Video Pimpinan Jamaah Ansharut Tauhid, Abu Bakar Baasyir, baru-baru ini viral di media sosial. Pasalnya, video tersebut merekam pengakuan Abu Bakar Baasyir terhadap Pancasila karena sila pertamanya, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sebenarnya berasaskan pada ajaran Tauhid.
“Mengapa para ulama menyetujui Pancasila? Karena dasarnya adalah Tauhid, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa,” ungkap Baasyir dalam video yang dilihat islami.co (3/8/2022).
“Inipun pengertian saya terakhir, dulunya saya, Pancasila itu syirik, saya begitu dulu. Tapi setelah saya pelajari selanjutnya, ndak mungkin ulama menyetujui dasar negara syirik. Itu ndak mungkin,” lanjut inisiator Majelis Mujahidin Indonesia tersebut.
Banyak komentar muncul akibat video ini. Saya sendiri tidak melihat ketimpangan pro-kontra. Sejauh yang saya simak, hampir semuanya memberikan tanggapan positif. Baik di Twitter dan Facebook. Banyak juga media nasional arus utama yang mengulas video ini. CNN Indonesia, misalnya, di kolom komentarnya pun sebagian besar tampak sumringah terhadap statement Abu Bakar Baasyir tersebut.
Bagi saya, Abu Bakar Baasyir bukanlah sosok yang asing. Saya pernah belajar di sekolah yang ia dirikan, Pondok Pesantren al-Mukmin Ngruki. Selama Ustadz Abu, begitu saya dan teman-teman memanggil, mengaji di masjid Pondok, saya selalu menyimak dengan antusias. Saya juga berkesempatan menyalami dan mencium tangan Ustadz Abu ketika beliau selesai mengaji.
Di video tersebut, nampak Baasyir duduk bersebelahan dengan seseorang, ia adalah Muzayyin Marzuki. Ustadz Muzayyin, begitu saya memanggilnya, merupakan guru yang mengajarkan mata pelajaran aqidah di Pondok Pesantren. Saya kenal Ustadz Muzayyin karena beliau sering berinteraksi dengan santri-santrinya di lorong-lorong asrama.
Beliau adalah sosok yang ramah, murah senyum, dan energik. Begitulah gambaran terakhir saya terhadap Ustadz Abu, sebelum ia dipanggil ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan divonis penjara selama 15 tahun karena terbukti terlibat dalam pelatihan militer kelompok teroris di Aceh. Momen itu sangat mengenang, karena saya turut menyertai beliau ke Jakarta Selatan, meskipun saya tidak sempat ikut masuk ke pengadilan.
Sebagai murid agak ‘ideologis’ Baasyir, tentu saya kaget mendengar pengakuan beliau terkait Pancasila. Sejauh yang saya ketahui, Baasyir sangat keras terhadap sistem pemerintahan apapun selain apa yang sudah dijelaskan dalam Alquran. Saya ingat betul, Ustadz Baasyir sering mengutip QS. al-Maidah ayat 44 untuk meng-counter sistem-sistem pemerintahan modern.
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Maidah: 44).
Terpatri dalam pikiran saya, bagaimana beliau dengan Jamaah Anshorut Tauhid-nya terus menggelorakan istilah “thagut”, “thagut kafir”, “pemerintahan dzalim”, “sistem demokrasi kafir”, dan tentu saja “Pancasila syirik”. Saya juga tidak heran ketika Abu Bakar Baasyir diberitakan berbaiat kepada ISIS, karena impresi saya terhadap referensi pemikiran beliau.
Saya tentu tidak tahu, pelajaran apa yang membuat Ustadz Abu mengakui bahwa Pancasila adalah dasar negara, siapa yang mengajarkan beliau, dan bagaimana perjalanan spiritual beliau. Yang bisa saya simpulkan adalah bahwa manusia tidak akan pernah berhenti mencari kebenaran.
Kini, Abu Bakar Baasyir berusia 84 tahun. Dan dihampir menuju satu abad inilah, ia berjalan perlahan, keluar dari koridor Islam keras yang selama ini ia yakini. Saya tidak mengetahui, apakah ia hanya belajar tentang Pancasila, atau juga dengan sistemnya, demokrasi. Apakah Ustadz Abu hanya mengakui Pancasila, namun tetap menentang demokrasi? Sekali lagi, saya tidak paham.
Menurut saya, yang paling utama adalah proses belajar itu sendiri. Perspektif saya terhadap Islam 10 tahun lalu, misalnya, akan berbeda dengan bagaimana saya melihat Islam hari ini. Hal itu tidak luput dari proses belajar saya, bertambahnya literatur, makin banyak interaksi dan relasi dengan orang lain, dan perjalanan spiritual saya itu sendiri. Pun dengan Abu Bakar Baasyir yang mengalami perubahan sudut pandang tentang Pancasila di saat usianya sudah senja. Namun dalam urusan menuntut ilmu, umur bukanlah masalah berarti. Ia hanyalah deret angka yang profan.
Afirmasi Baasyir terhadap Pancasila sekaligus memberikan angin segar terhadap negeri ini. Paling tidak, mantan DPO Badan Intelijen Amerika (CIA) pada tahun 2002 ini telah setengah sepakat bahwa Indonesia, dengan Pancasilanya, merupakan negara yang sudah final. Pengakuan ini penting karena Baasyir masih dianggap sebagai salah satu sosok paling berpengaruh dan inspiratif bagi calon-calon “mujahid” di Indonesia, bahkan internasional.
Sebagai sosok yang mempunyai exposure sangat besar, pengakuan Baasyir ini diharapkan bisa menjadi justifikasi bagi para “mujahid” itu untuk menghentikan teror, dan memulai mencintai Indonesia. Saya sangat menghormati sosok Abu Bakar Baasyir sejak dulu ketika beliau masih mengkafirkan Pancasila, hingga sekarang ketika ia mengakui aspek ketauhidan dalam Pancasila.
Saya berharap kejadian ini menjadi salah satu pijakan bagi kita semua untuk menjadi lebih baik lagi. Saya berharap pernyataan Ustadz Abu tersebut mampu mengingatkan kita agar tidak berhenti belajar hingga kita diantar ke liang lahat oleh orang-orang terdekat kita kelak.
Wallahu a’lam bisshowab . .