Firaun Tenggelam, Bani Israil Bebas, Tapi Nabi Musa Menghadapi Pergolakan Baru

Firaun Tenggelam, Bani Israil Bebas, Tapi Nabi Musa Menghadapi Pergolakan Baru

Unbelievable ~

Firaun Tenggelam, Bani Israil Bebas, Tapi Nabi Musa Menghadapi Pergolakan Baru

Malam itu, Musa bersama rombongan bergerak keluar dari teritori Firaun. Tak serupa kafilah dagang, tapi rombongan itu cukup banyak dan jelas menyebabkan gemuruh. Jika kamu ingin memvisualisasi, bolehlah menengok film Exodus (terlepas dari seberapa akurat film itu).

Prof. Quraish Shihab dalam tafsirnya menyebut jika jalur yang dituju adalah Sinai, tetapi mereka lewat arah Tenggara. Ini sengaja dilakukan agar mereka menjumpai Laut Merah. Jelas tidak untuk piknik. Atas petunjuk Tuhan, laut itulah yang kelak menjadi kuburan masal bagi Firaun dan koloninya.

Firaun mengira Musa telah sinting. Dipikir, Bani Israil bisa lepas begitu saja. Maka, Firaun mengeluarkan dekrit pengejaran. Ia bilang kepada para pegawainya bahwa buruannya kali ini adalah terlampau remeh. Bagi Firaun, rombongan Musa adalah kecil, lemah, dan terdiri dari orang-orang hina.

Al-Quran memberitahu kita bagaimana Firaun memompa andrenalin lewat kata-kata. Bahasa sejak dulu memang tidak pernah netral. Ia selalu bias kepentingan (meski ini tida selalu buruk).

Firaun berkata: Sesungguhnya mereka hanya sekelompok kecil; dan sesungguhnya mereka telah berbuat banyak hal yang memancing amarah kita; dan sesungguhnya kita semua harus benar-benar waspada (Q.S. Asy-Syuara [26]: 54-56).

Rupanya, kekuasaan Firaun berdiri bukan saja melalui senjata, tetapi juga ancaman. Firaun hendak memastikan bahwa Musa dan pengikutnya adalah kawanan berbahya yang mengancam stabilitas negara. Stereotipe kepada Bani Israil semacam ini mengekalkan rantai dukungan sekaligus memotivasi pasukan Firaun untuk menghalalkan segala cara.

Begitulah, kekejaman biasanya berawal dari upaya untuk menanam legitimasi. Firaun merasa kalau membiarkan pergerakan Musa adalah sama saja mempersilakan kekuasaannya digerogoti. Maka laiknya penguasa sesudahnya, Firaun memburu dan sekaligus berniat menghabisi rombongan Musa.

Perang Dunia II juga begitu. Melalui Nazi, Hitler menanam legitimasi lewat klaim bahwa mereka adalah pewaris ras murni. Atau pada Jepang dengan motif fatalisnya sewaktu berburu pengaruh. Sayang, yang terakhir ini melewatkan sedikitnya empat kapal induk Amerika saat peristiwa Pearl Harbour, dan situasi pun berbalik, menyebabkan Presiden Amerika, Franklin D. Roosevelt, punya legitimasi untuk terlibat total dalam perang.

Agak mirip, konsepsi negara modern laksana berdiri di atas moral Firaun, bil khusus dalam wujud kekerasan yang terorganisir. Aktivitas kekerasan dilakukan negara melalui area-area vital yang landasannya adalah monopoli, baik melalui perang, proteksi, maupun rebutan sumber daya. Demikian sosiolog Charles Tilly. Walhasil, bayang-bayang untuk terus berkuasa dan melebarkan pengaruh bakal mencipta semangat imperialistik, dan lebih dari itu, terjerembab dalam kehendak untuk terus berperang sekaligus memerangi.

Firaun dengan segenap kekuatannya adalah monumen utuh dari kekuasaan yang ingin memonopoli kebenaran. Hadirnya Musa dianggap sebagai mimpi buruk yang nyata. Maka, perburuan itu dianggap sebagai upaya untuk mencipatkan kembali stabilitas negara.

Kini, perburuan itu nyaris paripurna. Musa dan pengikutnya telah terpantau, kelewat mencolok di barisan depan pasukan Firaun. Kabut kecemasan pun menyapu nyali Bani Israil. Maju kena mundur kena. Kalau maju, masa iya mau berenang; tapi kalau putar balik, jelas di belakang mereka ada para patih, genap dengan rajanya yang siap melumat.

