25 Tahun Konferensi Beijing: Meluruskan Cacat Logika Penolak Kesetaraan Gender

25 Tahun Konferensi Beijing: Meluruskan Cacat Logika Penolak Kesetaraan Gender

Memperingati 25 tahun Konferensi Beijing dengan mengkritik gerakan kesetaraan gender tentu saja boleh, tapi bukan dengan menstigmanya dengan tuduhan yang tidak logis.

25 Tahun Konferensi Beijing: Meluruskan Cacat Logika Penolak Kesetaraan Gender

Hari Sabtu tanggal 4 April 2020, saya menelusuri video-video di kanal Youtube dan tertarik melihat video live streaming dengan judul “Konferensi Internasional Online “Beijing+25: Apakah Kedok Kesetaraan Gender Telah Terbongkar?”. Konferensi itu ada pada chanel Khilafah Channel. Konferensi tersebut diisi oleh narasumber muslimah dari beberapa negara (termasuk ada warga Indonesia) yang menilai Konferensi Beijing Platform for Action yang berisi tentang kesetaraan gender hanya ilusi negara Barat untuk mengintervensi negara lain. Dilihat dari jumlah penontonnya yang masih sedikit di bilangan puluhan ribu, menunjukkan bahwa kritikan mereka cukup banyak diminati. Namun kelompok penolak gerakan kesetaraan gender Konferensi Beijing itu memiliki beberapa cacat logika yang akan saya bahas selanjutnya.

Di saat bersamaan, saya memantau Twitter dan trending topicnya. Saat itu saya melihat salah satu trending topic Twitter tertera #MuslimahTolakGenderEquality. Setelah saya buka isi postingannya, saya bisa menebak jika buzzer sedang bermain. Banyak sekali postingan yang tidak sesuai antara gambar dengan caption nya.

Entah apakah fenomena trending topic di twitter dengan Konferensi tersebut yang terjadi di waktu bersamaan ada hubungannya atau tidak, tetapi saya perlu menampilkan keduanya disini karena saya tidak setuju dengan keduanya. Saya seorang Muslimah yang mendorong kesetaraan gender karena agama saya dan junjungan Nabi Muhammad pun mengajarkannya.

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, saya akan membahas cacat logika dalam konferensi penolakan kesetaraan gender yang kebanyakan memang menjadi stigma negatif dari perjuangan kesetaraan gender selama ini.

  1. Kesetaraan gender atau yang juga mereka sebut sebagai feminis dianggap sebagai gerakan yang menolak pernikahan.

Tentu ini salah besar. Tidak semua pejuang gender menolak institusi pernikahan. Mari kita sebut beberapa pejuang gender di Indonesia dari yang paling senior sebut saja Ibu Saparinah Sadli yang menikah dengan Bapak Mohammad Sadli, Ibu Sinta Nuriyah Wahid menikah dengan Gus Dur, hingga aktivis milenial seperti Mbak Kalis Mardiasih yang menikah dengan Agus Mulyadi. Ketiganya pejuang gender yang tetap menikah.

Stigma jika kaum feminis menolak pernikahan memperlihatkan ketidaktahuan mereka dengan berbagai aliran feminis dunia yang membawa coraknya masing-masing, sekaligus kemalasan mereka untuk menjelajah banyak literatur. Mansour Fakih menjelaskan di dalam bukunya yang berjudul Analisis Gender & Transformasi Sosial, bahwa ada bermacam aliran feminis seperti:

  • Feminis Liberal yang menitikberatkan pada kesetaraan akses bagi perempuan seperti pendidikan, kesehatan, dan politik;
  • Feminis Radikal yang muncul sebagai reaksi kultur sexism berdasarkan jenis kelamin. Feminis radikal ini menganggap laki-laki secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Anggapan ini yang memungkinkan adanya penolakan institusi pernikahan;
  • Feminis Marxis yang menganggap penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas produksi ekonomi;
  • Feminis Sosialis yang merupakan pengembangan dari Marxis dan menganggap bahwa ketidakadilan gender bukan hanya dari penindasan kelas tetapi juga konstruksi sosial;

Dalam konferensi tersebut dituding jika gerakan kesetaraan gender menjerumuskan perempuan dalam kesengsaraan karena menolak adanya pernikahan yang merupakan institusi pelindung perempuan sembari melontarkan berbagai ayat Al-Quran. Dari pernyataan itu jika dikaitkan dengan berbagai macam aliran feminis di atas yang memiliki corak berbeda, maka bangunan berpikir mereka sudah cacat karena menggeneralisasi seluruh gerakan kesetaraan gender menjadi satu aliran, padahal nyatanya secara teori dan faktual mempunyai bermacam aliran. Landasan generalisasi yang cacat itu otomatis meruntuhkan semua tuduhan jika gerakan kesetaraan gender pasti menolak institusi penikahan dan menyalahi ajaran Islam.

