Baitul Hikmah: Simbol Peradaban Islam yang Hilang

Baitul Hikmah: Simbol Peradaban Islam yang Hilang

Baitul Hikmah dikenal sebagai pusat peradaban Islam. Di situ tempat para ilmuwan berkumpul, menulis, menerjemahkan, dan mendokumentasikan seluruh ilmu pengetahuan.

Baitul Hikmah: Simbol Peradaban Islam yang Hilang

Perkembangan ilmu pengetahuan dalam sebuah bangsa menjadi bukti bahwa bangsa itu sedang menuju puncak keemasannya. Hal inilah yang pernah terjadi pada Dinasti Abbasiyah. Pada masa ini, kekhalifahan Islam yang pernah berdiri selama tujuh abad (7-12 M) itu disebut sebagai kekhalifahan terbaik selain Kekhalifahan Turki Utsmani yang pernah menguasai kurang lebih 1/3 dunia.

Berdiri setelah mampu menumbangkan Dinasti Umayyah, dinasti ini mencapai masa kemilaunya (The Golden Age) pada masa-masa awal perintisan. Para khalifah yang memimpin merupakan figur-figur yang sangat cinta dengan ilmu pengetahuan. Tiga khalifah periode pertama, Abu Ja’far al-Mansyur, Harun al-Rasyid dan Abdullah al-Makmun merupakah khalifah-khalifah yang cinta dengan ilmu pengetahuan. Mereka senang dan gemar merawat buku baik karangan para ilmuwan muslim maupun non-muslim, yang bernuansa agama pun non-agama.

Khalifah Harun ar-Rasyid (789-803 M) pernah berpesan kepada bala tentaranya untuk tidak merusak kitab apapun yang ditemukan ketika berperan karena saking cintanya. Kecintaannya akan ilmu pengetahuan membuatnya menjadi aktor di balik berdirinya sebuah perpustakaan dan pusat penelitian yang diberi nama Khizanah al-Hikmah (Khazanah Kebijaksanaan).

Tujuan lembaga ini didirikan ialah untuk mengumpulkan dan menyalin ilmu pengetahuan dari karya-karya asing Yunani, Persia, Mesir, dan lain-lain ke dalam Bahasa Arab. Ia sadar bahwa banyak sekali literatur ilmiah maupun non-ilmiah yang berasal dari luar Islam yang sangat bermanfaat. Namun, tentunya kepiawan bahasa menjadi problem bagi umat Islam menguasainya. Maka dari itu, ia mengumpulkan dan menyalin tiap buku-buku dari berbagai bahasa ke bahasa Arab. Dari sinilah, lembaga yang berada di tepat jantung kota Baghdad itu menjadi sumbu penerang bagi Islam untuk mengenggam dunia dengan ilmu dan peradaban.

Ditambah lagi dengan melimpahnya aset negara dan tingginya apresiasi dan minat dari masyarakat terhadap ilmu pengetahuan membuat rancangan ini berjalan mulus. Masyarakat dan negara saling bahu-membahu satu sama lain tanpa adanya beban psikologis. TIdak mengherankan jika waktu itu orang-orang etnis non-arab dan non-muslim saling bekerjasama. Meskipun pemerintahan dipegang oleh khalifah yang muslim.

Peran Khizanah al-Hikmah semakin mencuat tatkala kepemimpinan Abbasiyah dilanjutkan oleh putranya, Al-Makmun (813-833 M). Di masanya, ilmu pengetahuan dan intelektual mencapai puncaknya. Ia mengubah nama lembaga ini – yang sebelumnya bernama Khizanah al-Hikmah – menjadi Baitul Hikmah. Melalui tangganya, Baitul Hikmah berkembang lebih pesat setelah resmi menjadi lembaga formal.  Fungsinya pun berevolusi menjadi tempat penyimpanan buku-buku kuno yang didapat dari Persia, Bizantium, bahkan Ethiopia dan India.

Al-Makmun juga mengirim tim sarjana ke berbagai pusat ilmu di dunia, untuk mencari kitab-kitab penting yang harus diterjemahkan. Hal inilah salah satu yang menjadikan Islam mengalami kemajuan. Karena umat Islam bisa mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang ada di penjuru dunia

Aktivitas dan Kegiatan di Baitul Hikmah

Dalam usahanya mengatur aktivitas dan kegitan di Baitul Hikmah, Al-Makmun mengangkat Muhammad bin Isa Al-Khawarizmi yang ahli dalam bidang aljabar, matematika, dan astronomi sebagai salah satu guru besar. Sementara direkturnya dipegang oleh Sahl bin Harun. Di tangan mereka berdua, Baitul Hikmah terus berkembang tidak hanya menjadi perpustakaan tetapi juga sebagai pusat kegiatan studi dan riset astronomi dan matematika.

