Jika Allah Maha Penyayang, Mengapa Masih Ada Penderitaan?

Jika Allah Maha Penyayang, Mengapa Masih Ada Penderitaan?

Jika Allah Maha Penyayang, Mengapa Masih Ada Penderitaan?

Allah SWT ‘digambarkan’ sebagai Yang Maha Tahu, Maha Kuasa, dan Maha Penyayang, sebagaimana yang dikemukakan dalam ayat-ayat Al-Qur’an berikut.

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ الْخَلَّاقُ الْعَلِيمُ

Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah Yang Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Hijr (15): 86.)

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. al-Mulk (67): 1.)

هُوَ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ ۖ هُوَ الرَّحْمَٰنُ الرَّحِيمُ

Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. al-Hasyr (59): 22.)

Dengan demikian, berarti Allah yang Maha Mengetahui, maka Allah tahu bahwa kita menderita. Allah yang Maha Kuasa, berarti Allah bisa menghentikan penderitaan kita. Allah yang Maha Penyayang, berarti Allah tidak ingin kita menderita. Namun, pada kenyataannya, kita masih menderita. Apakah Allah tidak benar-benar memiliki sifat-sifat tersebut?

Tidak sedikit orang yang religius, shalatnya rajin, akan tetapi nasibnya apes melulu, sementara dia yang berfoya-foya hingga lupa shalat malahan tajir melintir dan merasa senang sekali kehidupannya. Seorang mahasiswa yang jujur jadinya tidak lulus-lulus, sementara dia yang menyontek bisa lulus malahan dapat A. Apa salahnya orang Palestina sehingga dari dulu hingga sekarang masih saja diberi serangan-serangan yang amat kejam dari Israel? Tega sekali.

Pembahasan mengenai problem-problem tersebut dalam dunia filsafat dinamakan “Teodisi”. Istilah tersebut dimunculkan pada tahun 1710 oleh filsuf Jerman, Gotfried von Leibniz, dalam sebuah karya berbahasa Prancis. Tujuan esai itu untuk menunjukkan bahwa kejahatan di dunia yang menjadikan lahirnya penderitaan itu tidak bertentangan dengan kebaikan Allah. Meskipun banyak kejahatan, dunia tetap dalam kondisi paling indah dan menyenangkan, begitulah ungkapnya.

Problem mengenai kejahatan tersebut diinspirasi oleh filsuf dari zaman Hellenistik yaitu Epicurus dengan ungkapkannya sebagaimana berikut.

“Apakah Tuhan mau, tapi tidak mampu melenyapkan kejahatan? Berarti Tuhan tidak Maha Kuasa. Apakah Tuhan mampu, tapi tidak mau melenyapkan kejahatan? Berarti Tuhan tidak Maha Penyayang atau Maha Baik. Jika Tuhan mampu dan mau melenyapkan kejahatan, mengapa masih ada kejahatan? Atau jika Tuhan tidak mampu dan tidak mau melenyapkan kejahatan, mengapa masih disebut Tuhan?”

Untuk menunjukkan bahwa kejahatan di dunia yang menjadikan lahirnya penderitaan itu tidak bertentangan dengan kebaikan Allah, Leibniz berasumsi bahwa Allah itu tidak akan menciptakan dunia yang sempurna sebab hanya Dia-lah yang sempurna. Sedangkan yang diciptakan Allah adalah “Dunia terbaik yang mungkin ada”. Dunia ini sudah pas bagi manusia, sudah porsional dan proporsional, lebih atau kurang dari ini sudah tidak baik lagi. Baginya, tidak ada sesuatu yang benar-benar jahat, segala hal ada alasannya. Selalu ada hikmah dibalik segala sesuatu yang terjadi di dunia ini yang menjadikan kita lebih baik lagi ke depannya.

David Hume, filsuf Inggris masa pencerahan, membantah argumen tersebut. Model Leibniz, dengan keimanannya, kalau Allah Maha Baik diasumsikan kalau Allah pasti punya dasar baik, punya alasan yang baik. Mungkin seolah-olah logis, padahal tidak. Kejahatan dengan sifat-sifat Tuhan itu jelas sangat kontras. Kalau kita meyakini kejahatan itu ada, berarti kita harus menerima kalau Tuhan itu Tidak Maha Kuasa atau Tidak Maha Penyayang.

