga tidak dibenarkan tidak meniru mereka sama sekali. Kita tetap harus meniru mereka, meski hanya seberapa persennya saja. Bagaimana caranya? Kita tetap makan dan minum “semau” kita asalkan setelah itu juga melakukan ibadah dan atau aktifitas positif yang sepadan dengannya. Dengan kata lain, berani makan banyak, berarti berani beraktifitas banyak pula.
Dalam Al-Qur’an ada beberapa ayat yang membahas tentang makan, salah satunya adalah ayat berikut ini:
“Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah Kami berikan kepadamu, dan janganlah melampaui batas padanya, yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barangsiapa ditimpa oleh kemurkaan-Ku, maka sesungguhnya binasalah ia” (QS. Thaha [20]: 81)
Ayat di atas, dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, karya Fakhruddin al-Razi, dijelaskan bahwa perintah makan itu bukanlah perintah wajib, namun hanya sekadar pembolehan saja (ibahah).
Sedang untuk kalimat “…dan janganlah melampaui batas padanya…”, al-Razi menyebutkan tiga pendapat ulama dalam tafsirnya. Salah satunya adalah pendapat al-Kalbi yang mengatakan bahwa potongan ayat ini menjelaskan tentang larangan untuk mengkufuri nikmat (yakni menggunakan nikmat-nikmat pemberian Allah untuk melanggar aturanNya); larangan untuk tidak bersyukur; dan larangan agar tidak berpindah dari yang halal menuju yang haram.
Dari penjelasan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa tidak masalah seseorang makan dan minum dalam jumlah banyak dan kenyang, asalkan tidak sampai mengkufuri nikmat dan tidak menggunakan kekenyangnnya tadi untuk melanggar perintah Allah.
Semasa penulis nyantri dulu, sang kiai pesantren melarang para santri untuk berpuasa, jika puasa itu bisa mengganggu kegiatan belajar/ngaji mereka. Bahkan, sang kiai pun tak segan menganjurkan saya dan kawan-kawan untuk makan dan minum dalam jumlah banyak (kenyang), asalkan setelah itu, ngaji dan belajarnya juga rajin.
Jadi, makanlah sekadar agar hidup, bukan hidup untuk makan. Wallahu a’lam.
BACA JUGA Anjuran Rasulullah tentang Etika Makan Atau Kisah-kisah Menarik Lainnya di Sini