Ibn Katsir mencatat bilamana sempat terjadi ketegangan di barisan Musa. Bani Israil sempat mempertanyakan akurasi petunjuk Tuhan. “Hai Nabi Allah, apakah Tuhanmu memerintahkanmu berjalan ke tempat ini?”

Tepat di titik tegang itulah Musa mengerti harus bagaimana. Dengan mantap musa menjawab “tentu saja!!”

Allah lalu memberitahu jalan keluar.

Lalu Kami wahyukan kepada Musa “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu, dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain. Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya. Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu. (Q.S. Asy-Syuara [26]: 63-66)

Keajaiban hanya milik mereka yang berusaha. Begitu kata Ivankov dalam anime One Piece. Dalam situasi itu, Firaun dan pasukannya mungkin sempat takjub, heran, dan terkejut. Lebih dari itu, dia bukan orang bodoh. Firaun cukup mengerti bahwa yang sedang ia saksikan bukanlah sesuatu yang normal. Maka, ia diduga sempat menghentikan laju kereta kuda yang ia tunggangi.

Di saat yang sama, Musa dan rombongan bergegas menyeberangi laut yang telah menyilakan mereka liwat. Sekali lagi, ini bukan perjalanan wisata. Besar kemungkinan mereka tidak sempat menikmati fenomena alam yang langka, karena harus segera sampai ke seberang. “Mentas” dari laut, segenap rombongan Musa tetap fokus berlari, berharap langkah-langkah sprint itu akan menjauhkan mereka dari kejaran bala tentara Firaun.

Senyatanya, Firaun dan pasukannya mengejar. Dan, sejurus setelah mereka semua berada di marking line, miliyaran liter air yang membelah itu kembali menyatu. Bukan lagi kuyup, tetapi tenggelam, disapu oleh gelombang air yang entah berapa ton tekanannya.

Ternyata, Malaikat Jibril adalah biangnya. Sebelumnya, Firaun sadar betul bahwa ini bisa jadi adalah perangkap. Sayangnya, dia mungkin lupa bahwa kuda yang ditunggangi adalah berkelamin jantan. Di situlah Jibril memainkan insting alamiyah dari hewan. Ya, kuda betina yang dibawa Jibril sukses memaksa armada Firaun, berikut penumpangnya, berada di tengah laut. Demikian keterangan KH Bahaudin Nur Salim (Gus Baha) dalam salah satu kajiannya.

Namun, intervensi Jibril tidak berhenti di situ saja. Sesaat menjelang ajal, Firaun sempat berupaya mengubah jalan sejarah. Dia berniat menegosiasi kekuatan alam dengan syahadat, tapi Jibril segera bermanuver menyumpal mulut Firaun. Teriakannya direkam oleh al-Quran.

Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Firaun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Firaun itu telah hampir tenggelam, berkatalah dia, “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).”

Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu, dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami. (Q.S. Yunus [10]: 90-92).

Tamat sudah riwayat Firaun. Tapi kenangannya tidak benar-benar hilang: tentang penguasa zalim yang bangkainya kini masih utuh dan menjadi tontonan banyak orang; tentang penguasa kejam yang memburu pelantang keadilan; tentang otoritarianisme yang mungkin akan berulang di masa-masa setelahnya.

Lebih dari itu, Firaun tewas bukan saja mengekalkan cerita tentang kekuasaan yang menyedihkan, tetapi juga mengabadikan banyak pelajaran: bahwa perjuangan itu tidak melulu tentang seutas nasihat, melainkan juga rangkaian risiko; bahwa perjuangan itu bukan untuk menuntut balasan atau pengakuan, tetapi meniscayakan kursus kesabaran, kepasrahan, keikhlasan; dan bahwa perjuangan itu tidak selalu tentang memiliki, tetapi juga melepaskan :))

Ekhm!!!

Eh, anu

Oiya,

Kini, Bani Israil telah bebas dari tirani. Tentu saja ini kabar gembira buat mereka yang, entah beraba abad, mengalami penindasan dan berharap agar segera terbit fajar kebebasan. Tapi ini sekaligus menandai babak baru. Musa akan menempuh pergolakan berikutnya. Lawannya bukan lagi belenggu diktator, tetapi umatnya sendiri.