Kisah Nabi Musa dalam Al-Quran: Duel dengan Penyihir Istana

Kisah Nabi Musa dalam Al-Quran: Duel dengan Penyihir Istana

Nabi Musa mengemban misi super penting. Firaun adalah orang yang harus ia hadapi. Ada semacam beban historis yang bergentayangan dalam benaknya.

Kisah Nabi Musa dalam Al-Quran: Duel dengan Penyihir Istana

Dari sekian hamba Allah yang terekam dalam al-Quran, Musa barangkali adalah yang istimewa. Porsinya cukup banyak, kendati tidak ada yang spesifik bernama Surah Musa. Biarpun begitu, potongan kisah yang memotret perjalanan Nabi Musa itu sungguhlah menarik dan pada titik tertentu sangat dekat dengan realitas kehidupan kita.

Tidak diragukan lagi jika Nabi Musa mengemban misi super penting. Firaun adalah orang yang harus ia hadapi. Ada semacam beban historis yang bergentayangan dalam benak Musa jika musti meruntuhkan kekuatan oligarki yang begitu akrab dengan masa kecilnya. Lebih dari itu, Firaun adalah tipe penguasa otoriter.

Tapi, kebenaran harus tetap dikumandangkan. Musa musti menyebar broadcast agar Firaun menghentikan perbudakan dan sekaligus mengingatkan bahwa ada kekuasaan lain di atas dirinya.

Meski begitu, cara yang brutal adalah haram ditempuh. Maka, tambah bingunglah Musa. Tuhan pun diajak negosiasi. Musa meminta agar saudarnya, Harun, dilantik menjadi pendamping dalam perjuangan membebaskan Bani Israil dari cengkraman rezim.

Musa berkata: “Ya Tuhanku sesungguhnya aku telah membunuh seorang manusia dari golongan mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku. Dan saudaraku, Harun, dia lebih fasih lidahnya daripada aku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sesungguhnya aku khawatir mereka akan mendustakanku”. (Q.S. Al-Qashsash [28]: 33-34)

Manusiawi sekali Nabi Musa ini. Ia merasa ciut karena pernah terlibat baku hantam dengan salah satu dari orangnya Firaun. Mending kalau cuma opname, tinju Nabi Musa itu membuat lawannya meninggal. Betapapun, membunuh adalah tidak bisa dibenarkan.

Maka, segala fasilitas kenabian berupa kekuatan bela diri dan tongkat ajaib yang membersamai Musa haruslah disertai bangunan argumen yang mapan. Dan, peran itulah yang diharapkan Musa dari seorang Harun. Pengakuan Musa ketika menyebut Harun sebagai orang yang “lebih fasih lidahnya” jelas mengandaikan daya intelektualitas.

Keduanya pun mendatangi istana. Firaun terkejut terheran-heran. Besar kemungkinan malah kecewa. Kehadiran Musa bersama Harun jelas menghentak kesadaran Firaun. Orang yang dulu dibesarkan di lingkungan istana, sekarang hadir dalam posisi yang bersebarangan, menuntut pembebasan Bani Israil. Maka, Firaun langsung menikam pertemuan itu dengan mengungkit jasa-jasa.

Firaun bilang: “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna.” (Q.S. Asy-Syu’ara [26]: 18-19)

Begitulah. Ungkapan Firaun itu seketika mengingkatkan kita pada sebuah premis yang disinyalir oleh Nietszche: kehendak akan kuasa!!

Ya, the will to power kerapkali bertopengkan moralitas, jasa-jasa, kepandaian, atau apa pun itu yang dianggap memiliki nilai lebih dalam konstruksi sosial. Lewat perspektif nietzschean, Firaun seolah ingin menggarisbawahi: “Hai Musa, engkau sejatinya berada di bawah kekuasaanku. Bukannya terimakasih, engkau malah menantang.”

Namun, Musa bukan petugas partai. Ia rileks saja. Kini Musa adalah seorang Rasul. Beda dengan dulu yang menyandang status sebagai orang istana dan berada di bawah ketatnya tiang pengawasan.

Maka, Musa mengaku kalau apa yang pernah ia lakukan adalah khilaf. Soal pembunuhan terhadap orangnya Firaun, Musa berterusterang bahwa ia merasa terteror oleh peristiwa itu sehingga memutuskan untuk kabur. Tentang perhatian dan budi baik yang telah Firaun berikan sewaktu Musa masih kanak-kanak, itu semua tidak merubah apa-apa, karena toh Bani Israil tetap saja menderita di bawah cengkeraman rezim, (Q.S. asy-Syu’ara [26]: 20-22).

Lebih dari itu, Musa membidik jantung kepongahan Firaun. Secara benderang Musa menegaskan kalau Firaun bukanlah penguasa alam semesta. Keterangan ini sudah tentu semakin menampar kesadaran Firaun. Saking emosinya, Firaun berencana untuk membunuh Musa (Q.S. Ghafir [40]: 26).

Tapi, bukan Firaun saja yang merasa dilecehkan. Para pegawainya juga turut naik pitam demi mendengar klaim Musa yang belakangan ditafsir sebagai upaya untuk mengakuisisi kekuasaan Firaun (Q.S. Thaaha [20]: 62-63).

Sejurus kemudian, pihak istana membuat siasat untuk menggelar duel dengan Musa. Firaun memilih untuk menghadapkan Musa dengan pendukung paling wahid: tukang sihir. Inilah media duel yang populer saat itu, alih-alih baku argumentasi atau silat pengetahuan.

Mereka berkata: “Hai Musa, engkaulah yang akan melempar ataukah kami yang melempar lebih dulu?”

Musa menukas, “Kalian saja yang lebih dulu melempar.”

Dan, ya, tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka seolah merayap cepat menuju Musa, lantaran sihir. Maka bergidiklah Musa (Q.S. Thaaha [20]: 65-67).

Di tempat lain, al-Quran mengafirmasi jika kekuatan sihir yang dipertontonkan itu sungguhlah menakjubkan (Q.S. al-A’raf [7]: 116). Tapi, biarlah itu menjadi sekuel yang dramatis. Selebihnya, izinkan saya sedikit berangan-angan. Tentu Anda boleh tidak sepakat. Yang jelas, ini tidak dimaksudkan untuk mereduksi makna yang terkandung dalam al-Quran.

Ada sedikitnya empat kata kunci penting di sini: Firaun, Musa, penyihir dan sihir itu sendiri. Firaun hadir sebagai subjek yang punya kuasa. Kekuasaan Firaun menampilkan dirinya dalam watak otoritarianisme, penindasan, dan rasa takut para penduduknya.

Sihir, betapapun, hanyalah ilusi. Dan, ilusi itu mengejawantah dalam ketentuan hukum yang, pada derajat tertentu, menyebabkan rasa takut bagi masyarakat, bahkan dalam diri Musa sekalipun. Di titik ini, kekuasaan Firaun hendak mengkuadratkan pengaruhnya lewat ancaman, tekanan, sekaligus idealisme palsu. Karena itu, setiap hal yang berbau kritisisme akan dicap sebagai upaya pembangkangan. Terdengar familiar bukan?

Firaun, dengan demikian, memerlukan semacam perangkat yang mampu memprediksi gelagat perlawanan. Di sinilah peran tukang sihir diharapkan. Dan, ada seorang tukang sihir yang secara spesial di-mention oleh Al-Quran. Ia bernama Haman (Q.S. al-Qashsash: 38).

Syahdan. Kita pun patut bertanya, sebarapa signifikan peran Haman dalam menopang rezim Firaun?

Bersambung di Sini.