Agama adalah bahan diskusi yang tak pernah selesai sepanjang sejarah munculnya agama sampai hari ini. Topik-topik yang berkaitan dengan agama selalu menarik untuk ditelusuri dan dibawa ke ranah dialogis. Agama yang merupakan seperangkat keyakinan yang bergerak di ranah subjektif menimbulkan interpretasi yang berbeda pada setiap penafsirnya. Meski banyak perbedaan interpretasi terhadap agama, namun agama itu sendiri bertujuan untuk menuntun pengikutnya menjadi manusia baik dan terhindar dari segala kerusakan.
Tentu kita tahu bahwa Al-Qur’an dan Sunnah adalah sumber kebenaran dan patron tuntunan bagi umat Islam yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Dari kedua sumber inilah jejak-jejak kebenaran Allah SWT yang diantarkan Jibril kepada Nabi Muhammad SAW diteladankan. Kebenaran, kebaikan, tuntunan, ajaran kebaikan yang dianjurkan oleh agama Islam terdapat dalam kedua sumber tersebut.
Meski Al-Qur’an dan Sunnah mengajarkan kebaikan serta perdamaian, namun interpretasi terhadap keduanyalah yang seringkali membuat kita sebagai sesama umat Islam berbaku pendapat dan bersilang sengketa atas nama agama. Mulai dari bertikai dengan selain paham/madzhab atau bahkan bertikai dengan penganut agama lain atas nama agama itu sendiri. Sikap yang demikian tidak dibenarkan oleh agama Islam karena Allah SWT menganjurkan kita untuk bersikap moderat, adil, menghindari sikap ghulluw (berlebihan) serta al-tatarruf (radikal). Sikap radikal inilah yang seringkali menyebabkan pertikaian yang sebenarnya sangat berlainan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Lalu sebenarnya apa saja ciri-ciri kaum dan sifat radikal yang harus kita hindari itu?
Syaikh Yusuf Qardawi yang merupakan seorang mufti, mujtahid dan pernah menjadi ketua majelis fatwa mengatakan bahwa radikalisme adalah sikap fanatik kepada satu pendapat serta menegasikan pendapat orang lain, abai terhadap historitas islam, tidak dialogis dan harfiah dalam memahami taks agama tanpa mempertimbangkan tujuan esensial syariat. Beliau berpendapat bahwa sebagai umat Islam, kita harus selalu bersikap moderat, bijaksana dan menjauhi radikalisme. Agak kita terhindar dari golongan ini maka beliau memberikan 6 kriteria kelompok radikal.
- Klaim Kebenaran Tunggal
Kelompok ini seringkali mengatakan bahwa dirinyalah yang paling benar dalam menafsirkan agama. Kecenderungannya adalah mudah menganggap kafir orang yang bersebrangan pendapat dengan dirinya. Tentu, hal ini salah, karena sebenarnya pemilik otoritas kebenaran agama hanya Allah SWT dan orang yang dengan mudah mengkafirkan orang maka sebenarnya dirinya mengambil peran Allah sebagai Dzat yang Maha Benar.
- Mempersulit Agama
Maksud dari mempersulit agama adalah menganggap ibadah sunnah seakan-akan menjadi ibadah wajib. Sunnah Nabi seperti memanjangkan jenggot dan meninggikan celana (isbal) dianggap seperti kewajiban yang harus ditunaikan. Hal ini akan menjadikan penganutnya menjauh dari esensi ibadah itu sendiri.
- Mengalami Overdosis Agama yang Tak Pada Tempatnya.
Hal ini berkaitan dengan dakwah yang dilakukan mengesampingkan metode gradual (sedikit-sedikit). Padahal dakwah yang merupakan ajakan harus dilakukan secara yang pelan-pelan seperti yang dilakukan Nabi kepada orang-orang yang belum Islam pada zamannya. Dakwah yang memaksa dan kaku inilah yang kemudian akan menimbulkan ketakutan terhadap agama bagi kaum awam. Laiknya Walisongo yang dengan segenap kesabaran dan strategi yang elegan untuk membumikan Islam di Nusantara ini.
- Interaksi yang Kurang Elegan
Kelompok radikal seringkali berdakwah dengan kasar dalam interaksi, keras dalam berbicara dan emosional dalam berdakwah. Cara berdakwah ini tentu berlainan dengan cara Rasulullah sendiri yang berdakwah yang penuh dengan kesantunan dan kelembutan. Bahkan banyak hikayat yang mengkisahkan Rasulullah SAW tetap santun meski diperlakukan tak baik.
- Mudah Berburuk Sangka
Ciri lain dari kelompok ini adalah mudah berprasangka buruk pada penganut paham lain. Mereka senantiasa memandang orang lain hanya dari aspek negatifnya dan mengabaikan aspek positifnya.
- Mudah Mengkafirkan Orang Lain
Golongan ekstrimis ini seringkali mengkafir-kafirkan saudara muslim lainnya yang mereka anggap berlawanan dengan golongannya. Perbadaan madzhab harus disikapi secara dewasa, bahwa setiap interpretasi terhadap teks Al-Qur’an dan Sunnah tentu mengandung peluang kesalahan pada proses serta hasil interpretasi itu. Pemakluman tentu harus diutamakan, disamping berdialog dengan pikiran terbuka juga dilakukan untuk mencapai kesepahaman atas berbedaan dan terjadi proses konfirmasi pemahaman. Kafir atau muslim, hanya Allah yang tahu. Namun kita juga harus berpegang pada Rukun Iman dan Islam yang menjadi pedoman kebenaran dan parameter utama keimanan.
Sikap berlebihan seperti yang telah digambarkan oleh Syaikh Yusuf Qardhawi tersebut harus kita hindari bersama agar tercipta peradaban Islam yang damai, toleran dan santun. Berharmoni dalam perbedaan, membudayakan tabayyun ketika menghadapi perbedaan dan adil dalam mengambil keputusan serta tetap menjaga ukhuwah islamiyah dan ukuwwah basyariyah.
Fajrul Falah Wangsaguna, penulis adalah pegiat di Islami Institut Jogja.