Terbukti, pada tahun 832 M, al-Makmun menjadikan Baitul Hikmah di Baghdad sebagai akademi pertama, lengkap dengan teropong, perpustakaan, dan lembaga penerjemahan. Kepala akademi yang pertama dipimpin oleh Yahya Ibn Musawaih (777-857 M), kemudian Hunain Ibn Ishaq (murid Yahya yang beragama Kristen yang pandai Bahasa Arab dan Yunani) sebagai ketua kedua.

Sebagai ketua kedua, Hunain bin Ishaq memotori gerakan penerjemahan karya-karya ilmiah. Ia memperkenalkan metode penerjemahan baru yaitu dengan menerjemahkan kalimat bukan kata seperti sebelumnya. Ia juga menerjemahkan dengan cara membandingkan berbagai naskah yang ada sehingga naskah yang diterjemahkan terjamin kevaliditasan dan keakuratannya.

Dengan bantuan para penerjemah dari Baitul Hikmah, Hunain juga menerjemahkan kitab Republik karangan Plato, dan kitab Kategori, Metafisika, Magna Moralia dari Aristoteles. Penerjemahan buku-buku ilmu kedokteran, filsafat, dan lain-lain dilakukan secara langsung dari bahasa Yunani ke dalam bahasa Arab.

Menariknya, gerakan penerjemahan juga berjalan tidak hanya melalui peran dan urusan istana, tetapi telah menjadi bagian hidup para penggemar dan pecinta ilmu. Sebagian orang yang cinta akan ilmu rela menafkahkan sebagian besar hartanya untuk menerjemahkan karya-karya tersebut ke dalam bahasa Arab. Mereka pun bukan hanya sekedar menerjemahkan, tapi juga memberi penjelasan pada buku dan naskah yang mereka terjemahkan.

Pada masa ini juga berkembang berbagai macam ilmu pengetahuan agama, seperti Al Qur’an, qiraat, Hadits, Fiqih, kalam, bahasa dan sastra. Di samping itu juga berkembang empat mazhab fikih yang terkenal, diantaranya Abu Hanifah pendiri madzhab Hanafi, Imam Maliki ibn Anas pendiri madzhab Maliki, Muhammad ibn Idris Asy-Syafi ’i pendiri madzhab Syafi ’i dan Muhammad ibn Hanbal, pendiri madzhab Hanbali.

Keruntuhan Baghdad

Sayang, masa keemasan tersebut tak dapat ditorehkan kepada para khalifah selanjutnya. Melemahnya pemerintahan dan sering terjadinya perebutan kekuasaan membuat keadaan dan situasi politk Dinasti Abbasiyah kian terpuruk. Peran khalifah seolah tak berdaya setelah masa-masa sepeninggal Al-Makmun. Terbukti, tentara Turki mampu mengendalikan dinasti ini dari balik layar. Khalifah hanya seperti boneka yang dengan mudah dikendalikan oleh tuannya.

Puncaknya pada tahun 565 H/1258 M, ketika 200.000 tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan yang membumihanguskan Baghdad dan seisinya. Khalifah al-Musta’shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 – 1258 M), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung “topan” tentara Mongol.

Dalam serangan tentara Mongol yang terjadi 40 hari, dimulai dari bulan Muharram sampai pertengahan Safar, telah memakan korban sebanyak 2 juta jiwa. Al-Mu’tashim bersama anak-anaknya juga dibunuh oleh tentara Mongol. Semua kitab-kitab yang ada baik dalam perpustakaan Baitul Hikmah maupun di tempat lainnya, guru-guru, imam-imam, pembaca-pembaca semuanya disapu habis, sehingga berbulan-bulan lamanya kota Baghdad menjadi daerah yang kosong. Sejarawan Ibnu Khaldun mengungkapkan, manuskrip-manuskrip itu dihanguskan dan dilemparkan ke Sungai Tigris.

Sungai Tigris menjadi saksi bisu peristiwa mengenaskan tersebut. Air sungainya berubah menjadi hitam kemerahan. Tinta yang ada di buku beserta manuskrip yang dihanyutkan di sungai memudar, membuat warna air sungai berubah menjadi hitam dan memerah oleh darah segar dari para ilmuan, ulama, mahasiswa, dan penduduk yang dibantai.

Ribuan karya para intelektual muslim maupun non-muslim kala itu punah dan tak dapat terwariskan kepada generasi selanjutnya. Kejadian tersebut menyisakan duka mendalam bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan Islam.

Begitulah, Baitul Hikmah yang pernah berkilau mewarnai dunia dengan ilmu pengetahuannya. Kendati lembaga tersebut telah runtuh, bukan sepatutnnya kita hanya tenggelam dalam euforia kejayaan masa lampau. Justru kita yang harus membangkitkan semangat kembali sebagaimana apa yang telah ditorehkan para pendahulu yang berjuang dengan berkorban jiwa dan hartanya. Karena di tangan kitalah sebagai generasi penerus yang akan menjadi garda terdepan dalam memajukan agama dan negara.