Tokoh filsuf sekaligus teolog di era skolatik, Thomas Aquinas, setuju akan adanya kejahatan secara logis membawa kepada kesimpulan tidak kuasanya Allah tidak penyayangnya Allah. Meskipun demikian, kalau Hume menjadi ateis, Aquinas tetap beriman kepada Tuhan. Alasannya, argument logis itu hanya valid kalau kita menerima konsep kebaikan Tuhan yang tidak terbatas sebagai bagian dari definisi tentang Tuhan, dan saat kita berbicara tentang kebaikan Tuhan, kita menunjuk kepada kebaikan manusia.

Kita meyakini Allah itu Maha Baik, kebaikan Allah itu seperti apa? Itu lah kata kuncinya. Kita memahami kebaikan, itu ya versi manusia. Versi Allah sendiri mungkin berbeda. Lihatlah pada sesuatu yang versi kita tidak baik, sementara versi hewan baik, juga berlaku sebaliknya. Contohnya bagi kita, membunuh itu tidak baik, akan tetapi laba-laba setelah kawin pasti yang jantan dibunuh, itu hukum alamnya dan mungkin memang baik bagi laba-laba itu sendiri.

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. al-Baqarah (2): 216)

Allah Sang Pencipta segalanya, Dia Maha Kuasa lagi Maha Penyayang, mengapa ada kejahatan yang menderitakan, pertanyaannya adalah manusia itu bebas, bukan? Saat dia memilih untuk melakukan kejahatan, mengapa Allah harus bertanggung jawab? Kalau manusia diberi kebebasan memilih, maka harus ada pilihan. Sungguh tidak mungkin hanya yang baik saja yang tersedia. Kebebasan untuk memilih mau yang baik, yang sangat baik, yang biasa-biasa saja, yang buruk, atau yang keji. Kalau kebebasan dikatakan ada, tanpa adanya opsi untuk dipilih, ya, sama saja bohong. Bukan begitu?

Tanpa adanya kejahatan, tidak akan ada yang namanya kebaikan. Berterimakasihlah pada yang jelek sehingga menjadikan kita cakep; andaikata tidak ada mereka, kita ya biasa saja; kasarannya semacam itu. Ketika bohong tidak ada, maka kejujuran tidak ada nilainya. Kejujuran, ketulusan, kedermawanan, dan lain sebagainya yang dikonotasikan sebagai yang baik menjadi berharga sehingga kita diusahakan untuk bisa bersifat demikian itu baik oleh diri sendiri atau tekanan norma dalam hidup bersama, karena ada sebaliknya. Lantas bagaimana dengan bencana alam, sehalnya COVID-19 yang tak kunjung tuntas?

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَىٰ إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ ۚ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. al-Baqarah (2): 29.)

Alam semesta didedikasikan untuk manusia dan sebagai media menuju kesempurnaan moral manusia. Hadirnya COVID-19, merupakan ujian menuju kesempurnaan moral bagi yang mengalami. Karena ketika kita sedang enak mungkin dengan mudahnya kita mengklaim lillahi ta’ala dan qona’ah atas segala yang diberikan Allah, namun saat kita susah apakah kita tetap teguh atau malah akan merengek-rengek?

Selain itu, secara umum hadirnya bencana alam merupakan moral-warning, peringatan dan pembelajaran bagi yang tidak mengalaminya. Kadang kala bencana alam datang sebagai hukuman bagi mereka yang durhaka dan tidak bermoral.

Dengan demikian, kita ketahui bahwa dalam kehidupan itu harus ada kekacauan, kejahatan, yang semua itu membawa pada penderitaan bahkan kesengsaraan, setelah semua itu selesai maka lahirlah keseimbangan yang menuju kebaikan yang lebih dari sebelumnya. Dan karena manusia terbatas dengan aksesnya, Allah-lah yang bisa melihatnya secara holistik. Dunia ini pun berawal dari kekacauan, bukan? Atau maukah kita hidup berbarengan dengan dinosaurus?

Allah tahu, berkuasa, dan sayang kepada kita semua atas penderitaan itu, akan tetapi jangan lupa bahwa Allah itu bijaksana. Dengan hukum alam atau sunatullah yang diciptakan-Nya semua itu menggambarkan keteraturan dan keharmonisan yang indah. Tetap adanya penderitaan itu supaya manusia dengan kesadarannya menyadari bahwa dirinya itu terbatas. Allah bisa sewaktu-waktu intervensi terhadap hukumnya itu. Maka, ayolah lebih-lebih mendekat lagi pada Allah!  (AN)

Wallahu a’lam.