Habib Ja’far Ungkap Bagaimana Ide Radikalisme Bisa Tumbuh dan Cara Mengatasinya

Habib Ja’far Ungkap Bagaimana Ide Radikalisme Bisa Tumbuh dan Cara Mengatasinya

Habib Ja’far Ungkap Bagaimana Ide Radikalisme Bisa Tumbuh dan Cara Mengatasinya

Gerakan Islam ekstrimis atau Islam radikal hingga hari ini masih sangat relevan untuk diperbincangkan di tengah publik, bahkan kehadiran bibit atau ide gerakan Islam radikal sudah ada sejak pertama Islam hadir di muka bumi.

“Radikalisme secara gerakan dia masih bisa untuk dilawan, hanya saja secara ideologi dia masih terus berkembang sehingga sampai hari ini masih relevan membincangkan radikalisme,” kata Habib Ja’far.

Habib Ja’far sampaikan dalam kesempatannya mengisi diskusi bertajuk “Merayakan Toleransi di Rimba Digital” di Kafe Outlier, pada Rabu (11/12/2024). Acara tersebut diselenggarakan oleh Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama RI dan Islami.co.

Habib membeberkan, radikalisme mulanya adalah ide, ia terus berkembang menjadi gerakan dan pada puncaknya sebagai aksi-aksi teror yang mengancam nyawa seseorang dan merusak lingkungan sekitar.

“Secara ide dia hidup sehingga pembicaraan tentang radikalisme itu akan selalu relevan sebagai ide. Sebab munculnya radikalisme ini sudah ada sejak ribuan tahun lalu, bahkan sejak Islam itu sendiri hadir,” tutur Habib Ja’far.

Pada masa Nabi Muhammad sendiri, ide dari radikalisme sudah muncul. Bahkan, Nabi Muhammad Saw berhadapan langsung dengan kelompok Islam radikal. Ini tampak saat terjadi pergesekan ketika Nabi Muhammad membagikan harta rampasan perang.

Lalu bagaimana kaitannya radikalisme dengan media sosial?

Pendakwah lulusan UIN Jakarta tersebut melihat, media sosial sebagai platform digital memiliki dampak yang sangat besar atar tersebarnya ide-ide Islam radikal. Sebab, media sosial menghadirkan kesemuan atau ilusi dan dugaan-dugaan tentang berbagai hal.

Kata Habib Ja’far, akibat media sosial kita bisa dibuat benci seseorang padahal kita belum pernah bertemu sama sekali dengan orang tersebut.

Habib Ja’far lalu menyoroti dua platform media sosial pertama X atau Twitter kedua Facebook. Menurutnya, Twitter media sosial yang kental dengan framing. “Twitter itu mengarahkan Anda tahu sesuatu yang tidak dan perlu Anda tahu” ketusnya.

Di Twitter banyak sekali orang-orang berkomentar bukan sesuai dengan potensi dirinya. Ini lantaran trending topic yang ada di Twitter.

Lebih lanjut, pendakwah lulusan UIN Jakarta melihat Facebook itu ramai dengan grup-grup sama halnya dengan grup di WhatsApp. Sebab berdasarkan riset, grup-grup seperti itu rentan dengan ide-ide komunal hingga ide-ide radikal.

“riset-riset yang ada itu menyebutkan grup Facebook atau WhatsApp itu paling rentan terhadap ide komunal termasuk dalam nada yang negatif yaitu radikalisme,” ujarnya.

Ini disebabkan ruang-ruang semacam itu menjadi ruang dengung di media sosial. Sehingga, di sana bisa saja terjadi penyebaran konten-konten radikalisme. Terlebih di dalam grup tidak sedikit anggotanya.

Baca juga : Rayakan Toleransi, Menelusuri Seluk Beluk Islam di Media Sosial Agar Tidak Jadi Radikal

Ruang dengung tersebut seolah menjebak anggotanya untuk satu pandangan dan menolak pandangan selain dari dirinya. “Karena grup itu akan menjadi ruang dengung atau echo chamber, sehingga anda hanya akan mendengar sesuatu yang ingin anda dengar bukan apa yang perlu anda dengar,” bebernya.

Kemudian Habib Ja’far mengajak kepada semua pengguna media sosial yang berkompeten agar bersuara di media sosial. Menurutnya, giat-giat seperti ini sangat berguna untuk menyebarluaskan konten-konten yang moderat.

“Jadi kalau kita yang memiliki kemampuan itu tidak berbicara sedangkan mereka berbicara yang sudah pasti kemudian engagement-nya akan berada di mereka, karena itu mau tidak mau kita harus keluar,” tandasnya.