  1. Gerakan kesetaraan gender dianggap sebagai agenda feminisme Barat yang menjajah negara lain, terutama umat Muslim

Dalam buku Ir. Soekarno yang berjudul Wanita Bergerak menyatakan bahwa belum ada pergerakan perempuan sebelum adanya Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis di abad ke-18. Gerakan perempuan itu menuntut haknya sebagai manusia dan anggota masyarakat. Di saat itu Katharina Brechkovskaya, tokoh pergerakan sosialis perempuan Amerika menyerukan “Hai wanita Asia, sadar dan melawanlah!”. Pada saat gerakan itu di mulai, di bagian negara lain masih merasa bahwa penindasan terhadap dirinya adalah kehendak alam.

Namun, apakah kesadaran kesetaraan gender dari Barat menjajah negara lain? Tidak.

Ambil contoh Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Di Indonesia, tokoh emansipasi perempuan yaitu R.A. Kartini dalam buku Habis Gerap Terbitlah Terang mengakui dalam tulisannya di tanggal 25 Mei 1899 jika salah satu inspirasi kebebasan diri yang diperjuangkan adalah gerakan di Eropa.

“Suara itu datang terus-menerus dari luar (di paragraf sebelumnya disebut Eropa), makin lama makin kuat, hingga sampai pada saya. Sehingga bibit-bibit yang ada di dalam hati saya-perasaan empati terhadap kesulitan orang lain yang sangat saya kasihi-bersemai.”

Bayangkan saja jika saat itu perjuangan R.A. Kartini tidak dilakukan, maka cerita akses baca tulis dan pesatnya pendidikan perempuan yang bebas seperti saat ini mungkin akan berbeda. Dengan kata lain, yang berjasa bagi diperolehnya akses pendidikan orang Indonesia termasuk pada orang yang terlibat dalam konferensi penolakan kesetaraan gender itu berasal dari jasa Kartini yang terinspirasi oleh Eropa. Jadi, masihkan mau berucap jika kesetaraan gender menjajah umat Muslim di Indonesia? Bacalah sejarah.

  1. Kesetaraan gender memperbolehkan praktik aborsi dan menyalahi hukum Islam

Stigma negatif itu kembali berhembus kencang di Indonesia ketika RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) pada periode pemerintahan lalu dibahas. Di dalam RUU dicantumkan ayat diperbolehkan aborsi bagi korban perkosaan yang sebenarnya aturan praktik tersebut tersambung dengan UU Kesehatan No 36 tahun 2009. Namun oleh sebagian orang, RUU tersebut diputarbalikkan faktanya sebagai RUU yang melegalkan aborsi tanpa tedeng aling-aling. Padahal, di dalam UU Kesehatan diperbolehkan praktik aborsi bagi pasien yang terindikasi memiliki kedaruratan medis dan korban pemerkosaan. Salah satu  syarat aborsi tersebut adalah usia janin tidak lebih dari 6 minggu atau diperbolehkan lebih jika ada kedaruratan medis.

Aborsi pada kondisi darurat seperti korban pemerkosaan tersebut tidak melanggar hukum Islam.  Jika merujuk pada Kitab Halal Haram karya cendekiawan muslim asal Mesir, Yusuf al-Qardhawi menyebutkan jika janin boleh diaborsi sebelum berumur 40 hari dengan rujukan medis baik karena alasan darurat fisik atau psikis. Dalam kasus ini, aborsi bagi korban pemerkosaan adalah satu upaya untuk menghilangkan beban psikis bagi sang ibu.

Aborsi merupakan tindakan untuk menyelamatkan jiwa ibu karena menurut Yusuf al-Qardhawi jika diandaikan seorang ibu adalah batang dan anak adalah ranting, jika dipertahankan batangnya maka akan bisa menghasilkan ranting kembali dikemudian hari. Alasan lain untuk mempertahankan Ibu adalah bahwa diutamakan mempertahankan seseorang yang sudah jelas memiliki kehidupan (saat ini) dibanding yang belum pasti kehidupannya kedepan.

Jadi tudingan bahwa kesetaraan gender asal melegalkan aborsi sebebas-bebasnya adalah salah karena aborsi terutama yang tertera dalam RUU PKS dan UU Kesehatan adalah perlindungan bagi perempuan dan tidak melanggar ajaran agama.

Ketiga poin tadi adalah beberapa hal yang menurut saya cacat logika dari apa yang disampaikan Khilafah Chanel dalam “Konferensi Internasional Online “Beijing+25: Apakah Kedok Kesetaraan Gender Telah Terbongkar?”. Jika memperingati 25 tahun Konferensi Beijing dilakukan dengan mengkritisi capaian kesetaraan gender yang belum maksimal, tentu diperbolehkan. Tentunya dengan memberi solusi cara yang lebih mutakhir untuk pencapaian kesetaraan gender, bukan dengan menolak sekaligus menstigma gerakannya sedemikian rupa.

Baca juga Khadijah dan Jejak Feminisme Islam Awal dan tulisan lainnya bertema feminisme melalui tautan ini.