Firaun masih berang dengan kelakuan Musa. Pengaruh rezim yang telah mapan di masa-masa sebelumnya sedang terancam oleh erosi kepercayaan masyarakat setempat. Pemicunya adalah kekuasaan Firaun dipertanyakan oleh orang yang dulu mendapat fasilitas tumbuh-kembang di lingkungan istana.
Misi Nabi Musa kepada Firaun sebetulnya sederhana: jangan melampaui batas!!
Hanya saja ejawantah dari pesan itu memang bercabang. Dan, al-Quran memberitahu kita betapa Firaun telah kelewat banyak menerabas marka kemanusiaan.
Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Firaun dengan benar untuk orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Firaun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Firaun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan (Q.S. Al-Qashash [28]: 3-4).
Saat itu belum ada Google Earth. Firaun yang terlanjur merasa dirinya adalah penguasa alam semesta sudah tentu akan kesulitan menyadari bahwa dirinya tidak lebih dari sebutir debu dalam tatanan galaksi Bima Sakti.
Maka, gawai Musa pun mengikuti tren yang populer di zamannya: sihir. Dan, dari sekian aparatus rezim Firaun, ada satu orang yang secara tegas dihadirkan oleh al-Quran.
Dan berkata Firaun: “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta”. (Q.S. al-Qashsash [28]: 38)
Ya, dialah Haman. Di ayat lain, al-Quran menegaskan kembali kontribusi Haman dalam pemerintahan Firaun.
Dan berkatalah Firaun, “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta.” Demikianlah dijadikan Fir’aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian. (Q.S. Ghafir [40]: 36-37)
Diduga, peranan Haman tidak saja sebagai arsitek, tetapi juga penasihat. Jelas, dia bukan orang sembarangan. Lagian, adalah mafhum jika setiap kekuasaan biasanya ditopang oleh bisikan seorang penasihat, baik yang berlatar belakang intelektual maupun rohaniawan. Dan, tiap rohaniawan memiliki pertimbangan religius untuk memuaskan kepentingan taktis kekuasaan. Di situlah peranan Haman.
Haman adalah metafor betapa pertimbangan rohaniawan dibutuhkan oleh rezim. Sialnya, legitimasi agama digunakan bukan sebagai pembela keadilan, tetapi dasar tirani. Dalam watak kekuasan yang seperti ini, sebuah fatwa biasanya hadir atas pesanan penguasa, alih-alih untuk memenuhi kebutuhan mereka yang tertindas.
Medium is the message, begitu kata McLuhan. Instruksi Firaun menampilkan pesan yang sangat benderang. Dia ingin agar Haman membikin semacam menara untuk membantah klaim Musa tentang keberadaan Tuhan. Ini mirip sekali dengan penguasa yang mencipta aturan untuk membelenggu kedaulatan berpendapat. Atau, serupa dengan kekuasaan yang kepingin dibuatkan alat untuk menjerat oposannya.
Arogansi Firaun itu mensinyalir bahwa dia telah benar-benar kehilangan daya untuk membantah kebenaran yang dibawa Musa. Dalihnya terlalu lemah untuk menangkis argumen Musa yang tangkas dan jujur. Maka, tidak saja meminta agar dibuatkan menara, tetapi Firaun yang tampak semakin jengkel juga menyindir Musa.
Dan Firaun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata, “Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku? Maka apakah kamu tidak melihat (nya)? Bukankah aku lebih baik daripada orang yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataanya)? (Q.S. az-Zukhruf: 51-52)
Begitulah watak egoisme kekuasaan otoriter. Dari dulu rupanya sama saja: resisten terhadap suara arus bawah, dan ketika terpojok ia akan melempar tuduhan macam-macam. Klaim atas prestasi Firaun itu seolah menegaskan bahwa kekuasaan itu didapat berkat pengaruh kepemimpinannya semata dan karenanya menegasi keterlibatan keringat rakyat.
Maka, tibalah saatnya bagi Musa untuk memungkasi kesombongan Firaun yang kian membusung. Kini, kebenaran tak bisa lagi didedahkan di atas karpet retorika. Kebenaran harus mewujud dalam aksi nyata: duel sihir. Ya, pertarungan yang sesungguhnya terjadi ketika Tuhan memberitahu Musa apa yang harus ia lakukan.
Dan kami wahyukan kepada Musa.”Lemparkanlah tongkatmu.” Maka sekonyong-konyong tongkat itu menelan apa yang mereka sulap. Karena itu, menjadi nyata apa yang benar dan batallah yang selalu mereka kerjakan. Maka mereka kalah di tempat itu dan mereka kembali dalam keadaan hina. (Q.S. al-A’raf [7]: 116-119)
Musa keluar sebagai pemenang. Kehinaan menyertai kekuasaan Firaun dan para pegawainya. Gelombang dukungan mulai berpihak kepada Musa (Q.S. al-A’raf [7]: 120-122). Selain para penyihir, dukungan itu juga disokong oleh kaum muda (Q.S. Yunus [10]: 83).
Walakin, pengikut Musa sadar betul konsekuensi yang menghadang mereka. Firaun adalah tipikal penguasa yang buas. Al-Quran memberitahu kita betapa genre kekerasan Firaun telah melampaui segala kekejian yang pernah ada (Q.S. Thaha [20]: 70-71). Dan, itu semua siap melumat mereka yang berada dalam barisan Musa, termasuk para penyihir yang dulu menjadi ujung tombak rezim.
Tapi keyakinan mereka loyal. Allah adalah sebenar-benar penguasa yang layak jadi tempat sambat. Dengan sangat indah al-Quran memotret sikap para ksatria, sejurus setelah melihat kebenaran yang dibawa Musa. Mereka spontan tersungkur, meniarapkan diri, dan menyerahkan segenap jiwa-raga kepada Tuhannya Musa dan Harun (Q.S. al-A’raf [7]: 120-121).
Kontras dengan itu, Firaun tetap setia pada nalar barbariannya: memasung, menyalib, dan memotong kaki tangan para pemberontak secara bersilang. Kekuasan Firaun hendak menegaskan hyper-masculinty lewat kekerasan fisik dan penganiayaan tubuh (Q.S. asy-Syu’ara [26]: 49). Vonis mengerikan ini tidak saja menegaskan betapa pongahnya rezim, tetapi juga menjadi deklarasi ancaman bagi mereka yang berseberangan dengan istana.
Manusiawi saja, para pengikut Musa diselimuti kabut kekhawatiran. Mereka sadar bahwa ini akan sangat berisiko. Tuhan lalu terlibat. Musa mengerti langkah taktis seperti apa yang harus ia lakukan: kabur!!
Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: “Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering di laut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)”. (Q.S. Thaha [20]: 77)
Lari bukanlah bagian dari kepengecutan. Terkadang, mundur selangkah adalah solusi bagi persoalan yang membagongkan. Lebih dari itu, Musa tidak bisa selamanya menjadi obat buat orang yang tidak mau sembuh. Bersama pengikutnya, ia musti menempuh jalan keselamatan yang lebih rasional. Rezim yang mereka hadapi adalah kelewat kuat jika dilawan dengan modal keyakinan semata.
Bersambung, di Sini.