Ketika dunia ditimpa bencana, gemuruh masyarakat membuat ramai kehidupan ini. Keindahan alam semesta sekilas sirna. Kesedihan dan kepedihan membanjiri perasaan para korban. Ada yang menyalahkan, membela diri, dan termenung diam seribu bahasa. Meskipun gerakan masyarakat yang simpati terhadap nasib para korban di negeri kita masih banyak ditemukan, tetap saja mencegah lebih baik daripada mengobati. Kita tidak sedang menghakimi nasib dan takdir. Tetapi, setiap musibah pasti memiliki sebab yang menjadi faktor terjadinya bencana. Al-Qur’an memang tidak bisa mengubah atau menghalangi terjadinya bencana. Sebab, Al-Qur’an bersifat pasif dan sekadar memberi informasi serta masukan. Semua itu terserah manusia, mau memperhatikan dan mengamalkan atau justru mengabaikannya. Ketika kita menggunakan perspektif QS. Al-Rûm ayat 41, tidak dibenarkan menyebut bahwa bencana adalah karena takdir Allah. Lebih spesifik, Allah berfirman: ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS. ar-Rum: 41). Imam Shadiq bin Hasan Al-Bukhari (1248-1307) dalam Fathul Bayan fi Maqashid Al-Qur’an menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kerusakan-kerusakan itu adalah Paceklik, gagal panen, inflasi, keamanan yang tidak stabil, pembunuhan, perampasan, dll. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa kerusakan tersebut mencakup berbagai kerusakan-kerusakan lainnya, seperti banjir bandang dan longsor. Secara tekstual ayat, bencana-bencana tersebut adalah akibat ulah manusia itu sendiri. Apabila manusia mau memperhatikan alam dan lingkungannya, membangun kehidupan yang saling toleran dan damai dengan sesama, niscaya bencana-bencana yang merugikan manusia tidak ditimpakan. Itu semua karena manusia adalah makhluk Tuhan yang aktif, sementara alam hanya makhluk pasif. Atau dalam bahasa sehari-hari biasa kita sebut, alam akan bekerja sesuai dengan hukumnya. Ketika ia dirusak maka akan membalas dengan bencana. Secara gramatikal, pemahaman tersebut karena melihat bahwa huruf “ba’” dalam kata bimâ kasabat memiliki arti sababiyyah (sebab), sebagaimana disampaikan oleh Muhammad Al-Amin bin ‘Abdillah Al-Syafi’i dalam Tafsir Hadaiq Al-Raih wa Al-Raihan fî Rawâbî ‘Ulûm Al-Qur’an. Pertanyaan selanjutnya adalah dengan tujuan apa terjadinya bencana? Apabila kita melihat kembali dalam teks ayat, jawabannya adalah sebagai peringatan agar manusia kembali lagi kepada jalan atau aturan-aturan yang benar. Tetapi, kiranya kita perlu untuk membicarakan hal ini lebih lanjut dengan menggunakan sudut pandang kitab tafsir. Apabila kita perhatikan lebih lanjut, hal ini memiliki korelasi atau hubungan dengan keterangan dalam QS. Al-A’raf ayat 56, yang berbunyi: وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ Artinya: “Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut tidak diterima dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-A’raf: 56) Terlepas dari penjelasan tentang QS. Al-A’raf ayat 56 ini, QS. Ar-Rûm ayat 41 memiliki korelasi makna dengan ayat sebelumnya, sebagaimana disampaikan oleh Fakhruddin Al-Râzî dalam Tafsîr Mafâtih Al-Ghaib-nya. Menurutnya, bahwa syirik, disamping merupakan bentuk kerusakan paling besar, syirik adalah penyebab kerusakan dan bencana itu terjadi. Namun, kita perlu menggaris bawahi maksud syirik dalam hal ini. Syirik tidak sekedar menyembah atau meyakini adanya Tuhan selain Allah. Syirik juga bisa diartikan sebagai sikap, tindakan, atau pandangan yang berlebihan bahwa ada yang penting sama seperti pentingnya Allah. Lawan syirik adalah Tauhid. Tauhid dalam arti yang luas adalah bahwa selain Allah adalah sama. Tauhid mengajarkan bagaimana sesama makhluk Tuhan harus saling menghargai dan menghormati, sebagaimana yang diperintahkan oleh Tuhan. Singkatnya, sikap kita sebagai manusia yang tidak menghargai lingkungan dan alam, serta enggan untuk menghormati sesama, adalah sifat yang bertolak belakang dengan semangat Tauhid. Sehingga, Muhammad Al-Amin bin ‘Abdillah Asy-Syafi’i menyebutkan bahwa kerusakan pertama di darat adalah membunuhnya Qabil kepada Habil dan kerusakan (bencana) pertama di lautan adalah seorang raja yang selalu merampas perahu di laut, sebagaimana digambarkan dalam QS. Al-Kahfi. Kesimpulannya, melihat musibah yang terjadi, sudah sepatutnya kita melihat di sekitar kita. Begitu banyak alam yang telah dieksploitasi berlebihan, sikap kita yang tidak jarang melihat sebelah mata kepada sesama, merasa paling benar dan paling berkuasa, sampai melupakan hak-hak orang lain dan alam sekitar. Semoga, bencana ini benar-benar membuat kita semua, baik sebagai rakyat maupun penguasa, berubah menjadi makhluk yang benar-benar peduli dan menghargai yang lainnya. Wallahu a’lam bish-shawab. A. Ade Pradiansyah, penulis adalah penikmat kajian tafsir al-Qur’an.
|