Masa-masa keemasan dinasti Abbasiyah ternyata bukan hanya karena tangan dingin para pemimpin laki-laki. Ada sosok lain yang membuat dinasti ini kian berjaya. Tidak banyak yang tahu, ada perempuan hebat di balik suatu masa kegemilangan imperium Abbasiyah. Dia adalah Khayzuran bin ‘Atha’ (wafat 789), istri dari Al-Mahdi khalifah ketiga dinasti Abbasiyah sekaligus ibu dari dua khalifah penerusnya Musa Al-Hadi dan Harun Ar-Rasyid. Yang lebih mengejutkan lagi, dulunya ia adalah seorang hamba sahaya, namun akhirnya di kerajaan bertahta.
Khayzuran berasal dari Yaman. Ia dibeli oleh Al-Mahdi di pasar budak pada suatu hari. Sebelum jatuh ke tangan Al-Mahdi, dulunya ia dimiliki oleh seorang laki-laki dari kabilah Tsaqif. Kepada tuan Ats-Tsaqafi itu, ia pernah bercerita bahwa ia bermimpi melihat matahari dan rembulan terbit dari tubuhnya. Tuannya pun berkata padanya, “Kamu bukan budak. Kamu akan melahirkan dua khalifah!”
Pada saat pertemuan pertama dengan Al-Mahdi, Al-Mahdi sangat tertarik dengan Khayzuran karena kecantikannya yang mempesona, tetapi ia kurang suka dengan kedua betis Khayzuran yang terdapat bekas luka. Khayzuran pun menjawab dengan jawaban yang menunjukkan kepandaian dan kecerdasannya, sehingga Al-Mahdi yakin untuk membelinya. Pada waktu itu Al-Mahdi belum menjadi khalifah.
Khayzuran pun akhirnya diboyong ke istana untuk menjadi selir Al-Mahdi. Di sana ia memiliki kesempatan yang langka untuk menggali ilmu dari perpustakaan pribadi milik al-Mahdi. Selain itu, ia juga rajin menghadiri majelis-majelis ilmu di Baghdad untuk memperdalam pengetahuannya, sambil tetap menghafal Al-Quran.
Dengan kecerdasannya yang semakin berkembang, Khayzuran menjadi salah satu penasihat pribadi al-Mahdi, bahkan sebelum ia menjadi khalifah. Meskipun masih berstatus sebagai budak, ia sering hadir dalam rapat-rapat kenegaraan dan memberikan nasihat penting kepada al-Mahdi.
Khayzuran adalah seorang perempuan yang memiliki pemahaman mendalam mengenai Fiqh. Ia belajar Fiqh dari Imam Al-‘Auza’i dan juga mengambil pelajaran dari Imam Sufyan ats-Tsauri. Kepribadiannya yang menawan membuat Al-Mahdi sangat mencintainya.
Suatu saat Al-Mahdi berkata pada Khayzuran, “Kau telah melahirkan dua putra untukku dan sudah menobatkan mereka untuk menjadi khalifah setelahku. Aku tidak mau jika kau terus menjadi budak. Aku ingin memerdekakanmu, kemudian keluarlah ke Mekkah lalu kembali, aku akan menikahimu.” Khayzuran menjawab, “Baik, wahai Amirul Mukminin.” Ia pun dimerdekakan, lalu pergi ke Mekkah.
Dalam kesempatan ini, Al-Mahdi mengambil peluang untuk menikahi Asma’ (saudari Khayzuran) dengan mahar satu juta dirham dan hibah satu juta dirham. Ketika Al-Mahdi merasakan kedatangan Khayzuran dari Mekkah, Al-Mahdi keluar menemuinya. Ternyata kabar bahwa Al-Mahdi menikahi saudarinya telah sampai padanya. Khayzuran pun putus asa karena dalam syariat tidak boleh menikah dua perempuan bersaudara sekaligus.
