Perdebatan tentang bentuk negara pasca kemunduran umat Islam di abad 20 menyisakan banyak persoalan. Salah satu yang menjadi isu sentralnya adalah tentang negara. Timur Tengah sebagai negara yang memiliki tradisi sendiri tentu sulit untuk beradaptasi dengan gejolak perkembangan zaman.
Di era modern, Barat telah berhasil membuat sebuah sistem negara yang tidak dikendalikan oleh Gereja. Pada abad ke 16 seorang revolusioner, Martin Luther Jr, pernah membuat sebuah memo kepada Gereja untuk melepaskan urusan negara ke tangan publik. Desakan Martin Luther telah berhasil membuat sejarah peradaban Barat sampai pada titik modern. Hasilnya adalah bentuk negara demokrasi yang bisa kita lihat saat ini.
Paham demokrasi kemudian dijadikan sebagai modal hegemoni Barat ke Arab-Islam. Pada masa itu, tepatnya abad 18-20 umat Islam sedang mengalami kemunduran yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal dari umat Islam sendiri dan faktor eksternal datang dari penjajahan Barat.
Ketika Turki Utsmani runtuh, maka sistem kekhalifahan yang sudah berdiri ratusan tahun habis dimakan zaman. Pada abad 19 muncul beragam wacana untuk membangkitkan umat Islam dari keterpurukan yang salah satunya merumuskan kembali tentang negara Islam. Hal ini merupakan sebuah bentuk respon yang dilakukan ketika Turki, pasca jatuhnya Turki Utsmani, mendirikan negara berdasarkan sistem sekuler yang memisahkan urusan agama dan negara. Walhasil, kritikan mulai berdatangan dari kalangan Islam sendiri (Dale F. Eickelmen dan James Piscatori, 1998).
Di saat seperti itu muncul teori tentang negara Islam. Asumsi dasarnya adalah Islam memiliki ajaran agama sekaligus negara (din wa dawlah), maka tidak ada pemisahan antara agama dan negara sebagaimana yang tergambarkan dalam paham sekular. Pemikiran ini seperti ini mulai ramai diperbincangkan bahkan menjadi wacana dominan di negera Arab-Islam pada masa itu. Asumsi ini juga mengandaikan adanya peningkatan kehidupan manusia yang selama ini dijajah oleh Barat.
Salah satu pemikir politik Islam yang merumuskan konsep din wa dawlah adalah Al Maududi dan Sayyid Qutb. Dua pemikir dari negara berbeda ini memiliki pengaruh besar dalam dinamika pemikiran politik Islam kontemporer. Sayyid Qutb yang menjadi pengganti pemimpin Ikhwanul Muslimin (IM) memiliki pandangan terkait dengan penerapan syariat dan hukum Islam dalam pemerintah. Sayyid Qutb tidak memiliki pandangan konsep baku tentang bentuk negara.
Menurut Sayyid Qutb apabila manusia tidak menggunakan hukum Tuhan ia akan terjebak pada Jahiliyah modern. Qutb mengatakan bahwa konsep Jahiliyah modern sebagai penggambaran adanya kelompok masyarakat yang tidak menggunakan sistem Islam atau hukum Islam sebagai pijakannya. Menurut Qutb, dunia modern yang dibangun oleh Barat, baik dari segi sosial, politik, dan aspek lainnya sebagai bentuk dari Jahiliyah modern. Oleh karena itu, konsep ini berlawanan dengan hakimiyat. Hakimiyat merupakan sebuah konsep Qutb yang mencoba menerapkan Islam sebagai solusi atas problematika manusia kontemporer.
Sedangkan Al-Maududi merancang sebuah sistem pemerintahan yang berdasarkan Islam. Al-Maududi percaya bahwa untuk mewujudkan komunitas Islam yang berdasarkan wahyu Tuhan kepada Muhammad, umat harus memiliki kekuasaan politik. Melalui kekuasaan politik ini bisa mempengaruhi moralitas dan peradaban manusia. Di samping itu juga, kekuasaan politik ini akan menentukan arah maju atau tidaknya peradaban manusia.
Untuk memperjuangkan pemikiran tersebut, al-Maududi kemudian mendirikan wadah yaitu Jamaat Islami (Persatuan Islam, 1941). Komunitas ini adalah untuk menghimpun orang-orang yang memiliki dedikasi dan tujuan sama, yaitu mewujudkan sistem yang benar. Akan tetapi, organisasi ini berbeda dengan Ikhawanul Muslimin sebagai organisasi massa. Organisasi ini menghimpun kalangan elit intelektual maupun moral. Para anggotanya harus berdedikasi untuk jihad melawan kekafiran dan amoralitas setiap aspek kehidupan.
Pembicaraan kedua tokoh di atas sebagai pengantar kita untuk memahami pemikiran politik Islam kontemporer. Dengan pemahaman tersebut, kita akan tahu benang merahnya politik Islam yang terjadi di Timur Tengah dan di Indonesia. Wallahhua’lam.
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.