Media digital telah mengubah cara kita mengakses informasi dan berita. Kemudahan aksesibilitas ini membawa manfaat besar, tetapi juga menimbulkan tantangan baru. Salah satunya adalah disinformasi yang masif. Persoalan ini terlihat ketika sebagian besar media kita memberitakan tentang “Al-Qur’an versi Cina” yang viral beberapa waktu lalu.
Narasi yang diangkat adalah pembuatan “Al-Qur’an baru”, “Al-Qur’an made in Cina”, dan semacamnya. Narasi ini rentan membentuk persepsi baru soal adanya Al-Qur’an tandingan yang “head-to-head” dengan Al-Qur’an mainstream yang selama ini dibaca oleh umat Muslim di seluruh dunia.
Media misalnya membuat judul “Cina Ingin Buat Alquran Versi Baru, Gabungkan Islam dan Konfusianisme”. Ada juga berita berjudul “Heboh Xi Jinping Buat Al-Quran Versi Cina, Seperti Apa?”, dan masih banyak berita-berita yang lain. Ditambah lagi, sebagian besar media yang menarasikan demikian adalah media-media besar.
Padahal sebetulnya, tidak akan Al-Qur’an versi baru yang akan diproduksi di Cina. Pun tidak akan ada Al-Qur’an versi manapun di dunia ini. Al-Qur’an adalah kitab suci yang selama ini dipegang dan dibaca oleh umat Muslim di seluruh dunia. Lalu apa maksud dari rencana “modifikasi Al-Qur’an” di Cina?
Sejak 2018, Partai Komunis Cina (PKC) ingin memperkuat pengaruh dan nilai-nilai Tiongkok atas Islam di Negeri Tirai Bambu. Cina tidak ingin elemen-elemen asing lebih dominan di negara tersebut. Mengutip Deutsche Welle, UU khusus sudah dibuat sejak 2019. Beijing menekankan bahwa penting untuk memastikan Islam “kompatibel dengan sosialisme”.
Atas visi inilah kemudian muncul wacana sinisasi Islam, yang mulai akrab keluar dari mulut Xi Jinping sejak tahun 2017. Sinisasi Islam (Islam Sinicization) adalah proses tindakan untuk membuat Islam menjadi lebih berkarakter Cina, atau menjadikannya berada di bawah pengaruh Cina.
Sinisasi Islam kemudian melahirkan proyek penyelarasan tafsir dan terjemahan Al-Qur’an dengan nilai-nilai sosialisme dan Konfusianisme di Cina. Perlu dicatat, frasenya adalah “penyelarasan tafsir”, bukan “membuat Al-Qur’an” versi baru.
Mengutip dari China Law Translate, laman terjemahan resmi hukum Cina berbahasa Inggris, terdapat 32 poin yang menjadi concern pemerintah Cina mengapa sinisasi agama perlu dilakukan. Keseluruhan poin tersebut merupakan bagian dari rencana nasional untuk mensinisasi tiga agama monoteistik utama di negara tersebut, yaitu Protestan, Katolik, dan Islam selama lima tahun ke depan.
Dalam konteks Islam, sinisasi dilakukan dengan dalih tersebarnya ideologi ekstrem di beberapa tempat di Cina, banyak masjid yang meniru arsitektur asing, umat Islam mengenakan pakaian asing, dan label standarisasi makanan halal yang diterapkan secara berlebihan. Indikasi ‘asing’ ini dilihat oleh pemerintah Cina sebagai ancaman yang dapat mendisrupsi nilai-nilai lokal (Cina).
Dalam dokumen China Law Translate, salah dua yang dilakukan adalah memperkuat pendidikan patriotisme dan sosialisme berkarakter Tionghoa dan menekankan upaya penafsiran kitab suci serta membangun Islam berkarakter Tionghoa.
Dokumen tersebut menguraikan bahwa salah satu luaran dari sinisasi Islam adalah terbitnya ‘the annotated version of Quran’, bukan ‘the new version of Quran’. Al-Qur’an versi anotasi ini adalah Al-Qur’an yang diberi catatan (syarah/tafsir) oleh orang lain untuk menerangkan, mengomentari, atau menafsirkan ayat sehingga relevan dengan konteks nilai-nilai Cina.
Artinya, redaksi Al-Qur’an tetap tidak akan berubah. Yang ada hanyalah catatan-catatan dari mufasir yang berisi penyelarasan ayat-ayat terkait dengan nilai sosialisme dan Konfusianisme di Cina. Format seperti ini lazim ditemukan di literatur-literatur tafsir klasik. Misalnya, kitab Tafsīr al-Jalālain karya Jalaluddin al-Mahalli pada tahun 1459 yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Jalaluddin as-Suyuthi pada tahun 1505.
Kitab Tafsīr al-Jalālain berisi ayat-ayat Al-Qur’an yang dibarengi dengan tafsir sesudah redaksi ayatnya. Ada juga anotasi-anotasi yang ditulis sebagai justifikasi dalil, pendapat ulama yang relevan, atau tambahan argumen untuk semakin memperkuat tafsir Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi.
Dalam Kode Hukum Cina, tertulis;
“… demand the religious doctrines to be in line with the development and improvement of contemporary Cina and interpret the doctrines in ways that are in line with exception Chinese traditional culture; thus preliminarily forming a system of Islamic thought which conforms to the actual conditions of our country and integrates into the meaning of Chinese culture in the new era.”
Maklumat tersebut menunjukkan bahwa tidak akan ada doktrin Islam baru yang diproduksi di Cina, melainkan menginterpretasikan doktrin yang ada kemudian dikontekstualisasikan dengan nilai-nilai aktual di era Cina modern. Al-Qur’an adalah kumpulan teks suci yang berisikan doktrin-doktrin. Artinya, doktrin tersebut akan ditafsirkan ulang, bukan dihapus lalu ditukar dengan doktrin yang baru.
Dokumen tersebut konsisten menggunakan kata interprete, alih-alih produce atau create. Misalnya, ‘using Confucianism to interpret scripture’, ‘continuously improving religious professional’s ability to interpret and explain scripture’ dan sebagainya.
Sinisasi agama saat ini menjadi semacam proyek strategis nasional di Cina. Hal ini terutama mempengaruhi Islam. Karena Islam memiliki pengikut masif di seluruh dunia dan terikat dengan sistem kepercayaan antara pemeluknya di Cina dan di seluruh dunia, sinisasi agama tampak menimbulkan kekhawatiran serius di dunia Muslim.
Media-media online sebetulnya bisa menjadi corong publik agar kekhawatiran ini tidak bertransformasi menjadi konflik sosial yang lebih serius. Caranya adalah dengan mengkoleksi data sekomprehensif mungkin sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman ketika dilempar ke ruang publik.