Ketika melihat Al-Mahdi, Khayzuran sontak berkata, “Bagaimana kabar Asma’? Berapa kau memberinya hibah?” Al-Mahdi bertanya, “Asma’ siapa?” Ia menjawab, “Istrimu.” Lalu Al-Mahdi dengan tegas mengatakan, “Jika Asma’ adalah istriku, maka ia aku ceraikan sekarang!” Ia pun berkata, “Engkau menceraikannya ketika tahu kedatanganku.” Al-Mahdi berkata, “Jika kau tahu, aku memberinya mahar satu juta dinar dan hibah satu juta dinar.” Al-Mahdi dan Khayzuran pun akhirnya menikah.
Sejak saat itu, Khayzuran menjadi perempuan paling berpengaruh di istana. Bahkan, ia memiliki kekuatan untuk mendominasi kebijakan-kebijakan Al-Mahdi hingga Al-Mahdi wafat pada tahun 169 H, pun pada pemerintahan anaknya, Musa Al-Hadi. Ia menguasai banyak urusan kekhalifahan putranya dan terlibat dalam banyak perkara.
Ketika Al-Hadi menjadi khalifah, ia berusaha menjauhkan dan menyingkirkan Khayzuran karena bertindak dan memutuskan perkara tanpa pendapat khalifah. Al-Hadi pun mendatanginya pada suatu hari dan berkata, “Jangan keluar dari rasa malu ke tidak punya malu. Bukan kapasitas perempuan untuk ikut campur dalam urusan kerajaan. Fokuslah pada shalat, tasbih, dan ibadah.” Walaupun begitu, Al-Hadi sebagai anak yang berbakti tetap menyetujui permintaan-permintaan ibunya.
Pada pemerintahan putra keduanya, Harun Ar-Rasyid, Khayzuran juga masih memiliki posisi strategis dalam keputusan kerajaan. Berbeda dengan Al-Hadi, Harun Ar-Rasyid tidak menentang ibunya untuk turut serta dalam kedaulatan. Harun Ar-Rasyid justru secara publik mengakui keahlian Khayzuran dalam politik dan secara terbuka mempercayai nasihatnya. Dia memimpin kerajaan bersamanya dengan bangga, menunjukkan bahwa dia tidak merasa malu untuk berbagi kekuasaan dengan seorang wanita yang memiliki kemampuan dan kecemerlangan sekaliber ibunya.
Meskipun tidak ada catatan resmi tentang pencapaian politik Khayzuran, banyak bukti sejarah yang menunjukkan pengaruh besar yang dimilikinya. Salah satunya adalah koin-koin yang dicetak dengan namanya, istana-istana yang dinamai menurut namanya, dan pemakaman kerajaan yang mengambil namanya sebagai nama. Semua ini menunjukkan tidak hanya kekuasaannya yang kuat, tetapi juga penghargaan dari rakyat.
Khayzuran meninggal pada tahun 789 M atau 173 H saat kekhalifahan di bawah pimpinan putranya, Harun Ar-Rasyid. Ia dikuburkan di salah satu pemakaman Rashafah, yaitu kuburan Imam Abu Hanifah di Baghdad. Banunah putri Al-Mahdi juga dikuburkan di sana. Kemudian, pemakaman itu pun masyhur dengan sebutan maqbarah Khayzuran.
Itulah sepenggal kisah seorang perempuan yang memulai jalan hidupnya sebagai seorang budak, namun berakhir sebagai seorang ibu negara yang memberikan pengaruh besar pada sebuah imperium. Semua itu berkat kecerdasan, kepintaran, serta ketangguhannya dalam menghadapi setiap masalah. Sejarah Khayzuran pun menjadi bukti bahwa perempuan memiliki peran luar biasa dalam setiap jejak langkah peradaban dunia. (AN)
Sumber: Amal Muhyiddin Al-Kurdi. 2014. Daur an-Nisa’ fi al-Khilafah al-‘Abbasiyyah. Oman: Dar el-Yazori.